31 Januari 2008

SK PB HMI

Nomor : 32/A/SEK/01/1429
Lamp. : 1 (satu) lembar
Hal : HIMBAUAN UNTUK MELAKUKAN AKSI KEPRIHATINAN
Kepada Yang Kami Hormati,
Pengurus HMI Cabang se-Indonesia
Di
TEMPAT

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Maha suci Allah, Tuhan penguasa semesta alam. Kepada-Nyalah ketundukan insani berserah. Salam rindu kita haturkan kepada manusia suci, Muhammad Saw, pejuang keadilan pencinta kaum papa, para keluarganya yang suci dan para sahabat terpilih.
Guna merespons perkembangan situasi nasional yang berkait dengan kematian Presiden RI ke-2, Soeharto, maka kami menyerukan kepada pengurus HMI cabang untuk melakukan aksi keprihatinan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 5 Februari 2008 (bertepatan dengan Milad HMI), dengan mengusung grand isyu “Soeharto Wafat ; Kuburkan Soehartoisme”.
Aksi ini kiranya amat penting untuk dilakukan, mengingat HMI di samping menjadi bagian dari korban kezaliman rezim Soeharto, juga sebagai bentuk antisipasi dan penolakan terhadap gejala bangkitnya Soehartoisme.
Demikian himbauan ini kami buat, atas kesediaan dan partisipasi saudara (i) kami ucapkan terima kasih.

Billahittaufiq wal hidayah.
Wassalamu 'alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 20 Muharram 1429 H
29 Januari 2008 M

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENGURUS BESAR

SYAHRUL EFENDI DASOPANG
KETUA UMUM
ITHO MURTADHA
SEKRETARIS JENDERAL

Tembusan :
Pengurus Badko HMI se-Indonesia
Arsip PB HMI

selengkapnya.....

SK PB HMI

Nomor : 32/A/SEK/01/1429
Lamp. : 1 (satu) lembar
Hal : HIMBAUAN UNTUK MELAKUKAN AKSI KEPRIHATINAN
Kepada Yang Kami Hormati,
Pengurus HMI Cabang se-Indonesia
Di
TEMPAT

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Maha suci Allah, Tuhan penguasa semesta alam. Kepada-Nyalah ketundukan insani berserah. Salam rindu kita haturkan kepada manusia suci, Muhammad Saw, pejuang keadilan pencinta kaum papa, para keluarganya yang suci dan para sahabat terpilih.
Guna merespons perkembangan situasi nasional yang berkait dengan kematian Presiden RI ke-2, Soeharto, maka kami menyerukan kepada pengurus HMI cabang untuk melakukan aksi keprihatinan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 5 Februari 2008 (bertepatan dengan Milad HMI), dengan mengusung grand isyu “Soeharto Wafat ; Kuburkan Soehartoisme”.
Aksi ini kiranya amat penting untuk dilakukan, mengingat HMI di samping menjadi bagian dari korban kezaliman rezim Soeharto, juga sebagai bentuk antisipasi dan penolakan terhadap gejala bangkitnya Soehartoisme.
Demikian himbauan ini kami buat, atas kesediaan dan partisipasi saudara (i) kami ucapkan terima kasih.

Billahittaufiq wal hidayah.
Wassalamu 'alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 20 Muharram 1429 H
29 Januari 2008 M

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENGURUS BESAR

SYAHRUL EFENDI DASOPANG
KETUA UMUM
ITHO MURTADHA
SEKRETARIS JENDERAL

Tembusan :
Pengurus Badko HMI se-Indonesia
Arsip PB HMI

selengkapnya.....

PRESS RELEASE

Soeharto Wafat ; Kuburkan Soehartoisme
Sehubungan dengan perkembangan situasi nasional akibat peristiwa meninggalnya Soeharto, kami dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO), menilai telah terjadi beberapa masalah yang serius :
Peristiwa meninggalnya Soeharto telah berubah menjadi kampanye pembalikan opini terhadap image rezim Orde Baru yang busuk.
Momen meninggalnya Soeharto telah dengan cerdik dimanfaatkan oleh pengikut-pengikut Soeharto untuk membangkitkan Soehartoisme. Soehartoisme kami pandang merupakan paham tata pemerintahan yang mengandalkan otoritarianisme, militerisme, dan KKN yang telah terbukti membangkrutkan bangsa dan negara.
Kebijakan pemerintah SBY-JK yang memberikan penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap Soeharto berupa hari berkabung nasional selama 7 hari membuktikan bahwa rezim SBY-JK sama sekali tidak mengindahkan spirit reformasi yang diperjuangkan dengan nyawa dan darah mahasiswa. Sebaliknya, kebijakan ini justru membuktikan bahwa rezim SBY-JK adalah bagian yang melekat dengan spirit Orde Baru.
Kematian Soeharto tanpa putusan hukum yang tetap telah membuyarkan harapan tentang tegaknya kepastian hukum di negara ini. Dan oleh karena itu, menyangkut perdata Soeharto, kami meminta supaya seluruh kekayaan yayasan-yayasan yang dikelola oleh Soeharto dan kroninya segera diserahkan kepada negara.
Usulan Partai Golkar untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu hal yang absurd, tidak beralasan, lagi mengabaikan perasaan para korban kejahatan politik dan HAM yang dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Dalam konteks ini, kematian Soeharto dalam kondisi tengah diproses secara hukum atas kasus korupsi dana Yayasan Supersemar telah menggugurkan prasyarat untuk menjadi pahlawan. Amat mustahil seseorang dalam posisi demikian untuk di sebut sebagai pahlawan bangsa. Belum lagi, mengingat sejumlah kasus kejahatan HAM, pemberangusan kebebasan (pers, berpendapat dan berorganisasi) dan perampasan hak-hak ekosob sebagian warga negara yang memang secara faktual terjadi di masa kepemimpinannya.
Kepada seluruh komponen bangsa, kami serukan bahwa membangkitkan Soehartoisme merupakan tindakan yang sesat dan berbahaya, sebaliknya kami serukan supaya mari menyongsong masa depan dengan mengubur Soehartoisme. Masa depan ada di tangan rakyat, bukan di tangan elit-elit pengikut Soeharto.
Demikian penyampaian ini kami buat, mudah-mudahan dapat menjadi panduan bagi kita semua untuk menata masa depan Indonesia yang adil dan bermartabat.

Billahittaufiq wal hidayah.
Wassalamu 'alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 20 Muharram 1429 H
29 Januari 2008 M

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENGURUS BESAR

SYAHRUL EFENDI DASOPANG
KETUA UMUM
ITHO MURTADHA
SEKRETARIS JENDERAL

selengkapnya.....

PRESS RELEASE

Soeharto Wafat ; Kuburkan Soehartoisme
Sehubungan dengan perkembangan situasi nasional akibat peristiwa meninggalnya Soeharto, kami dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO), menilai telah terjadi beberapa masalah yang serius :
Peristiwa meninggalnya Soeharto telah berubah menjadi kampanye pembalikan opini terhadap image rezim Orde Baru yang busuk.
Momen meninggalnya Soeharto telah dengan cerdik dimanfaatkan oleh pengikut-pengikut Soeharto untuk membangkitkan Soehartoisme. Soehartoisme kami pandang merupakan paham tata pemerintahan yang mengandalkan otoritarianisme, militerisme, dan KKN yang telah terbukti membangkrutkan bangsa dan negara.
Kebijakan pemerintah SBY-JK yang memberikan penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap Soeharto berupa hari berkabung nasional selama 7 hari membuktikan bahwa rezim SBY-JK sama sekali tidak mengindahkan spirit reformasi yang diperjuangkan dengan nyawa dan darah mahasiswa. Sebaliknya, kebijakan ini justru membuktikan bahwa rezim SBY-JK adalah bagian yang melekat dengan spirit Orde Baru.
Kematian Soeharto tanpa putusan hukum yang tetap telah membuyarkan harapan tentang tegaknya kepastian hukum di negara ini. Dan oleh karena itu, menyangkut perdata Soeharto, kami meminta supaya seluruh kekayaan yayasan-yayasan yang dikelola oleh Soeharto dan kroninya segera diserahkan kepada negara.
Usulan Partai Golkar untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu hal yang absurd, tidak beralasan, lagi mengabaikan perasaan para korban kejahatan politik dan HAM yang dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Dalam konteks ini, kematian Soeharto dalam kondisi tengah diproses secara hukum atas kasus korupsi dana Yayasan Supersemar telah menggugurkan prasyarat untuk menjadi pahlawan. Amat mustahil seseorang dalam posisi demikian untuk di sebut sebagai pahlawan bangsa. Belum lagi, mengingat sejumlah kasus kejahatan HAM, pemberangusan kebebasan (pers, berpendapat dan berorganisasi) dan perampasan hak-hak ekosob sebagian warga negara yang memang secara faktual terjadi di masa kepemimpinannya.
Kepada seluruh komponen bangsa, kami serukan bahwa membangkitkan Soehartoisme merupakan tindakan yang sesat dan berbahaya, sebaliknya kami serukan supaya mari menyongsong masa depan dengan mengubur Soehartoisme. Masa depan ada di tangan rakyat, bukan di tangan elit-elit pengikut Soeharto.
Demikian penyampaian ini kami buat, mudah-mudahan dapat menjadi panduan bagi kita semua untuk menata masa depan Indonesia yang adil dan bermartabat.

