08 Desember 2007

Highlight

Tema Kepengurusan Pengurus Besar HMI 1428-1430 H/2007-2009 M

Memperkokoh Negara Menuju Tamaddun (Peradaban) Indonesia Baru dan Maju

Mengapa Memperkokoh Negara ?
Dewasa ini, tantangan yang membentang di hadapan kita bukan lagi kekuasan negara otoriter yang mencengkram seluruh sendi-sendi masyarakat. Sejak reformasi bergulir, suasana kebebasan dan demokrasi yang belum terkonsolidasi telah dimanfaatkan secara cerdik oleh kekuatan-kekuatan pasar untuk mendesak negara agar mengurangi (reduksi) otoritasnya dan memaksanya untuk menjamin iklim yang kondusif bagi kedaulatan pasar. Padahal dalam kedaulatan pasar berlaku hukum penawaran, dan biasanya siapa yang kuat dialah yang akan menentukan.

Sangat disayangkan, negara yang diwakili oleh pemerintahan yang berkuasa seolah-olah tunduk dengan kehendak kekuatan-kekuatan pasar tersebut. Dan secara perlahan dan pasti, otoritas negara yang semestinya hadir untuk melayani kebutuhan masyarakat bertukar menjadi pelayan setia kekuatan-kekuatan pasar. Pelayanan terhadap rakyat yang menjadi tugas utama negara telah dengan sistematis dikurangi dan diserahkan kepada kekuatan-kekuatan pasar. Kecenderungan ini segera terdeteksi apabila dicermati isi perundang-undangan baik yang sudah ditetapkan maupun yang sedang dalam tahap penggodokan. Misalnya, RUU BHP dengan jelas terbaca di dalamnya tersimpan misi minimalisasi otoritas negara dan penyesuaian terhadap tuntutan-tuntutan kekuatan pasar.

Pengurangan otoritas negara pada berbagai sektor tersebut tidaklah tercipta secara alamiah, namun merupakan rekayasa dari sebuah kekuatan sadar yang menghendaki terwujudnya situasi kedaulatan pasar dan pengaruh negara yang semakin minimal. Segera muncul pertanyaan, mengapa diperlukan negara dengan otoritas minimal? Sebab, negara dengan otoritas minimal seperti itu merupakan kondisi yang cocok bagi kebebasan untuk melipatgandakan keuntungan bisnis dan ekonomi.

Akibat Negara Minimal
Situasi seperti yang digambarkan di atas mengakibatkan kondisi rakyat yang tidak berdaya dan hanya menjadi pasar dan sapi perahan dari pemain-pemain utama sistem yang sedang berkuasa. Akibatnya kekuatan kreatif rakyat di dalam menciptakan tamaddun (peradaban) tinggi dan unggul pun lesu dan berganti menjadi kekuatan kreatif yang mengabdi pada pasar semata. Dengan kondisi semacam itu, tujuan sejati negara untuk membangun tamaddun (peradaban) Indonesia yang unggul dan berakar langsung dari budaya setempat pun semakin jauh dari harapan.

Jalan Keluar
Situasi ini tentu tidak perlu dipertahankan lama-lama. Di hadapan kita masih tersedia kesempatan untuk mengoreksi secara cepat kecenderungan yang tidak menguntungkan tersebut. Untuk mengoreksi kecenderungan tersebut tentulah bukan perkara mudah. Sebab di belakang kecenderungan tersebut, berdiri korporasi-korporasi besar yang memiliki modal, teknologi dan jaringan politik yang juga besar.

Merupakan sebuah anugerah bahwa Indonesia berada dalam tahap konsolidasi demokrasi. Dalam proses konsolidasi demokrasi, semua kekuatan berkesempatan berlomba menjadi penentu arah sejarah. Komunitas HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil mempunyai misi untuk memastikan jalannya demokrasi yang sehat dan bebas dari manipulasi kelompok-kelompok kepentingan politik sempit dan jangka pendek.

Apa Yang Harus Dilakukan?
Posisi komunitas HMI sebagai bagian dari komunitas Islam di Indonesia merupakan modal yang berharga. Sejarah membuktikan, setiap perubahan sosial politik yang berlangsung di Indonesia tidak terpisahkan dari keterlibatan faktor Islam. Untuk hal itu, langkah yang relevan diambil oleh HMI sekarang adalah memperkokoh negara untuk tujuan pembangunan tamaddun (peradaban) Indonesia baru dan maju. Tamaddun Indonesia baru dan maju yang diproyeksikan hendaknya berurat-berakar dari transformasi Islam di Indonesia sekaligus bersenyawa dengan demokrasi. Proyeksi tersebut bukanlah merupakan mimpi di siang bolong. Proyeksi tamaddun Indonesia masa depan yang diwarnai Islam dan ditopang demokrasi tercermin dari fenomena unik perkembangan Islam di Indonesia. Sejauh ini, dialektika Islam dan demokrasi di Indonesia telah menampilkan corak yang positif dan konvergen.

Apa langkah-langkahnya?
Di antara langkah kecil di dalam usaha memperkokoh negara tersebut dapatlah dimulai dengan memperkokoh komunitas HMI sendiri. Komunitas HMI yang terdiri atas anggota aktif dan alumni sampai sejauh ini belumlah terkonsolidasi dengan baik. Sembari berusaha mengkonsolidasi komunitas HMI, HMI juga mestilah aktif mengkonsolidasi diri dengan barisan masyarakat sipil lainnya. Di antara masyarakat sipil terpenting itu terdapat ulama-ulama akar rumput yang tersebar di desa dan kota. Ulama-ulama akar rumput memiliki potensi dan posisi strategis disebabkan hubungannya yang melekat dengan kalangan rakyat kecil. Jika HMI sebagai kalangan terdidik dapat bersinergi dengan ulama-ulama akar rumput, maka pembangunan basis bagi tercapainya tamaddun Indonesia yang berakar pada transformasi Islam yang maju semakin mendekati kenyataan.

Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, PB HMI bermaksud menjadikan momentum kegiatan pelantikan dan Pleno I sebagai entri point di dalam mewujudkan langkah-langkah selanjutnya untuk mencapai tamaddun Indonesia baru dan maju.


Orientasi Umum PB HMI 1428-1430 H/2007-2009 M

Tema tersebut sebenarnya senada dengan semangat perlawanan terhadap kecenderungan neo liberal yang melanda Indonesia. Maksud memperkokoh negara di sini bukanlah memperkokoh kekuasaan pemerintah yang berkuasa, tetapi memperkokoh unsur utama negara, yakni warga negara. Warga negara merupakan penopang sejati tegaknya negara dan bangsa.

Dalam rangka memperkokoh negara untuk mencapai tamaddun Indonesia baru dan maju tersebut, HMI harus terlibat aktif dalam setiap isu-isu perubahan sosial politik di tanah air. Menyadari besarnya tujuan tersebut, HMI tidak mungkin bekerja sendirian. HMI harus menggandeng komponen-komponen masyarakat sipil strategis yang memiliki tujuan dan program yang sama. Ditekankan HMI sebagai bagian dari representasi komunitas masyarakat sipil terdidik harus berhasil menyatu dan bekerja sama dengan segmen ulama-ulama akar rumput di desa-desa dan di kota-kota sebagai bagian dari masyarakat sipil otentik. Dalam jangka panjang, kerjasama permanen dengan ulama-ulama akar rumput akan menguntungkan bagi komunitas Islam di Indonesia sebagai terobosan baru strategi politik.

Dalam rangka merespon Pemilu yang segera tiba, HMI perlu mengambil peranan untuk memastikan berjalannya demokrasi yang sehat tanpa manipulasi terhadap kedaulatan rakyat. Karena itu, perlu pendalaman strategi dan program apa yang perlu diambil HMI di dalam rangka menjamin berlangsungnya demokrasi yang sehat tanpa manipulasi tersebut. Saya sarankan isu Pemilu sudah dapat mulai dibahas pada momen Pleno I.

Untuk segmen "primordial" HMI, yakni dunia pendidikan dan kampus, hendaknya HMI berhasil merepresentasikan diri sebagai juru bicara bagi kepentingan warga terhadap akses dan biaya pendidikan yang terjangkau dan kampus yang dinamis dan religius. Oleh karena itu, telah tersedia tantangan di depan HMI menyangkut isu RUU BHP dan isu-isu pendidikan lainnya.

Sedangkan ke dalam internal organisasi HMI, hendaknya HMI berhasil meningkatkan kualitas dan pengayaan content perkaderannya sekaligus memutus persoalan kronis menyangkut pembiayaan operasional HMI secara keseluruhan. Untuk itu, telah diambil sebuah keputusan untuk membentuk lembaga amil wakaf, zakat, infak dan sadaqah HMI sebagai alat untuk memecahkan masalah tersebut.

Sedangkan untuk kebijakan ke dalam komunitas HMI, HMI didorong untuk berhasil mendudukkan diri sebagai dinamisator dan katalisator penghimpunan potensi-potensi jejaring alumni agar komunitas alumni berhasil berperan aktif dalam setiap perubahan sosial politik di tanah air. Oleh karena itu, kekompakan HMI dengan komunitas alumni agar dapat terus ditingkatkan bobot dan mutunya.

Orientasi umum yang disebut di atas tentu akan terus dilengkapi oleh seluruh komisi-komisi dan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk. Oleh karena itu, komisi-komisi dan lembaga-lembaga yang ada hendaknya dapat menurunkan program dengan limit waktu yang sudah diukur.

* Tema kepengurusan disarikan dari arahan umum PB HMI dan Term of Reference Pelantikan Pengurus PB HMI 1428-1430 H/2007-2009 M

selengkapnya.....

The Cabinet

SUSUNAN PENGURUS BESAR
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PERIODE 1428-1430 H/2007-2009 M

KETUA UMUM : SYAHRUL EFENDI DASOPANG
SEKRETARIS JENDERAL : ITHO MURTADHA

Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Politik : Surachmad
Wakil Sekretaris Jenderal Ekonomi dan Pembangunan : Syamsurizal
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Hukum dan HAM : Muhammad Baqir
Wakil Sekretaris Jenderal Lingkungan Hidup : Amin Fajri
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Pendidikan : Umami
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Dakwah dan Komunikasi Umat : Widayat
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Pemuda dan Kemahasiswaan : Summaya Ilham Nur Adnan
Wakil Sekretaris Jenderal Hubungan Internasional : Faisal Andi Rizal

BENDAHARA UMUM : ANTON PANTON
Wakil Bendahara Umum : Anwar Natar
Wakil Bendahara Umum : Kholisoh

Ketua Komisi Politik : Abdullah Mukarram
Staf : Dedi Sumarna

Ketua Komisi Ekonomi dan Pembangunan : Muhammad Farid
Staf : Syamsul Hilal Ramsyah, Rozi Kurnia

Ketua Komisi Hukum dan HAM : Mahfudin
Staf : Ahmad

Ketua Komisi Lingkungan Hidup : Makmur Alto
Staf : Kus Sri Antoro

Ketua Komisi Pendidikan : Abdul Hayyi Akrom
Staf : Anwar daud, Dedi Amra

Ketua Komisi Dakwah dan Komunikasi Umat : Yayan Fauzan
Staf : Ahmad Majid

Ketua Komisi Pemuda dan Kemahasiswaan : Azwar M. Syafei
Staf : Ibrahim, Eman Siswanto, Akhirudin