Billahittaufiq wal hidayah.
Wassalamu 'alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 20 Muharram 1429 H
29 Januari 2008 M

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENGURUS BESAR

SYAHRUL EFENDI DASOPANG
KETUA UMUM
ITHO MURTADHA
SEKRETARIS JENDERAL

selengkapnya.....

25 Januari 2008

TOR LK II

Term Of Reference
Latihan Kader II (Intermediate Training)
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Wonosobo

Tema:
"Rekonstruksi Paradigma Pendidikan sebagai Wujud Eksistensi Manusia menuju Masyarakat Berperadaban"

Dasar Pemikiran

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali ‘Imran: 190-191)

Pendidikan saat ini
Pendidikan yang selama ini dilakukan, tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara "utuh" dan "paripurna", tetapi lebih diorientasikan pada nilai-nilai materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Lebih mementingkan penjejalan otak kiri dari pada memahami pemahaman kebutuhan otak kanan. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi tidak terlihat. Mereka menjadi "robot-robot" zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik, dan mau menang sendiri.
Pendidikan juga cenderung mengalami simplifikasi, kita lebih biasa mengartikannya dalam konteks proses belajar-mengajar di sekolah, dari pada proses belajar seumur hidup. Sehingga sangat kontraproduktif apa yang terjadi di masyarakat dengan apa yang diperoleh di bangku sekolah. Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan "tong sampah" ilmu pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para guru.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Sebagaimana output pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.

Memanusiakan manusia
Dengan demikian, pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan menjawab tantangan perubahan masyarakat yang kian cepat. Apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, sebagai berikut:
Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau "lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada mengajar [teaching]".
Pendidikan Islam dapat "diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel".
Pendidikan Islam dapat "memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri", dan
Pendidikan Islam, "merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan" [ Zamroni,2000:9].
Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang "menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat".

Dua hal yang terkait dengan rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan ialah proses pendidikan yang berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Artinya, bahwa keberadaan manusia ialah keberadaan interaktif, sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai ‘abdullah sekaligus khalifatullah. Antara tujuan dan fungsi manusia ini sendiri yang kemudian menuntut eksistensi manusia untuk terus dicari pemahaman aplikatifnya seperti apa. Dalam hal ini, benar bahwa prosesi pemaknaan atas eksistensi manusia itu sendiri harus senantiasa berjalan sepanjang waktu. Sepanjang tujuan dan fungsi manusia yakni sebagai ‘abdi dan khalifah belum mampu dipahami, terkonsepsikan, dan teraplikasikan dengan baik maka sejatinya arahan hakikat pendidikan secara menyeluruh belum mampu terwujudkan. Karena salah satu dari keberwujudan eksistensi manusialah yang sampai pada konsekuensi progresifitas pendidikan, yang tak hanya sekedar berdimensi lokalitas tetapi juga global. Tak hanya berdimensi sosial manusia tetapi juga berdimensi Illahiyah.

Selanjutnya, merupakan eksistensi manusia yang memasyarakat. Apakah sama hal ini dengan tuntutan peran dari adanya proses pendikan itu sendiri? Bisa dikatakan hampir sama, namun yang lebih signifikan dalam hal ini bahwa eksistensi manusia yang memasyarakat ialah ketika pemahaman unsure pendidikan terdapat lembaga pendidikan dan non lembaga pendidikan, maka sejatinya bukan mencoba mendikotomikan antara lembaga dan non lembaga tersebut. Kenapa demikian? Menjadi kurang tepat jika mengasumsikan bahwa prosesi pendidikan bukan berada di masyarakat karena berada di lembaga pendidikan. Karena sejatinya, antara lembaga dan non lembaga atau masyarakat merupakan peran yang sama, bukan dua hal yang berbeda dalam ruang yang berbeda. Sehingga menjadi kurang tepat lagi, jika kemudian keinginan dari eksistensi manusia—dalam hal ini peran pendidikan—mencoba menyiapkan konsepsi sebagai inisiasi memasyarakat tadi, karena pendidikan itu sendiri ada dalam masyarakat. Benar bahwa, tujuan pendidikan bukan diluar proses pendidikan yang mengasumsikan masyarakat, tapi berada dalam pendidikan sendiri.

Masyarakat Berperadaban
Manusia merupakan wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil ardh). Untuk keperluan itu, ia dibekali dengan akal, budi, dan hati nurani, di samping manusia juga dikaruniai otoritas atas ciptaan-Nya. Dalam mewujudkan otoritas tersebut dalam kehidupan nyata, manusia harus menemukan kebijaksanaan atau hikmah yang akan membawa dia menjadi manusia yang utuh atau paripurna, dan pada saatnya akan menjadi khalifah – penguasa atau pemimpin –yang bijak.

Untuk mendapatkan hikmah kebijakan itu, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan proses yang komprehensif; proses melatih daya emosional, intelektual, dan spiritual secara simultan. Atau dalam bahasa yang lain pendidikan dilihat sebagai sesuatu proses yang inhern dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Hal ini, sesuai dengan tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik agar hidup bersih, suci, dan tulus, bukan hanya menjejali anak didik dengan fakta-fakta.

Ironisnya, pernyataan tersebut terdikotomikan dalam dua sisi, yakni sisi teoritis dan aplikatif yang seolah keduanya berdiri sendiri-sendiri. Artinya, bahwa fakta yang dalam realitasnya, sama sekali jauh dari teori pendahuluan yang dibangunnya. Di negeri ini, banyak orang yang berpendidikan tinggi – sarjana, magister, doktor, dll – tetapi etika mereka masih jauh dari kesan orang yang berpendidikan atau malah semakin memperlihatkan bahwa manusia lebih buruk dari binatang. Tindakan-tindakan amoral dan anarkis bukan lagi menjadi perbuatan yang aneh, bahkan seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang biasa. Bukan hanya tumbuhan dan hewan yang dimakan oleh mereka, tetapi anak dan keluarga merekapun rela untuk ‘dilahab’ atau ‘dibinasakan’ demi kepentingan dirinya. Banyaknya penindasan terhadap kaum lemah atau masyarakat miskin, yang masih menandakan bahwa keberpihakan terhadap mereka tidak pernah dibangun, atau paling tidak dipahamkan. Pemerkosaan yang tak jarang dilakukan oleh mereka yang bestatus sebagai guru dan tindakan anarkis yang akhir-akhir ini ikut mewarnai kehidupan kalangan mahasiswa dan wakil rakyat di berbagai pertemuannya. Itu semua merupakan cerminan bahwa moralitas bangsa kita saat ini sedang mengalami kemerosotan lantaran masih banyaknya kalangan orang berpendidikan yang tidak mengimbangi ilmu mereka dengan etika yang baik.