Ketua Komisi Hubungan Internasional : Hery Setiawan
Staf : Siti Darmalisa

Lembaga Koordinasi
Ketua Badan Koordinasi Indonesia Bagian Barat : Adang Ridwan
Ketua Badan Koordinasi Indonesia Bagian Tengah : Moh Syafi’ie
Ketua Badan Koordinasi Indonesia Bagian Utara : Hariman Podungge
Ketua Badan Koordinasi Indonesia Bagian Timur : Hartono

Lembaga Khusus
Ketua Koordinator Nasional Korp HMI Wati (KOHATI) : Fitriah
Ketua Dewan Pengurus Lembaga Amil Wakaf, Infak dan Sadaqah (LAWAZIS) : Hasbullah

Lembaga Kekaryaan
Direktur Eksekutif Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) : Sutrisno

selengkapnya.....

Dialektik


ELAN VITAL KESADARAN KRITIS
MAHASISWA DAN GERAKAN MAHASISWA

Moh. Syafi’ie *

Mendialogkan peran elemen gerakan mahasiswa dalam menanggapi persoalan-persoalan pada ranah sosial utamanya yang terjadi ditingkatan kampus sangat sering kita melaksanakannya baik ketika minum kopi di angkringan, makan di pecel lele, bahkan pada tingkatan yang lebih serius pada acara simposium, seminar ataupun workshop gerakan yang substansinya, mempertanyakan ulang peran dan positioning gerakan mahasiswa kini. Namun ironisnya, perbincangan dalam diskusi baik serius ataupun tidak serius itu kerapkali cenderungnya berhenti pada dataran lidah, janji atau seringkali menjadi perbincangan seremonial an sich.

Indikasi tradisi cepat lupa dan seremonial an sich ini secara sosiologis merupakan pertanda satu krisis kemanusiaan kontemporer dimana menganggap perjumpaan, perbincangan, janji, kesepakatan, kekerabatan ataupun bentuk lainnya sekedar menjadi sesuatu yang dangkal, kurang bermakna, artifisial dan segalanya dihitung atas rasionalitas untung dan rugi (benefit cost ratio). Hal ini jugalah yang digelisahkan oleh tokoh revolusioner Ali Syari’ati tentang krisis manusia modern dimana dalam sistem hidup mereka terkonstruksi atas budaya yang instan, pragmatis dan praktis sehingga secara sadar kondisi tersebut akan menghancurkan terhadap proyeksi perwujudan tatanan yang berkeadilan kedepan. Dalam bahasa yang implisit dengan maksud yang serupa Hannah Arendt menyebutkan, krisis manusia modern ialah hilangnya nilai-nilai reflektif sehingga menyebabkan hilangnya identitas kediriannya, kesejatiannya dan mereka terkonstruksi atas provokasi kekuatan massa (eksternal) yang secara sadar mampu mengubah terhadap pemikiran, gaya hidup (life style) serta orentasi hidupnya yang material dalam lingkup sosial.

Persoalan besar elemen gerakan mahasiswa saat ini, terjadinya polarisasi, keberpisahan tujuan universal serta menguatnya budaya perbedaan yang cukup tajam baik disebabkan atas muatan ideologis, ras ataupun kelompok sosial sehingga menghilangkan terhadap visi utamanya menegakkan keadilan dan mewujudkan kerahmatan universal (rahmatan lil alamien). Di internal gerakan mahasiswa masih menguat budaya saling ‘memusuhi’ dan tidak hidup dalam tradisi kearifan, persaudaraan, saling bahu membahu dalam kebaikan dan bersama-sama melawan kelaliman dan keburukan. Kondisi semeraut intenal gerakan mahasiswa inilah yang kemudian memalingkan terhadap orentasi keberpihakan substantif sosialnya. Disadari atau tidak kondisi ini dimanfaatkan oleh kekuatan rezim dan birokrasi kampus dan efeknya semakin melegitimasi terhadap merajalelanya penindasan rezim pemerintah terhadap masyarakatnya dan kalau pada tingkatan kampus semakin melegitimasi kesewenangan birokrasi kampus terhadap areal sistem pendidikan; baik berupa pelayanan, pembayaran pendidikan, peridzinan, pengajaran ataupun lainnya yang jelas tidak berpihak pada keadilan mahasiswa.

Konteks demikian di atas sama halnya dengan sejarah politik kolonial belanda dahulu kala, dimana mereka untuk melanggengkan penjajahannya dan demi kepentingan ekonomi, agama dan kekuasaannya, mereka menggunakan taktik politik pecah belah (divide it impera) dikalangan masyarakat pribumi. Perbedaan lintas kelompok baik berdasarkan atas nama agama, ras, suku ataupun lainnya sengaja dipelihara dan disuburkan. Gerakan umat beragama bergerak masing-masing bahkan saling berbenturan, mahasiswa bergerak rata-rata menggunakan bendera kedaerahan masing dan seringnya bermusuhan, dan penduduk indonesia dipolarisasi dengan sistemik sesuai dengan kekuasaan dan kebangsaannya. Secara strategis kolonial Belanda memainkan taktik ini dengan sistematik bahkan untuk mendukung kerja penjajahannya mereka sengaja meng’anak-emas’kan kelompok-kelompok pribumi tertentu dan mendanainya sehingga penduduk pribumi ribut sendiri di internalnya karena ada penghianatan elit pribumi dan dalam keadaan sadar mereka melupakan terhadap musuh utamanya penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda.

Konteks persoalan gerakan kemahasiswaan yang terjebak pada ego subyektif kelompok, polarisasi ideologis dan terjebak pada taktik elit borjuis rezim meniscayakan untuk sharing bersama, menjernihkan ulang terkait komitmen perubahan, visi-misi perubahan serta sentral isu perubahan pada aras gerakan kemahasiswaan sehingga eksistensinya semakin dirasakan oleh masyarakat secara umum. Disinilah letak pentingnya gerakan mahasiswa sebagai komunitas intelektual tercerahkan, dimana mampu merumuskan cita-cita bersama, senantiasa bersekutu dalam membela kebenaran walaupun berbeda warnanya serta bekerjasama menumpaskan kejahatan dan keburukan walaupun terpolarisasi atas lintas kelompok dan golongan.

Pendidikan Dehumanistik
Disadari atau tidak, kematian gerakan mahasiswa dalam melakukan kritik sosial keummatan disebabkan sudah terbunuhnya paradigma pendidikan yang mencerahkan dan memerdekakan. Secara teoritik Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dan pendidikan adalah proses membangkitkan kesadaran kritis. Sehingga dalam konteks ini mahasiswa memang diciptakan sebagai komunitas yang dipandang sebagai kekuatan intelektual dan berkesadaran kritis. Label dan positioning mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang dari dulu senantiasa dilekatkan sebagai kelompok agen of change karena mahasiswa dan gerakan mahasiswa dipahami sebagai gerakan kritis, obyektif, berani menanggung resiko dan merdeka dari kepentingan penetrasi golongan elit, rezim ataupun kepentingan kepartaian. Idealisme, pada diri mahasiswa berkobar sebagaimana bara api yang siap menghanguskan terhadap musuh yang mengganggu terhadap keyakinan yang mereka teriakkan.

Mahasiswa dipandang sebagai kekuatan pemuda yang masih netral, lugu, bersih dan terbebaskan dari kepentingan-kepentingan kekuasan. Makanya sangat wajar ungkapan yang dikemukakan Soekarno, "berikan aku sepuluh pemuda, maka saya akan merubah dunia!. Sedemikian percayanya Soekarno atas kekuatan pemuda dan mahasiswa sehingga kalau kita membaca teks-teks pidato revolusionernya, terlihat jelas bahwa Soekarno merupakan pribadi yang paling akrab dengan pemuda. Pesan pidatonya mendukung jiwa-jiwa perlawanan mahasiwa, dan konon akhir karir politiknya juga karena kekuatan para kelompok kritis demonstran mahasiswa. Idealisme dan Jargon-jargon perubahan inilah yang membanggakan kita sebagai mahasiswa bahkan seringkali sampai detik ini kita elu-elukan secara heroik untuk menyambut kedatangan mahasiswa baru.

Menjadi pertanyaan yang sangat mendasar ketika mahasiswa dan gerakan mahasiswa saat ini menjadi komunitas penakut, tidak bisa berteriak lantang, atau membiarkan kelaliman-kelaliman oleh rezim dan birokrasi terus menerus terjadi. Bahkan yang tragis lagi, mahasiswa dan gerakan mahasiswa saat ini semakin jauh dari kerja-kerja advokasi sosial, keberpihakan sosial serta ironisnya mereka kini lebih banyak menjadi corong dari kepentingan-kepentingan elit. Sehingga suara kritis dan perlawanan mahasiswa menjadi sumbang dan serak karena positioningnya sudah terbeli dan tergadaikan pada kepentingan para elit rezim. Menurut saya, inilah titik kehancuran mahasiswa dan gerakan mahasiswa dimana sudah tidak terbangun atas idealisme kritis pemihakan keadilan dan kemanusiaan universal kecuali atas kepentingan material kekuasaan dan menjadi pembenar terhadap kepentingan elit rezim. Suara kritis dan perlawanan total mahasiswa yang dulu diharapkan masyarakat, saat ini cenderungnya menjadi tawa geli karena gerakan mahasiswa dalam pola kritis perjuangan sosialnya tidak lagi membumi dan sesuai dengan denyut suara hati masyarakanya.

Perubahan mendasar orentasi mahasiswa dan trend gerakan mahasiwa saat ini, menurut saya disebabkan sudah terkonstruksinya sistem kehidupan sosial mahasiswa pada kebudayaan material kapitalisme global. Dimana kapitalisme global dengan kekuatan modernisasi dan globalisasi mendesakkan spirit atas proyek instanisasi, kompetisi kekuasaan ekonomi serta mendesakkan atas arus sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Kehidupan sosial kemudian menjelma menjadi kekuatan kepentingan ekonomi (cost and benefit) an sich sehingga konstruksi sosialnya melahirkan manusia ekonomi (homo economicus) dan cenderungnya menghalalkan segala cara termasuk menjual belikan terhadap idealisme demi kepentingan-kepentingan materialnya . Dalam istilah ilmu hukum produk sistem yang demikian akan melahirkan manusia-manusia serigala (homo homini lupus) yang dalam kehidupannya hanyalah terbangun atas paradigma kepentingan praktis, individual, paragamatis dan melupakan aspek-aspek tanggungjawab lingkungan sosialnya.

Sebenarnya kita sangat berharap bahwa pendidikanlah yang akan memberikan pencerahan dan kesadaran kritis terhadap mahasiswa dan gerakan mahasiswa, terkait peran dan tanggungjawab sosialnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syafi’i Ma’arif, bahwa hakekat pendidikan bukanlah sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang ditanamkan pendidikan tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial, budaya dan ekonomi. Dalam konteks perubahan sosial pendidikan merupakan muara dari percepatan perwujudan cita-cita keummatan karena pendidikan merupakan media tranformasi kritis pencerdasan dan pencerahan sosial. Makanya sangat cocok awalnya menempatkan mahasiswa dan gerakan mahasiswa menjadi kekuatan dinamisator yang mampu mendorong secara radikal perubahan-perubahan sosialnya baik pada tingkatan negara ataupun pada tingkatan kampus.