Peradaban di sini kita fahami sebagai suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kita tahu, bahwa di lingkungan akademis terjadi perdebatan tentang persoalan-persoalan ilmiah, filosofis, teknis, dan bahkan artistik yang dapat menghasilkan evaluasi dan perbaikan. Setiap individu boleh mengungkapkan pendapatnya atau pandangannya, tetapi hanya pandangan yang didukung oleh eksperimen dan lulus dari ujian hukum-hukum ilmiah yang dapat bertahan dan diakui. Namun kalau dikaitkan dengan teori-teori tentang persoalan sosial, konsistensi logika saja tidak cukup. Dalam artian, konteks argumentasi atau tesisnya harus dipertimbangkan. Suatu pernyataan yang benar dan salah, yang diungkapkan pada waktu dan tempat yang tidak tepat akan menimbulkan kesia-siaan. Sebaliknya, suatu argumen dengan dasar yang tidak kuat bisa dianggap sesuatu yang penting dalam lingkungan tertentu. Karena peradaban merupakan suatu budaya atau suatu kebiasaan yang melekat dan mendarah daging dalam suatu komunitas atau masyarakat tertentu, maka diperlukan individu-individu yang mempunyai intelektualitas tinggi untuk membangun peradaban Intelektual yang berbasiskan masyarakat yang beretika. Kalau beretika ditekankan pada persoalan moralitas, maka hal itu merupakan suatu kesadaran jiwa terdalam pada diri manusia; kesadaran hati nurani untuk saling menghormati dan mencintai sesama, membela kaum tertindas, dan mementingkan kepentingan masyarakat banyak dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme.

Falsafah kebijakan, bahwa tingginya pemahaman keilmuan seseorang berimplikasi terhadap tingkat kebijaksanaannya menyikapi kehidupan, seyogyanya menjadi referensi bagi kader-kader himpunan. Bukan justru berbalik faktanya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perilaku amoral dan anarkis yang dilakukan oleh yang mengaku dirinya seorang intelektual. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu peradaban melalui proses kesinambungan memanusiakan manusia yang berlandaskan nilai-nilai ke-Illahiyah-an. Artinya, proses pendidikan yang membawa manusia pada fitrahnya sehingga mampu membangun peradaban luhur masyarakat yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw.

Melihat realitas tersebut, maka selayaknya semakin meneguhkan keberpihakan kita yang senantiasa menyuarakan arahan perkaderan dan perjuangan. Ironis sekali ketika pendidikan yang menjadi salah satu dasar pembangun peradaban harus tereduksi bahkan terdekonstruksi kedalam simplifikasi hakikat pendidikan. Pada dataran inilah, referensi pembangunan karakter dalam konteks pembenahan akhlak menjadi penting. Sebagaimana misi kenabian yakni pentauhidan dan penyempurnaan akhlak. Demikian halnya dengan pendidikan yang tak sekedar menjadikan manusia cerdas secara intelektual namun hampa spiritualnya.

Landasan Kegiatan
Landasan Normatif:
1. Al Qur’an Surat Ali Imran (110) dan Surat Ar-Ra’ad (11)
2. As Sunnah
Landasan Konstitusional:
AD HMI, pasal 6 tentang usaha
Pedoman Perkaderan HMI
Landasan Operasioanl:
Program Kerja Semester II HMI Cabang Wonosobo
Rapat Harian Pengurus HMI Cabang Wonosobo
Rapat Kerja Bidang Perkaderan

Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan:
3. Menumbuhkan kemampuan analisa dan mengkritisi problematika pendidikan.
4. Menumbuhkan kesadaran pada diri kader akan pentingnya eksistensi manusia.
5. Menumbuhkan kemampuan kader akan peran konsepsinya dalam pendidikan menuju masyarakat berperadaban.
6. Membangun paradigma pendidikan yang bervisi kearah masyarakat berperadaban sebagai sebuah rekonstruksi.

Target Kegiatan
7. Kader mampu menganalisa dan mengkritisi problematika pendidikan.
8. Tumbuhnya kesadaran pada diri kader akan pentingnya eksistensi manusia.
9. Tumbuhnya kemampuan kader akan peran konsepsinya dalam pendidikan menuju masyarakat berperadaban.
10. Kader mampu membangun paradigma pendidikan yang bervisi kearah masyarakat berperadaban sebagai sebuah rekonstruksi.

Peserta
Peserta LK II adalah kader HMI yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Lulus LK I dengan dibuktikan oleh sertifikat atau rekomendasi dari pengurus cabang.
Membuat resume Khittah Perjuangan
Membuat makalah sesuai tema yang diangkat
Lulus dalam seleksi oleh Tim Pemandu

Pelaksanan Kegiatan
Latihan Kader II ini dilaksanakan pada:
11. Pendaftaran dimulai Januari – Februari 2008
12. Seleksi dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Februari 2008
13. Pengumuman kelulusan pada tanggal 11 Februari 2008
14. Pelaksanaan LK II pada tanggal 11– 18 Februari 2008

Manual Acara
Terlampir

Penutup
Demikian Term Of Reference ini untuk menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan semoga Allah SWT., meridhai pada pelaksanaan Intermediate Training (LK II) III Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Wonosobo. Jazakumullah khairon katsira.
Billahitaufiq wal hidayah

selengkapnya.....

TOR LK II

Term Of Reference
Latihan Kader II (Intermediate Training)
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Wonosobo

Tema:
"Rekonstruksi Paradigma Pendidikan sebagai Wujud Eksistensi Manusia menuju Masyarakat Berperadaban"

Dasar Pemikiran

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali ‘Imran: 190-191)

Pendidikan saat ini
Pendidikan yang selama ini dilakukan, tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara "utuh" dan "paripurna", tetapi lebih diorientasikan pada nilai-nilai materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Lebih mementingkan penjejalan otak kiri dari pada memahami pemahaman kebutuhan otak kanan. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi tidak terlihat. Mereka menjadi "robot-robot" zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik, dan mau menang sendiri.
Pendidikan juga cenderung mengalami simplifikasi, kita lebih biasa mengartikannya dalam konteks proses belajar-mengajar di sekolah, dari pada proses belajar seumur hidup. Sehingga sangat kontraproduktif apa yang terjadi di masyarakat dengan apa yang diperoleh di bangku sekolah. Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan "tong sampah" ilmu pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para guru.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Sebagaimana output pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.

Memanusiakan manusia
Dengan demikian, pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan menjawab tantangan perubahan masyarakat yang kian cepat. Apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, sebagai berikut:
Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau "lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada mengajar [teaching]".
Pendidikan Islam dapat "diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel".
Pendidikan Islam dapat "memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri", dan
Pendidikan Islam, "merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan" [ Zamroni,2000:9].
Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang "menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat".

Dua hal yang terkait dengan rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan ialah proses pendidikan yang berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Artinya, bahwa keberadaan manusia ialah keberadaan interaktif, sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai ‘abdullah sekaligus khalifatullah. Antara tujuan dan fungsi manusia ini sendiri yang kemudian menuntut eksistensi manusia untuk terus dicari pemahaman aplikatifnya seperti apa. Dalam hal ini, benar bahwa prosesi pemaknaan atas eksistensi manusia itu sendiri harus senantiasa berjalan sepanjang waktu. Sepanjang tujuan dan fungsi manusia yakni sebagai ‘abdi dan khalifah belum mampu dipahami, terkonsepsikan, dan teraplikasikan dengan baik maka sejatinya arahan hakikat pendidikan secara menyeluruh belum mampu terwujudkan. Karena salah satu dari keberwujudan eksistensi manusialah yang sampai pada konsekuensi progresifitas pendidikan, yang tak hanya sekedar berdimensi lokalitas tetapi juga global. Tak hanya berdimensi sosial manusia tetapi juga berdimensi Illahiyah.

Selanjutnya, merupakan eksistensi manusia yang memasyarakat. Apakah sama hal ini dengan tuntutan peran dari adanya proses pendikan itu sendiri? Bisa dikatakan hampir sama, namun yang lebih signifikan dalam hal ini bahwa eksistensi manusia yang memasyarakat ialah ketika pemahaman unsure pendidikan terdapat lembaga pendidikan dan non lembaga pendidikan, maka sejatinya bukan mencoba mendikotomikan antara lembaga dan non lembaga tersebut. Kenapa demikian? Menjadi kurang tepat jika mengasumsikan bahwa prosesi pendidikan bukan berada di masyarakat karena berada di lembaga pendidikan. Karena sejatinya, antara lembaga dan non lembaga atau masyarakat merupakan peran yang sama, bukan dua hal yang berbeda dalam ruang yang berbeda. Sehingga menjadi kurang tepat lagi, jika kemudian keinginan dari eksistensi manusia—dalam hal ini peran pendidikan—mencoba menyiapkan konsepsi sebagai inisiasi memasyarakat tadi, karena pendidikan itu sendiri ada dalam masyarakat. Benar bahwa, tujuan pendidikan bukan diluar proses pendidikan yang mengasumsikan masyarakat, tapi berada dalam pendidikan sendiri.