Kalaupun kita membaca ulang teks-teks sejarah betapa perubahan bangsa ini tidak bisa melepaskan sama sekali dari peran dan positioning mahasiswa dan gerakan mahasiswa, misalkan awal perjuangan kemerdekaan dari kolonial dimana letupan perlawanan diteriakkan oleh mahasiswa dan kaum terpelajar meliputi Soekarno, Hatta, Syahrir Wahid Hasyim dan kawan-kawan, Penurunan Soekarno sendiri yang diteriakkan mahasiswa, peristiwa Malari tahun 1974, Perlawanan terhadap NKK/BKK tahun 1978, Penentangan terhadap pemaksaan asas tunggal pancasila tahun 1983-1985, dan masih hangat diingatan kita peristiwa reformasi 1997-1998 yang juga merupakan puncak letupan kegelisahan dan perlawanan mahasiswa terhadap rezim yang diktator, otoritarian dan tidak memanusiakan manusia. Elemen mahasiswa dan gerakan mahasiswa harus kita sadari merupakan poros perubahan karena keberadaannya merupakan elit intelektual yang dunianya dipenuhi dengan pengetahuan, keilmuan, buku-buku ataupun tradisi diskusi kritis yang secara sadar atau tidak mempengaruhi terhadap bangunan karakter (character building) keterpanggilannya untuk melakukan perubahan sosial.

Menurut pengamatan saya, dalam sejarah kebangsaan dari dulu sampai era modern ini, mahasiswa merupakan salah komunitas yang sangat ditakuti oleh rezim sehingga dengan berbagai upaya dan strategi, rezim mencoba melakukan penetrasi terhadap mahasiswa dan gerakan mahasiswa. Misalkan peristiwa munculnya kebijakan NKK/BKK tahun 1978 dan kewajiban menggunakan asas tunggal pancasila tahun 1985 tidak lain merupakan fenomena pembunuhan rezim terhadap perlawanan dan kekritisan gerakan mahasiswa yang terus menerus menggerogoti terhadap kelaliman-kelaliman kebijakan rezim. Dan kita tahu pada waktu itu, rezim orde baru untuk membunuh kekritisan mahasiswa dan gerakan mahasiswa melakukan intervensi terhadap birokrasi kampus dengan menjadikan lembaga pendidikan berada di bawah koordinasi Menteri Pendidikan pemerintah dan sengaja membuat bidang kantong dalam birokrasi kampus untuk mengawasi gerak-gerik mahasiswa, seperti kalau di setingkat universitas dibentuk rektoriat bagian kemahasiswaan dan ranah fakultas dibentuk bagian Dekanat urusan kemahasiswaan. Bidang-bidang inilah dahulu yang mengangkangi kekritisan mahasiswa dan gerakan mahasiswa sehingga sangat mudah pada waktu itu rezim orde baru meminta informasi dan melakukan pemantauan. Untuk memenuhi keinginan pemerintah, birokrasi kampus kerapkali memperingatkan sangat keras bagi aktifis mahasiswa yang seringnya berdemonstrasi, melawan terhadap otoriterianisme pemerintah dan salah satu strategi jitu orde baru dibuatlah kebijakan yang mencoba memperketat perkuliahan dan kewajiban-kewajiban yang memaksa mahasiswa untuk tidak terlibat dalam ranah gerakan sosial. Secara otomatis totalitas aktifis mahasiswa melakukan perjuangan dan tranformasi keummatan terbunuh secara lambat laun.

Mahasiswa yang kritis dan kreatif dipaksa untuk menjadi robot yang pekerjaannya mendengar ceramah di kelas, kost, belajar, ikut ujian, cepat selesai dan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Sistem pendidikan yang seperti ini tidak lain merupakan proyek instanisasi dan pragmatisasi yang sengaja didesakkan oleh negara kapitalis global, dimana mereka sangat berkepentingan untuk menjadikan individu-individu dalam negara-negara berkembang sebagai buruh dan budak. Karenanya, disadari atau tidak inilah dunia pendidikan yang dehumanistik dan membunuh terhadap proyeksi perwujudan peradaban universal (rahmatan lil alamien) kedepan. Serta pendidikan yang tidak orentatif pencerahan ini hanyalah mengantarkan peserta didik pada pengusaan pengetahuan an sich dan melepaskan dari aspek-aspek etika sosialnya berupa tanggungjawab untuk mewujudkan tatanan yang berkeadilan dan berkamanusiaan.

Perihal ini juga yang digelisahkan oleh Ali Syariati bahwa cita-cita Islam bukanlah mencetak manusia ilmuan sebagaimana dalam tradisi barat yang sekuler dan memisahkan keberadan agama dan ilmu tetapi menegaskan mencetak manusia intelektual yang mampu menempatkan pengetahuannnya sebagai pembebasan sosial masyarakat dari segala bentuk tirani dan diktatorian. Seorang intelektual dalam konteks pemikiran Ali Syariati merupakan komunitas yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Menangkap aspirasi masyarakatnya dan memberikan solusi pemecahan terhadap permasalahan yang berkembang. Pada dasarnya kegiatannya tidak didasarkan pada tujuan dan kepentingan praktis kekuasaan tetapi mereka dalam kapasitas intelektualnya membantu masyarakat menemukan kepuasan dalam mempraktikkan seni atau ilmu pengetahuan.