Masyarakat Berperadaban
Manusia merupakan wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil ardh). Untuk keperluan itu, ia dibekali dengan akal, budi, dan hati nurani, di samping manusia juga dikaruniai otoritas atas ciptaan-Nya. Dalam mewujudkan otoritas tersebut dalam kehidupan nyata, manusia harus menemukan kebijaksanaan atau hikmah yang akan membawa dia menjadi manusia yang utuh atau paripurna, dan pada saatnya akan menjadi khalifah – penguasa atau pemimpin –yang bijak.

Untuk mendapatkan hikmah kebijakan itu, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan proses yang komprehensif; proses melatih daya emosional, intelektual, dan spiritual secara simultan. Atau dalam bahasa yang lain pendidikan dilihat sebagai sesuatu proses yang inhern dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Hal ini, sesuai dengan tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik agar hidup bersih, suci, dan tulus, bukan hanya menjejali anak didik dengan fakta-fakta.

Ironisnya, pernyataan tersebut terdikotomikan dalam dua sisi, yakni sisi teoritis dan aplikatif yang seolah keduanya berdiri sendiri-sendiri. Artinya, bahwa fakta yang dalam realitasnya, sama sekali jauh dari teori pendahuluan yang dibangunnya. Di negeri ini, banyak orang yang berpendidikan tinggi – sarjana, magister, doktor, dll – tetapi etika mereka masih jauh dari kesan orang yang berpendidikan atau malah semakin memperlihatkan bahwa manusia lebih buruk dari binatang. Tindakan-tindakan amoral dan anarkis bukan lagi menjadi perbuatan yang aneh, bahkan seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang biasa. Bukan hanya tumbuhan dan hewan yang dimakan oleh mereka, tetapi anak dan keluarga merekapun rela untuk ‘dilahab’ atau ‘dibinasakan’ demi kepentingan dirinya. Banyaknya penindasan terhadap kaum lemah atau masyarakat miskin, yang masih menandakan bahwa keberpihakan terhadap mereka tidak pernah dibangun, atau paling tidak dipahamkan. Pemerkosaan yang tak jarang dilakukan oleh mereka yang bestatus sebagai guru dan tindakan anarkis yang akhir-akhir ini ikut mewarnai kehidupan kalangan mahasiswa dan wakil rakyat di berbagai pertemuannya. Itu semua merupakan cerminan bahwa moralitas bangsa kita saat ini sedang mengalami kemerosotan lantaran masih banyaknya kalangan orang berpendidikan yang tidak mengimbangi ilmu mereka dengan etika yang baik.

Peradaban di sini kita fahami sebagai suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kita tahu, bahwa di lingkungan akademis terjadi perdebatan tentang persoalan-persoalan ilmiah, filosofis, teknis, dan bahkan artistik yang dapat menghasilkan evaluasi dan perbaikan. Setiap individu boleh mengungkapkan pendapatnya atau pandangannya, tetapi hanya pandangan yang didukung oleh eksperimen dan lulus dari ujian hukum-hukum ilmiah yang dapat bertahan dan diakui. Namun kalau dikaitkan dengan teori-teori tentang persoalan sosial, konsistensi logika saja tidak cukup. Dalam artian, konteks argumentasi atau tesisnya harus dipertimbangkan. Suatu pernyataan yang benar dan salah, yang diungkapkan pada waktu dan tempat yang tidak tepat akan menimbulkan kesia-siaan. Sebaliknya, suatu argumen dengan dasar yang tidak kuat bisa dianggap sesuatu yang penting dalam lingkungan tertentu. Karena peradaban merupakan suatu budaya atau suatu kebiasaan yang melekat dan mendarah daging dalam suatu komunitas atau masyarakat tertentu, maka diperlukan individu-individu yang mempunyai intelektualitas tinggi untuk membangun peradaban Intelektual yang berbasiskan masyarakat yang beretika. Kalau beretika ditekankan pada persoalan moralitas, maka hal itu merupakan suatu kesadaran jiwa terdalam pada diri manusia; kesadaran hati nurani untuk saling menghormati dan mencintai sesama, membela kaum tertindas, dan mementingkan kepentingan masyarakat banyak dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme.

Falsafah kebijakan, bahwa tingginya pemahaman keilmuan seseorang berimplikasi terhadap tingkat kebijaksanaannya menyikapi kehidupan, seyogyanya menjadi referensi bagi kader-kader himpunan. Bukan justru berbalik faktanya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perilaku amoral dan anarkis yang dilakukan oleh yang mengaku dirinya seorang intelektual. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu peradaban melalui proses kesinambungan memanusiakan manusia yang berlandaskan nilai-nilai ke-Illahiyah-an. Artinya, proses pendidikan yang membawa manusia pada fitrahnya sehingga mampu membangun peradaban luhur masyarakat yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw.

Melihat realitas tersebut, maka selayaknya semakin meneguhkan keberpihakan kita yang senantiasa menyuarakan arahan perkaderan dan perjuangan. Ironis sekali ketika pendidikan yang menjadi salah satu dasar pembangun peradaban harus tereduksi bahkan terdekonstruksi kedalam simplifikasi hakikat pendidikan. Pada dataran inilah, referensi pembangunan karakter dalam konteks pembenahan akhlak menjadi penting. Sebagaimana misi kenabian yakni pentauhidan dan penyempurnaan akhlak. Demikian halnya dengan pendidikan yang tak sekedar menjadikan manusia cerdas secara intelektual namun hampa spiritualnya.

Landasan Kegiatan
Landasan Normatif:
1. Al Qur’an Surat Ali Imran (110) dan Surat Ar-Ra’ad (11)
2. As Sunnah
Landasan Konstitusional:
AD HMI, pasal 6 tentang usaha
Pedoman Perkaderan HMI
Landasan Operasioanl:
Program Kerja Semester II HMI Cabang Wonosobo
Rapat Harian Pengurus HMI Cabang Wonosobo
Rapat Kerja Bidang Perkaderan

Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan:
3. Menumbuhkan kemampuan analisa dan mengkritisi problematika pendidikan.
4. Menumbuhkan kesadaran pada diri kader akan pentingnya eksistensi manusia.
5. Menumbuhkan kemampuan kader akan peran konsepsinya dalam pendidikan menuju masyarakat berperadaban.
6. Membangun paradigma pendidikan yang bervisi kearah masyarakat berperadaban sebagai sebuah rekonstruksi.

Target Kegiatan
7. Kader mampu menganalisa dan mengkritisi problematika pendidikan.
8. Tumbuhnya kesadaran pada diri kader akan pentingnya eksistensi manusia.
9. Tumbuhnya kemampuan kader akan peran konsepsinya dalam pendidikan menuju masyarakat berperadaban.
10. Kader mampu membangun paradigma pendidikan yang bervisi kearah masyarakat berperadaban sebagai sebuah rekonstruksi.

Peserta
Peserta LK II adalah kader HMI yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Lulus LK I dengan dibuktikan oleh sertifikat atau rekomendasi dari pengurus cabang.
Membuat resume Khittah Perjuangan
Membuat makalah sesuai tema yang diangkat
Lulus dalam seleksi oleh Tim Pemandu

Pelaksanan Kegiatan
Latihan Kader II ini dilaksanakan pada:
11. Pendaftaran dimulai Januari – Februari 2008
12. Seleksi dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Februari 2008
13. Pengumuman kelulusan pada tanggal 11 Februari 2008
14. Pelaksanaan LK II pada tanggal 11– 18 Februari 2008

Manual Acara
Terlampir

Penutup
Demikian Term Of Reference ini untuk menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan semoga Allah SWT., meridhai pada pelaksanaan Intermediate Training (LK II) III Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Wonosobo. Jazakumullah khairon katsira.
Billahitaufiq wal hidayah

selengkapnya.....