Berharap Lahirnya Kesadaran Kritis
Mengharapkan perubahan dalam sistem ke Indonesiaan ataupun birokrasi kampus memerlukan ke-istiqamahan dan total memegang teguh idealisme. Satu fondasi kekuatan keyakinan yang tahan diterpa dengan berbagai rintangan dan cobaan baik itu cobaan material kekuasaan, harta, wanita, ataupun cobaan lainnya yang terus berkonstelasi dalam arus modernisasi dan globalisasi yang kapitalistik.
Tantangan terbesar saat ini utamanya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Telah hilangnya tanggungjawab elit pemerintah untuk memahami kondisi kemiskinan masyarakatnya dan di lain pihak pemerintah terus berkonspirasi dengan para pemodal besar seperti IMF, World Bank, Asean Development Bank, WTO serta perusahan-perusahan multi nasional dan transnasional (MNC/TNC), serta blok-blok ekonomi regional APEC, NAFTA dan lain sebagainya untuk melakukan upaya pendesakan pasar bebas dan mengkampanyekan liberalisasi dalam berbagai aspek utamanya dalam areal kepentingan strategis mereka untuk mendominasi kekuatan ekonomi melalui liberalisasi keuangan, perdagangan serta penguasaan total terhadap badan-badan usaha milik negara.

Semenjak Indonesia mengalami krisisi moneter dan memuncak pada pertengahan tahun 1997, elit rezim pada waktu secara resmi mengundang kehadiran IMF memulihkan krisis moniter bangsa Indonesia dan berhutang sebesar US$ 41 Milyar untuk cadangan devisa di Bank Indonesia. Secara prosedural IMF meminjamkan hutang kepada Indonesia dan secara licik IMF mensyaratkan kepada pemerintah Indonesia untuk menandatangani Letter Of Intens (LOI) untuk mengubah sistem perekonomian keindonesiaan menjadi sistem ekonomi liberalisme neo liberal dan IMF mensyaratkan bahwa semua program ekonomi dan langkah-langkah reformasi, mesti atas persetujuan lembaga itu. Beberapa tuntutannya membuka total terhadap kepentingan pasar, memberikan peluang total terhadap para pemodal besar di negara-negara kolonial untuk hidup dan berkembang secara leluasa di bumi Indonesia dan bahkan mengeksplorasi sumber-sumber usaha yang dikuasai negara.

Dampak langsung yang masyarakat Indonesia rasakan kini adalah sistemiknya penindasan karena dicabutnya subsidi terhadap kepentingan publik sehingga Bahan Bakar Minyak naik melambung tinggi, Tarif Dasar Listrik yang terus menerus mau dinaikkan, Beras yang tidak terkontrol harganya di pasaran, Pendidikan tinggi negeri yang diprivatisasi melalui BHP, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang semestinya dikelola demi kepentingan masyarakat dan tetap terjaga efek lingkungannya tetapi tanpa berdosa pemerintah rame-rame menjualnya kepada pemodal asing, seperti Newmont, Blok Cepu, Natuna, Freport, BHP dan tahun 2007 ini sekitar 17 BUMN akan dijual oleh pemerintah Indonesia, kebijakan liberalisasi keuangan dan perdagangan yang berimbas secara langsung terhadap eksistensi usaha-usaha masyarakat Indonesia dan sangat menguntungkan pemodal asing. Dan saat ini pemerintah lagi menggarap RUU Penanaman Modal dan pada tanggal, 13 Maret 2007 kemarin rencana mau disahkan, dimana isinya jelas menambah daftar kekejaman yang dilakukan oleh elit rezim negara, dimana muatannya tidak berpihak sama sekali kepada kepentingan sosial ekonomi masyarakat utamanya mereka yang bekerja menjadi buruh pabrik serta memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pemodal asing.

Krisis kritisisme mahasiswa dan gerakan mahasiswa kontemporer menurut pengamatan saya disebabkan, pertama, tidak lain merupakan akibat dari skenario elit negara yang berkonspirasi dengan para pemodal besar IMF, World Bank, Asean Development Bank, WTO serta kolonial global lainnya untuk membunuh masyarakat dan khususnya kaum terdidik mahasiswa sehingga tidak berfikir kritis lagi dan terus menerus disibukkan dengan persoalan-persoalan individual yang lebih bersifat penindasan secara ekonomi. Terbukti masyarakat sekarang sudah terjebak pada kepentingan individual masing-masing dan bahkan mengarah pada anarkisme sosial berupa menguatnya budaya pencurian, penculikan, pembunuhan ataupun kekerasan lainnya yang kalau ditelaah lebih jauh motifnya adalah karena kepentingan keuangan.

Dalam konteks mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang seringkali diharapkan menjadi katalisator perubahan saat ini juga terjebak pada penindasan secara ekonomi; biaya pendidikan setinggi langit, kebutuhan hidup mahalnya luar biasa, dan kebutuhan berjuang untuk konsolidasi internal dan lintas gerakan sangat susah disebabkan biaya BBM, komunikasi, dan transportasi cenderungnya tidak terjangkau sehingga semakin menjauhkan areal silaturahmi, keakraban, persaudaraan dan soliditas gerakan mahasiswa.

Penyebab kedua, pendidikan sudah tidak lagi menjadi medium transformasi pencerahan, pemerdekaan dan mengantarkan pada kesadaran kritis. Indikasi utamanya ternyata produk pendidikan saat ini lebih banyak diam, hura-hura, happy, pasif dan tidak terbangun tanggungjawab sosialnya bahkan jeritan masyarakat karena penindasan yang rata-rata dilakukan rezim dan pemodal mengalir begitu saja. Ironisnya lagi, dosa yang dilakukan birokrasi kampus; memenjarakan mahasiswa sehingga tidak bisa beraktifitas secara merdeka dan berkembang secara kreatif diluar kampus. Kebijakan-kebijakan kampus lebih banyak berorentasi bangunan proyek ‘instan’ untuk menghasilkan produk-produk robot yang nantinya diperjualbelikan sesuai selera pabrik. Secara paradigmatik konsepsi yang dibangun oleh kampus saat ini jelas bertentangan secara filosofis dengan keberadaan pendidikan yang diharapkan mampu menjadi pembebas dari kemiskinan, kebodohan dan kekerasan yang terus menerus merajalela. Pendidikan yang hanya menghasilkan ilmuan instan dan produk mahasiswa yang tidak kreatif akan memunculkan krisis kemanusiaan kontemporer.