22 Januari 2008

Latihan Kader II (Intermediate Training)
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Wonosobo

Tema:
“Rekonstruksi Paradigma Pendidikan sebagai Wujud Eksistensi
Manusia menuju Masyarakat Berperadaban”

Persyaratan
Peserta LK II adalah kader HMI yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Lulus LK I dengan dibuktikan oleh sertifikat atau rekomendasi dari pengurus cabang.
Membuat resume Khittah Perjuangan
Membuat makalah sesuai tema yang diangkat
Lulus dalam seleksi oleh Tim Pemandu

Pelaksanan Kegiatan
Latihan Kader II ini dilaksanakan pada:
Pendaftaran dimulai Januari – Februari 2008
Seleksi dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Februari 2008
Pengumuman kelulusan pada tanggal 11 Februari 2008
Pelaksanaan LK II pada tanggal 11– 18 Februari 2008

Tempat
HMI Cabang Wonosobo

selengkapnya.....

Latihan Kader II (Intermediate Training)
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Wonosobo

Tema:
“Rekonstruksi Paradigma Pendidikan sebagai Wujud Eksistensi
Manusia menuju Masyarakat Berperadaban”

Persyaratan
Peserta LK II adalah kader HMI yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Lulus LK I dengan dibuktikan oleh sertifikat atau rekomendasi dari pengurus cabang.
Membuat resume Khittah Perjuangan
Membuat makalah sesuai tema yang diangkat
Lulus dalam seleksi oleh Tim Pemandu

Pelaksanan Kegiatan
Latihan Kader II ini dilaksanakan pada:
Pendaftaran dimulai Januari – Februari 2008
Seleksi dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Februari 2008
Pengumuman kelulusan pada tanggal 11 Februari 2008
Pelaksanaan LK II pada tanggal 11– 18 Februari 2008

Tempat
HMI Cabang Wonosobo

selengkapnya.....

SUSUNAN PENGURUS BESAR
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

PERIODE 1428-1430 H/2007-2009 M

KETUA UMUM: SYAHRUL EFENDI DASOPANG
SEKRETARIS JENDERAL : ITHO MURTADHA
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Politik : Surachmad
Wakil Sekretaris Jenderal Ekonomi dan Pembangunan : Syamsurizal
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Hukum dan HAM : Muhammad Baqir
Wakil Sekretaris Jenderal Lingkungan Hidup : Amin Fajri
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Pendidikan : Umami
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Dakwah dan Komunikasi Umat : Widayat
Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Pemuda dan Kemahasiswaan : Summaya Ilham Nur Adnan
Wakil Sekretaris Jenderal Hubungan Internasional : Faisal Andi Rizal
BENDAHARA UMUM : ANTON PANTON
Wakil Bendahara Umum : Anwar Natar
Wakil Bendahara Umum : Kholisoh
Ketua Komisi Politik : Abdullah Mukarram
Staf
:
Dedi Sumarna
Ketua Komisi Ekonomi dan Pembangunan
:
Muhammad Farid
Staf
:
Syamsul Hilal Ramsyah
:
Rozi Kurnia
Ketua Komisi Hukum dan HAM
:
Mahfudin
Staf
:
Ahmad
Ketua Komisi Lingkungan Hidup
:
Makmur Alto
Staf
:
Kus Sri Antoro
Ketua Komisi Pendidikan
:
Abdul Hayyi Akrom
Staf
:
Anwar daud
:
Dedi Amra
Ketua Komisi Dakwah dan Komunikasi Umat
:
Yayan Fauzan
Staf
:
Ahmad Majid
Ketua Komisi Pemuda dan Kemahasiswaan
:
Azwar M. Syafei
Staf
:
Ibrahim
:
Eman Siswanto
:
Akhirudin
Ketua Komisi Hubungan Internasional
:
Hery Setiawan
Staf
:
Siti Darmalisa
Lembaga Koordinasi
Ketua Badan Koordinasi Indonesia Bagian Barat
:
Adang Ridwan
Ketua Badan Koordinasi Indonesia Bagian Tengah
:
Moh Syafi’ie
Ketua Badan Koordinasi Indonesia Bagian Utara
:
Hariman Podungge
Ketua Badan Koordinasi Indonesia Bagian Timur
:
Hartono
Lembaga Khusus
Ketua Koordinator Nasional Korp HMI Wati (KOHATI)
:
Fitriah
Ketua Dewan Pengurus Lembaga Amil Wakaf, Infak dan Sadaqah (LAWAZIS)
:
Hasbullah
Lembaga Kekaryaan
Direktur Eksekutif Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI)
:
Sutrisno

selengkapnya.....

Tema Badko

Tema Kepengurusan HMI Badko Inbagteng 2007-2009
Pembangkitan Kesadaran Kritis Upaya
Konsolidasi Perlawanan Terhadap Hegemoni Liberal Neo Liberalisme

Berpuluh dasawarsa sudah terlewati dari deklarasi kemerdekaan bangsa Indonesia tapi sampai saat ini kita masih belum mampu melepaskan dari hegemoni sistem kolonial, Begitu banyak tata aturan dan kultural sosial yang masih berpijak pada prinsip-prinsip kolonial sehingga menjadi sangat wajar bangsa ini tidak mampu melepaskan diri dari jerat-jerat penjajahan yang sangat sistemik dan semakin menggurita era kekinian. Wujud penjajah di era globalisasi yang kapitalis liberal saat ini cenderungnya menjadi simbolik yang ada dalam "teks buku sejarah" dan sangat susah diidentifikasi di dunia realitas.

Memang semenjak kejatuhan Soviet pada perang dingin 1991 dan dimenangkan blok barat Amerika Serikat merupakan pertanda bahwa tata dunia telah terhegemoni oleh rezim kapitalis. Walaupun ide serta ideologi sangat kompleks dan beragam yang muncul dari berbagai kawasan, namun kerja-kerja sistem kapitalisme liberal telah merasuki dan menjadi sistem struktrual dunia secara global sehingga yang terjadi semuanya kemudian merumpun pada satu kekuatan yang padu mendukung atas prinsip-prinsip kapatalisme, dan inilah yang disebut Francis Fukuyama sebagai The End of History.

Hegemonikya sistem kapitalis liberal yang saat ini dikenal dengan liberal neo liberalisme berhasil menjebakkan pada instanisasi pemikiran dan prinsip-prinsip pragmatisme. Sehingga dalam realitasnya neo liberalisme mampu mengkonstruksikan positioning masyarakat pada satu arus "ideologi tertutup" dan "kebenaran tunggal" sebagaimana ada dalam "kelompok" dan tidak mau melakukan dialog dengan lainnya, tradisi klaim kebenaran (truth claim) dan melihat yang lain sebagai sumber malapetaka semakin menguat di internal masyarakat. Internal umat Islam saat ini terpetakan pada dua kutub besar. Pertama, kelompok masyarakat yang fundamentalis konservatif, yang meyakini secara tertutup bahwa kemaslahatan dapatlah an sich diwujudkan dengan keyakinannya dan tanpa memandang yang lain juga sebagai mitra kemaslahatan. Sedangkan kelompok yang kedua merupakan representasi dari kelompok masyarakat yang mengabdi kepada kepentingan pasar dan membenarkan apapun yang ada dalam arus pemikiran globalisasi.

Secara umum bangunan sistem neo liberalisme mengarahkan pada prinsip kedangkalan, praktis, instan, pragmatis dan menghilangkan positioning manusia sebagai subyek sosial. Semuanya dibentuk pada pradigma materialistik, untung rugi dan diperdagangkan. Liberal neo liberalisme sesungguhnya mengkonstruksikan pada penuhanan "uang" sehingga siapapun yang mempunyai modal uang maka posisinya dipastikan akan menjadi penguasa dan mengendalikan terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, baik pusat ataupun daerah. Disinilah kesusahannya untuk mengidentifikasi terhadap penindas itu sendiri, apakah sebetulnya penindas itu semata dari "kolonial asing" atau penindas itu sesungguhnya bergentayangan di negeri ini bahkan mereka yang mengatur kebijakan?