Sedangkan yang ketiga, disebabkan atas positioning personal mahasiswanya yang tidak mempunyai identitas kedirian dan kesejatian yang matang. Sehingga identitasnya lemah dan masih terombang-ambing oleh pengaruh arus besar global yang kapitalistik. Serta faktor-faktor lainnya baik yang timbul dari aras internal maupun eksternal karena bagaimanapun membincangkan komitmen perubahan sosial banyak aspek yang mempengaruhi dan mendorong atas akselarasi pencapaian tujuan perubahan sosial tersebut- baik itu keyakinan agama, prinsip hidup, lingkungan sosial, ataupun lainnya.

Untuk mengembalikan ruh perjuangan dan idealisme gerakan mahasiswa yang sudah mulai menghilang, meniscayakan untuk melakukan pembacaan ulang, refleksi kritis dan dari mana kita akan memulai perubahan dari kondisi sistem tirani yang menggurita ini? Yang jelas kondisi organisasi sudah kurang diminanti, perjuangan demonstrasi sudah tidak trend lagi, forum-forum diskusi intelektual sepi peminat, kelompok studi kritis tidak membudaya, perpustakaan sepi pengunjung dan ironisnya mahasiswa lebih senang happy-happy, Cafee, diskotik, dan menjadikan kampus sekedar tempat bertamasya. Tradisi intelektual yang biasa melekat pada kultur kemahasiswaan sudah menghilang dengan sedemikian rupa. Kondisi ini merupakan suasana yang sangat memprihatinkan dan semakin memburamkan perwujudan cita-cita peradaban universal yang secara sadar kita harapkan muncul dari lembaga-lembaga pendidikan.

Dalam perspektif yang lain, sebenarnya saya ingin menegaskan bahwa kita perlu mengubah wajah bangsa ini yang khianat menjadi bangsa yang adil, bijaksana dan berpihak pada kemanusiaan universal. Juga mengganti kebijakan dan tradisi pendidikan yang buram dengan mendesakkan perubahan kebijakan pendidikan yang mencerahkan dan menghidupkan tradisi intelektual dangan kembali menghidupkan ruang-ruang publik untuk dijadikan tempat diskusi kritis, dialog peradaban dan perbincangan konstelasi keummatan kontemporer. Dalam perspektif ini, saya masih berkeyakinan bahwa mahasiswa dan gerakan mahasiswa akan bangkit, bergerak, lantang dan mampu menjadi kekuatan transformator kesadaran kritis masyarakat sehingga mampu mengganjar terhadap kelaliman dan penghianatan elit. Namun, persoalannya kalau mahasiswa dan gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi kekuatan intelektual yang kritis saya sangat meragukan bahwa keberadaan mereka akan menjadi solusi alternatif dari kejumudan, kesemarautan, dan diktatorian sistem yang terus menerus terjadi sampai detik ini, kecuali malah menjadi penghianat yang serupa?Naudzubillah Min Dzalik!
* Penulis adalah Ketua Umum HMI Badko Inbagteng 2007-2009

selengkapnya.....

06 Desember 2007

Forum

Hearing Cabang se-Inbagteng dan PB HMI

Wonosobo (inbagteng.com) Disela-sela pelantikan pengurus HMI Badko Inbagteng Rabu (21/11) yang lalu, PB HMI dan beberapa pengurus Cabang se Inbagteng melakukan hearing terkait tema kepengurusan serta pemaparan agenda-agenda terdekat Komisi Pemuda dan Kemahasiswaan. Pertemuan itu difasilitasi oleh Badko Inbagteng yang bertempat di sekretariat HMI Cabang Wonosobo.

Elaborasi terkait tema PB disampaikan oleh Ketua Umum PB HMI, Syahrul Efendi Dasopang, tema yang dipilih PB kali ini adalah "Memperkokoh Negara Menuju Tamaddun (Peradaban) Indonesia Baru dan Maju". Menurut Syahrul tema tersebut mengadung beberapa poin mendasar antara lain bahwa ditengah hegemoni neoliberalisme dan negara dikuasa ‘elit’ maka yang harus dilakukan adalah untuk memperkokoh basis negara dalam konteks ini adalah warga negara. Adapun warga negara yang paling dominan adalah masyarakat akar rumput (grass root). Kelompok tersebut (warga negara, Red) merupakan yang paling dominan dan diajak konsolidasi. Dengan kata lain HMI harus melakukan transformasi pada level akar rumput. Syahrul menjelaskan bahwa agenda PB terkait hal tersebut adalah ‘muktamar pemikiran’.

Selain itu ketua PB juga mengeksplorasi tema-tema kepengurusan pada periode sebelumnya. Pada dasarnya tema ‘neoliberalisme’ sesungguhnya merupakan akumulasi dari tiga periode ; Cahyo Pamungkas : sistem ke-indonesiaan, Mudzakkir Djabir : gerakan tamadduni, dan Syahrul E. Dasopang : mengokohkan negara.
Demikian pula dengan periodesasi ide ; tahun 1985–1998 : epistimologi Islam, tahun 1998–2005 : konsolidasi keummatan, revolusi sistemik, perubahan sistem ke-indonesiaan. Sedangkan tahun 2005–2007 : rerakan tamadduni (rekayasa keummatan). Maka pada tahun 2007 – 2009 yang dipilih adalah : mengokohkan negara (praksis).