Kalaupun secara deklare rakyat Indonesia saat ini menyepakati bahwa Indonesia merupakan sebuah negara merdeka dan merayakannya secara ritual agustus-an, tentunya kita bertanya terus, sejauhmana negara ini sudah bertanggungjawab terhadap warga negaranya berupa pendidikan gratis, kesejahteraan sosial dan keamanan dari intervensi-intervensi pihak negara lain. Terdapat pergeseran yang cukup tajam untuk menemu kembali negara ini dan bisa disebut sebagai negara yang independen dan merdeka. Dalam beberapa dasawarsa ini kita melihat dengan mata yang sangat telanjang bahwa negara ini sudah tidak lagi dimiliki oleh rakyat (demos) sebagaimana dalam negara demokrasi. Melainkan dimiliki oleh para elit borjuasi yang secara terang-terangan membeli representasi rakyat lewat partai politik. Dan perlu disadari bahwa mereka sesungguhnya digerakkan oleh para pemilik modal baik yang ada dalam negeri ataupun jejaring pemodal luar negeri.

Secara terus terang mereka (elit negara dan pemodal) berkonspirasi dan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan terhadap kepentingan mereka. Konteks ini memperjelas bahwa negera Indonesia ini merupakan negara dagang dan dikuasai oleh para pemodal baik yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri. Seorang Richard Robinson pernah melakukan penelitian di era orde baru tentang negara dagang ini, Indonesia pada tahun 1980-an bermunculan pengusaha-pengusaha yang mendapatkan fasilitas-fasilitas strategis negara, semisal konglomerat Sudono Salim, Bob Hasan, dan para keluarga cendana yang rame-rame berbisnis. Saat ini bermunculan pengusaha lokal semisal Abu Rizal Bakri, Jusuf Kalla, dan lainnya dan mendapatkan kelimpahan proyek dari negara. Sedangkan di luar negeri bermunculan pemodal besar seperti CGI, IBRD, investor AS, investor Taiwan dan investor Hongkong.

konfigurasi negara dagang masih berjalan sangat sistemik sampai detik ini dan menggangu terhadap prosesi penyelenggaran negara rakyat sebagaimana dalam amanah konstitusi UUD 1945. Pemerintahan SBY-JK yang saat ini berkuasa sebenarnya tidak lain merupakan representasi dari negara dagang, yang memperuntukkan kebijakan-kebijakannya hanyalah untuk para elit borjuis pemilik modal ditingkat lokal yang banyak bercokol di partai Golkar ataupun pemilik modal ditingkat internasional baik IMF, World Bank, Asean Development Bank dan Pengusaha-pengusaha korporasi multi nasional. Makanya sangat mudah dirasionalkan terkait alur kebijakan negara ini baik berupa Lapindo yang tak kunjung selesai, UU Penanaman Modal, UU Terorisme yang nota bene proyek Amerika dan Australia, Privatisasi Badan Usaha Milik Negara meliputi, Newmont, Freport, Blok Cepu, Natuna, kebijakan liberalisasi keuangan yang jelas menguntungkan para pemodal besar, liberalisasi perdagangan yang berdampak langsung terhadap tersingkirnya produk-produk lokal digantikan oleh produk-produk asing, Perpres 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan umum yang nota bene tindak lanjut dari pertemuan infra struktur summit 2005, Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Migas, serta masih banyak kebijakan lainya yang merupakan representasi kepentingan para pemodal dan menyengsarakan rakyat.

Yang paling menyakitkan, pemerintah Indonesia kekinian telah merumuskan dan akan memberlakukan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), dimana produk Undang-undang ini merupakan konsekwensi dari rumusan pasal 53 ayat (1) UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. RUU BHP ini tinggal menunggu amanat dari Presiden untuk diberlakukan, DPR sudah memasukkannya menjadi program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2007 ini. Substasi dari Undang-Undang ini bahwa negara berkeinginan melepaskan tanggungjawabnya untuk mensubsidi pendidikan dan menyerahkan pendanaannya secara total terhadap pengelolanya. Dengan pemberlakuan Undang-Undang ini kedepan maka tidak akan ada lagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) karena semuanya akan dikelola dengan model privatisasi. Seorang pakar pendidikan H.A.R Tilaar (Tempo, 12/4/2005) menilai bahwa RUU BHP jelas merupakan bagian dari representasi neo liberalisme dalam pendidikan karena pemerintah ingin cuci tangan dari tanggungjawabnya terhadap pembiayaan pendidikan. Secara terselubung pemerintah ingin menghianati terhadap perintah konstitusi pada pasal 31 ayat (1) dan (2) yang isinya jelas memerintahkan negara untuk bertanggungjawab terhadap pendidikan untuk warganya dan bahkan digratiskan. Dengan ini, konsep BHMN yang saat ini sudah dijalankan oleh 7 (Tujuh) PTN (UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI dan UNAIR) kedepan ini akan disempurnakan secara total dengan Undang-Undang BHP sehingga kondisi ini akan memperparah penindasan terhadap rakyat dan semakin memperbodoh rakyat.

Ketika semuanya sudah terkhianati dan menghamba pada poros kapital "uang", kemana kemudian kita berharap terhadap perubahan ini? Kondisi ini seringkali menjebakkan pada anomali-anomali dan kebingungan yang tidak menentu. Kaum cendikiawan cenderungnya terjebak pada alienasi dan frustasi, ilmuan mayoritas menjadi pelegitimasi rezim dan membiarkan keluh tangis rakyat, politisi jelas hanyalah berfikir kekuasaannya, pemodal semakin menjadi raja dan berkuasa sedangkan rakyat semakin menderita, menangis dan tradisi "kufur" semakin meningkat dan membesar. Perihal ini tergambar secara faktual dari mulai kasus PKL yang digusur, pendidikan yang selangit, rumah prostitusi yang semakin tidak menampung, HIV yang menguat, pencurian yang semakin sadis, narkoba, kemiskinan yang tidak membesar dan lain sebagainya yang melambangkan era jahiliyyah modern.

Untuk melepas dari jerat-jerat jahiliyyah modern kekinian haruslah ada perlawanan yang total dari rakyat. Semestinya ada konsolidasi yang lebih massif untuk merebut negara dan kembali menempatkannya sebagai medan publik yang kebijakan-kebijakannya berpijak pada landasan publik bukan medan privat yang sekedar dikuasai oleh segelintir orang yang mempunyai modal. Dengan demikian pilihan cut generation dan berevolusi haruslah didesakkan secara terus menerus, dan dalam Islam tidaklah cukup dengan kekuatan ‘massa’ tapi kering secara intelektual. Melainkan lebih dari itu, proyek cut generation dan berevolusi itu ialah proyek penguatan-penguatan kapasitas kesadara kritis (iqra’) dan pentradisian untuk menciptaptakan madzhab intelektualisme. Konteks ini merupakan salah satu ijtihad kita bersama untuk menemukan kembali "Perjuangan" HMI khususnya HMI Badko Indonesia bagian tengah sebagai penanggungjawab koordinasi yang seringkali berhadap-hadapan dengan komparador liberal neo liberalisme di tingkat lokal.

selengkapnya.....

Hearing Cabang se-Inbagteng dan PB HMI

Wonosono, (inbagteng cyber media).
Disela-sela pelantikan pengurus HMI Badko Inbagteng Rabu (21/11) yang lalu, PB HMI dan beberapa pengurus Cabang se Inbagteng melakukan hearing terkait tema kepengurusan serta pemaparan agenda-agenda terdekat Komisi Pemuda dan Kemahasiswaan. Pertemuan itu difasilitasi oleh Badko Inbagteng yang bertempat di sekretariat HMI Cabang Wonosobo.

Elaborasi terkait tema PB disampaikan oleh Ketua Umum PB HMI, Syahrul Efendi Dasopang, tema yang dipilih PB kali ini adalah “Memperkokoh Negara Menuju Tamaddun (Peradaban) Indonesia Baru dan Maju”. Menurut Syahrul tema tersebut mengadung beberapa poin mendasar antara lain bahwa ditengah hegemoni neoliberalisme dan negara dikuasa ‘elit’ maka yang harus dilakukan adalah untuk memperkokoh basis negara dalam konteks ini adalah warga negara. Adapun warga negara yang paling dominan adalah masyarakat akar rumput (grass root). Kelompok tersebut (warga negara, Red) merupakan yang paling dominan dan diajak konsolidasi. Dengan kata lain HMI harus melakukan transformasi pada level akar rumput. Syahrul menjelaskan bahwa agenda PB terkait hal tersebut adalah ‘muktamar pemikiran’.

Selain itu ketua PB juga mengeksplorasi tema-tema kepengurusan pada periode sebelumnya. Pada dasarnya tema ‘neoliberalisme’ sesungguhnya merupakan akumulasi dari tiga periode ; Cahyo Pamungkas : sistem ke-indonesiaan, Mudzakkir Djabir : gerakan tamadduni, dan Syahrul E. Dasopang : mengokohkan negara.
Demikian pula dengan periodesasi ide ; tahun 1985–1998 : epistimologi Islam, tahun 1998–2005 : konsolidasi keummatan, revolusi sistemik, perubahan sistem ke-indonesiaan. Sedangkan tahun 2005–2007 : rerakan tamadduni (rekayasa keummatan). Maka pada tahun 2007 – 2009 yang dipilih adalah : mengokohkan negara (praksis).Beberapa penjabaran PB kemudian dilanjutkan oleh Azwar M. Syafi’ie selaku ketua Komisi Pemuda dan Kemahasiswaan M. Azwar menyatakan bahwa ada desentralisasi isu, hal tersebut dari lokal dan menanggapi terhadap persoalan lokal. Dengan demikian akan ada diskusi-diskusi tentang perlawanan terhadap neoliberalisme, kepemimpinan kaum muda serta diskusi bulanan untuk persiapan aksi akhir tahun 2007 yang menyangkut persoalan ; pendidikan, kemiskinan, pengangguran, ekonomi serta persoalan bangsa lainnya.

Sesi Tanya Jawab
Pada sesi tanya jawab, beberapa pengurus Cabang mengajukan beberapa pandangan terkait tema dan kebijakan PB HMI saat ini. Syamsul Hidayat (ketua HMI Cabang Yogyakarta) mengatakan bahwa tema PB saat ini semestinya ditempatkan dalam kerangka metodologis. Muncul juga perdebatan mengenai konsepsi negara, partai politik serta kontrol PB HMI terhadap situasi politik tanah air ?. Dalam konteks ini PB HMI memberikan eksplorasi yang lebih jelas. Selain itu, Ardian, ketua Cabang Sleman mempersoalkan kerangka praksis PB HMI terkait pemilu 2009. Pengurus HMI Cabang Jogja juga mempertegaskan mengenai terma (istilah) ‘negara’ dalam kalimat memperkokoh negara, apakah ini bukan berarti HMI akan semakin terlibat jauh dalam arus pusaran politik ?

Menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, Syahrul menegaskan bahwa masing-masing Cabang diberi kebebasan untuk melakukan eksplorasi terhadap perlawanan neo-liberalisme. Hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mendorong HMI untuk berpartisipasi dalam penguatan ‘civil society’ yaitu ulama akar rumput dari kelompok manapun. Sedangkan mengenai konsep pemilu 2009, hal itu akan dibahas pada Pleno III.
Selain persoalan tema dan kebijakan PB, salah satu Cabang juga memberikan kritik kepada pengurus PB karena lambannya pendistribusian hasil kongres HMI ke-26. Cabang Jogja menyampaikan bahwa seharusnya pendistribusian hasil kongres tidak dengan e-mail tetapi harus secara resmi dan sesuai prosedur. Menanggapi hal tersebut, ketua PB meminta maaf atas peristiwa tersebut, karena kondisi tersebut bukan kesengajaan tetapi memang karena ada beberapa kesalahan teknis dalam proses pengiriman, sehingga pendistribusian menjadi agak lambat.

Dinamika Cabang se-Inbagteng dan KPN
Pemaparan terkait kondisi internal masing-masing Cabang se-Inbagteng juga dibahas dalam forum ini. HMI Cabang Wonosobo yang diwakili oleh M. Nurdin menyampaikan bahwa HMI saat ini harus memberi tawaran terhadap persoalan sosial keummatan. Oleh karena itu pengurus Cabang ini telah menyusun serangkaian agenda, salah satunya adalah bakti sosial. Sedangkan pada sisi perkaderan, kendala yang dihadapi adalah follow up pasca latihan kader-1. Militansi kader yang cenderung fluktuatif, serta permasalahan dalam rekruitmen kader.
HMI Cabang Sleman juga mengekspose beberapa agenda yang akan dilakukan baik yang bersifat internal ataupun eksternal. Diantara agenda tersebut adalah Permilu Raya Mahasiswa (Pemira) kampus UGM. Ada beberapa komisariat yang memang sudah establish (mapan) dan ada juga komisariat yang masih butuh pendampingan. Di samping itu dan HMI Cabang Sleman juga akan melakukan recovery (pemulihan) terhadap komisariat yang belum stabil. Kendala yang sering dihadapi kurang lebih sama dengan cabang-cabang di beberapa kampus lain, yaitu gesekan-gesekan dengan elemen gerakan lain yang telah menjadi bagian dari dialektika organisasi kampus, demikian penjelasan Ardian, ketua HMI Cabang Sleman.

Syamsul Hidayat mewakili cabang Jogja menyampaikan beberapa agenda kerja yang telah dijalankan serta beberapa hal antara lain ; persoalan lambatnya transformasi gagasan PB HMI ke Cabang serta telatnya penyerahan hasil kongres HMI. Selain itu tema PB HMI yang belum clear sehingga butuh transformasi yang lebih massif dan intensif. Selanjutnya HMI Cabang Jogja akan melakukan reshuffle pengurus, sosialiasi hasil kongres ke komisariat, Latihan Kader I, Lokakarya pendataan/standarisasi kualitas Cabang, kajian peradaban, serta beberapa aksi lapangan yang dihandle oleh PTK Cabang. Beberapa agenda lainnya juga disampaikan oleh ketua HMI Cabang Purworejo, Supriyati, diantaranya adalah reshuffle pengurus, pelaksanaan Latihan Kader-I, mengadakan kajian di kampus, kajian studi Al-Qur’an, bedah film serta bakti sosial pada saat Idul Adha.

Selain pengurus Cabang, Korps Pengader Nasional (KPN) yang diwakili oleh Ketua KPN Roni Hidayat, pada saat yang sama juga melakukan konsolidasi internal dengan beberapa personel KPN, menyampaikan beberapa hal terkait KPN kedepan. Salah satu agendanya akan melakukan review sekaligus pembaruan database pengader serta optimalisasi KPC pada masing-masing Cabang. (red)

selengkapnya.....

PB HMI Lantik Badko Inbagteng dan KPN

Pengurus Besar HMI secara resmi melantik pengurus HMI Badan Koordinasi Indonesia Bagian Tengah (BADKO INBAGTENG) masa bakti 1428 – 1430 H / 2007 – 2009 M pada hari Rabu (21/11) yang lalu. Pada Kesempatan yang sama dilantik pula Pengurus Korps Pengader Nasional (KPN). Acara yang berlangsung di gedung Wanita Wonosobo dihadiri oleh sejumlah Cabang yang berada di bawah koordinasi Badko Inbagteng. Beberapa Cabang yang hadir adalah Jogja, Sleman, Purworejo, dan Wonosobo. Usai pelantikan dilanjutkan serah terima jabatan dari pengurus Badko demisioner (Azwar M. Syafi’i) kepada pengurus baru (Moh. Syafi’ie) yang disaksikan oleh Ketua PB HMI, Syahrul E. Dasopang dan Sarwanto (anggota DPRD Kabupaten Wonosobo).

Dalam sesi sambutan ketua Badko baru Moh Syafi’ie menguraikan beberapa persoalan bangsa saat ini yang menjadi tugas HMI untuk melakukan perubahan dan perbaikan kearah yang lebih baik. Realitas itu seperti penjajahan secara ekonomi oleh kekuatan neolib berupa hilangnya tanggungjawab negara terhadap persoalan-persoalan sipil. Seperti masalah kesejahteraan, pendidikan, kemiskinan. Sementara itu ketua PB HMI Syahrul Efendi Dasopang dalam sambutannya menguraikan mengenai pentingnya HMI melakukan peran-peran eksternal dengan merangkul elemen grass root (akar rumput) termasuk didalamnya para ulama sebagai ujung tombak dalam transformasi di masyarakat. HMI tidak akan mampu melawan kekuatan neolib sendirian, tetapi HMI harus memperkuat basis negara dalam hal ini masyarakat sipil untuk bersama-sama melawan kekuatan neo liberal.