Beberapa penjabaran PB kemudian dilanjutkan oleh Azwar M. Syafi’ie selaku ketua Komisi Pemuda dan Kemahasiswaan. Azwar menyatakan bahwa ada desentralisasi isu, hal tersebut dari lokal dan menanggapi terhadap persoalan lokal. Dengan demikian akan ada diskusi-diskusi tentang perlawanan terhadap neoliberalisme, kepemimpinan kaum muda serta diskusi bulanan untuk persiapan aksi akhir tahun 2007 yang menyangkut persoalan ; pendidikan, kemiskinan, pengangguran, ekonomi serta persoalan bangsa lainnya.

Sesi Tanya Jawab
Pada sesi tanya jawab, beberapa pengurus Cabang mengajukan beberapa pandangan terkait tema dan kebijakan PB HMI saat ini. Syamsul Hidayat (ketua HMI Cabang Yogyakarta) mengatakan bahwa tema PB saat ini semestinya ditempatkan dalam kerangka metodologis. Muncul juga perdebatan mengenai konsepsi negara, partai politik serta kontrol PB HMI terhadap situasi politik tanah air ?. Dalam konteks ini PB HMI memberikan eksplorasi yang lebih jelas. Selain itu, Ardianto, ketua Cabang Sleman mempersoalkan kerangka praksis PB HMI terkait pemilu 2009. Pengurus HMI Cabang Jogja juga mempertegaskan mengenai terma (istilah) ‘negara’ dalam kalimat memperkokoh negara, apakah ini bukan berarti HMI akan semakin terlibat jauh dalam arus pusaran politik ?

Menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, Syahrul menegaskan bahwa masing-masing Cabang diberi kebebasan untuk melakukan eksplorasi terhadap perlawanan neo-liberalisme. Hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mendorong HMI untuk berpartisipasi dalam penguatan ‘civil society’ yaitu ulama akar rumput dari kelompok manapun. Sedangkan mengenai konsep pemilu 2009, hal itu akan dibahas pada Pleno III.

Selain persoalan tema dan kebijakan PB, salah satu Cabang juga memberikan kritik kepada pengurus PB karena lambannya pendistribusian hasil kongres HMI ke-26. Cabang Jogja menyampaikan bahwa seharusnya pendistribusian hasil kongres tidak dengan e-mail tetapi harus secara resmi dan sesuai prosedur. Menanggapi hal tersebut, ketua PB meminta maaf atas peristiwa tersebut, karena kondisi tersebut bukan kesengajaan tetapi memang karena ada beberapa kesalahan teknis dalam proses pengiriman, sehingga pendistribusian menjadi agak lambat.

Dinamika Cabang se-Inbagteng dan KPN
Pemaparan terkait kondisi internal masing-masing Cabang se-Inbagteng juga dibahas dalam forum ini. HMI Cabang Wonosobo yang diwakili oleh M. Nurdin menyampaikan bahwa HMI saat ini harus memberi tawaran terhadap persoalan sosial keummatan. Oleh karena itu pengurus Cabang ini telah menyusun serangkaian agenda, salah satunya adalah bakti sosial. Sedangkan pada sisi perkaderan, kendala yang dihadapi adalah follow up pasca latihan kader-1. Militansi kader yang cenderung fluktuatif, serta permasalahan dalam rekruitmen kader.

HMI Cabang Sleman juga mengekspose beberapa agenda yang akan dilakukan baik yang bersifat internal ataupun eksternal. Diantara agenda tersebut adalah Permilu Raya Mahasiswa (Pemira) kampus UGM. Ada beberapa komisariat yang memang sudah establish (mapan) dan ada juga komisariat yang masih butuh pendampingan. Di samping itu dan HMI Cabang Sleman juga akan melakukan recovery (pemulihan) terhadap komisariat yang belum stabil. Kendala yang sering dihadapi kurang lebih sama dengan cabang-cabang di beberapa kampus lain, yaitu gesekan-gesekan dengan elemen gerakan lain yang telah menjadi bagian dari dialektika organisasi kampus, demikian penjelasan Ardianto, ketua HMI Cabang Sleman.

Syamsul Hidayat mewakili cabang Jogja menyampaikan beberapa agenda kerja yang telah dijalankan serta beberapa hal antara lain ; persoalan lambatnya transformasi gagasan PB HMI ke Cabang serta telatnya penyerahan hasil kongres HMI. Selain itu tema PB HMI yang belum clear sehingga butuh transformasi yang lebih massif dan intensif. Selanjutnya HMI Cabang Jogja akan melakukan reshuffle pengurus, sosialiasi hasil kongres ke komisariat, Latihan Kader I, Lokakarya pendataan/standarisasi kualitas Cabang, kajian peradaban, serta beberapa aksi lapangan yang dihandle oleh PTK Cabang. Beberapa agenda lainnya juga disampaikan oleh ketua HMI Cabang Purworejo, Supriyati, diantaranya adalah reshuffle pengurus, pelaksanaan Latihan Kader-I, mengadakan kajian di kampus, kajian studi Al-Qur’an, bedah film serta bakti sosial pada saat Idul Adha.
Selain pengurus Cabang, Korps Pengader Nasional (KPN) yang diwakili oleh Ketua KPN Roni Hidayat, pada saat yang sama juga melakukan konsolidasi internal dengan beberapa personel KPN, menyampaikan beberapa hal terkait KPN kedepan. Salah satu agendanya akan melakukan review sekaligus pembaruan database pengader serta optimalisasi KPC pada masing-masing Cabang. (red)

selengkapnya.....
Designed by - alexis 2008 | ICM