Acara kemudian dilanjutkan dengan dialog intelektual yang bertajuk ”Menanya Ulang Peran Negara Kekinian : Diskursus Rezim Neo Liberalisme di Era Reformasi”. Rangkaian pelantikan diakhiri dengan sharing antara pengurus badko dan pengurus Cabang se-Inbagteng serta PB HMI. (red)

selengkapnya.....

Elan Vital Kesadaran Kritis dan Gerakan Mahasiswa

Moh. Syafi’ie *
Mendialogkan peran elemen gerakan mahasiswa dalam menanggapi persoalan-persoalan pada ranah sosial utamanya yang terjadi ditingkatan kampus sangat sering kita melaksanakannya baik ketika minum kopi di angkringan, makan di pecel lele, bahkan pada tingkatan yang lebih serius pada acara simposium, seminar ataupun workshop gerakan yang substansinya, mempertanyakan ulang peran dan positioning gerakan mahasiswa kini. Namun ironisnya, perbincangan dalam diskusi baik serius ataupun tidak serius itu kerapkali cenderungnya berhenti pada dataran lidah, janji atau seringkali menjadi perbincangan seremonial an sich.

Indikasi tradisi cepat lupa dan seremonial an sich ini secara sosiologis merupakan pertanda satu krisis kemanusiaan kontemporer dimana menganggap perjumpaan, perbincangan, janji, kesepakatan, kekerabatan ataupun bentuk lainnya sekedar menjadi sesuatu yang dangkal, kurang bermakna, artifisial dan segalanya dihitung atas rasionalitas untung dan rugi (benefit cost ratio). Hal ini jugalah yang digelisahkan oleh tokoh revolusioner Ali Syari’ati tentang krisis manusia modern dimana dalam sistem hidup mereka terkonstruksi atas budaya yang instan, pragmatis dan praktis sehingga secara sadar kondisi tersebut akan menghancurkan terhadap proyeksi perwujudan tatanan yang berkeadilan kedepan. Dalam bahasa yang implisit dengan maksud yang serupa Hannah Arendt menyebutkan, krisis manusia modern ialah hilangnya nilai-nilai reflektif sehingga menyebabkan hilangnya identitas kediriannya, kesejatiannya dan mereka terkonstruksi atas provokasi kekuatan massa (eksternal) yang secara sadar mampu mengubah terhadap pemikiran, gaya hidup (life style) serta orentasi hidupnya yang material dalam lingkup sosial.
ersoalan besar elemen gerakan mahasiswa saat ini, terjadinya polarisasi, keberpisahan tujuan universal serta menguatnya budaya perbedaan yang cukup tajam baik disebabkan atas muatan ideologis, ras ataupun kelompok sosial sehingga menghilangkan terhadap visi utamanya menegakkan keadilan dan mewujudkan kerahmatan universal (rahmatan lil alamien). Di internal gerakan mahasiswa masih menguat budaya saling ‘memusuhi’ dan tidak hidup dalam tradisi kearifan, persaudaraan, saling bahu membahu dalam kebaikan dan bersama-sama melawan kelaliman dan keburukan. Kondisi semeraut intenal gerakan mahasiswa inilah yang kemudian memalingkan terhadap orentasi keberpihakan substantif sosialnya. Disadari atau tidak kondisi ini dimanfaatkan oleh kekuatan rezim dan birokrasi kampus dan efeknya semakin melegitimasi terhadap merajalelanya penindasan rezim pemerintah terhadap masyarakatnya dan kalau pada tingkatan kampus semakin melegitimasi kesewenangan birokrasi kampus terhadap areal sistem pendidikan; baik berupa pelayanan, pembayaran pendidikan, peridzinan, pengajaran ataupun lainnya yang jelas tidak berpihak pada keadilan mahasiswa.
Konteks demikian di atas sama halnya dengan sejarah politik kolonial belanda dahulu kala, dimana mereka untuk melanggengkan penjajahannya dan demi kepentingan ekonomi, agama dan kekuasaannya, mereka menggunakan taktik politik pecah belah (divide it impera) dikalangan masyarakat pribumi. Perbedaan lintas kelompok baik berdasarkan atas nama agama, ras, suku ataupun lainnya sengaja dipelihara dan disuburkan. Gerakan umat beragama bergerak masing-masing bahkan saling berbenturan, mahasiswa bergerak rata-rata menggunakan bendera kedaerahan masing dan seringnya bermusuhan, dan penduduk indonesia dipolarisasi dengan sistemik sesuai dengan kekuasaan dan kebangsaannya. Secara strategis kolonial Belanda memainkan taktik ini dengan sistematik bahkan untuk mendukung kerja penjajahannya mereka sengaja meng’anak-emas’kan kelompok-kelompok pribumi tertentu dan mendanainya sehingga penduduk pribumi ribut sendiri di internalnya karena ada penghianatan elit pribumi dan dalam keadaan sadar mereka melupakan terhadap musuh utamanya penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda.
Konteks persoalan gerakan kemahasiswaan yang terjebak pada ego subyektif kelompok, polarisasi ideologis dan terjebak pada taktik elit borjuis rezim meniscayakan untuk sharing bersama, menjernihkan ulang terkait komitmen perubahan, visi-misi perubahan serta sentral isu perubahan pada aras gerakan kemahasiswaan sehingga eksistensinya semakin dirasakan oleh masyarakat secara umum. Disinilah letak pentingnya gerakan mahasiswa sebagai komunitas intelektual tercerahkan, dimana mampu merumuskan cita-cita bersama, senantiasa bersekutu dalam membela kebenaran walaupun berbeda warnanya serta bekerjasama menumpaskan kejahatan dan keburukan walaupun terpolarisasi atas lintas kelompok dan golongan.

Pendidikan Dehumanistik
Disadari atau tidak, kematian gerakan mahasiswa dalam melakukan kritik sosial keummatan disebabkan sudah terbunuhnya paradigma pendidikan yang mencerahkan dan memerdekakan. Secara teoritik Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dan pendidikan adalah proses membangkitkan kesadaran kritis. Sehingga dalam konteks ini mahasiswa memang diciptakan sebagai komunitas yang dipandang sebagai kekuatan intelektual dan berkesadaran kritis. Label dan positioning mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang dari dulu senantiasa dilekatkan sebagai kelompok agen of change karena mahasiswa dan gerakan mahasiswa dipahami sebagai gerakan kritis, obyektif, berani menanggung resiko dan merdeka dari kepentingan penetrasi golongan elit, rezim ataupun kepentingan kepartaian. Idealisme, pada diri mahasiswa berkobar sebagaimana bara api yang siap menghanguskan terhadap musuh yang mengganggu terhadap keyakinan yang mereka teriakkan.

Mahasiswa dipandang sebagai kekuatan pemuda yang masih netral, lugu, bersih dan terbebaskan dari kepentingan-kepentingan kekuasan. Makanya sangat wajar ungkapan yang dikemukakan Soekarno, "berikan aku sepuluh pemuda, maka saya akan merubah dunia!. Sedemikian percayanya Soekarno atas kekuatan pemuda dan mahasiswa sehingga kalau kita membaca teks-teks pidato revolusionernya, terlihat jelas bahwa Soekarno merupakan pribadi yang paling akrab dengan pemuda. Pesan pidatonya mendukung jiwa-jiwa perlawanan mahasiwa, dan konon akhir karir politiknya juga karena kekuatan para kelompok kritis demonstran mahasiswa. Idealisme dan Jargon-jargon perubahan inilah yang membanggakan kita sebagai mahasiswa bahkan seringkali sampai detik ini kita elu-elukan secara heroik untuk menyambut kedatangan mahasiswa baru.

Menjadi pertanyaan yang sangat mendasar ketika mahasiswa dan gerakan mahasiswa saat ini menjadi komunitas penakut, tidak bisa berteriak lantang, atau membiarkan kelaliman-kelaliman oleh rezim dan birokrasi terus menerus terjadi. Bahkan yang tragis lagi, mahasiswa dan gerakan mahasiswa saat ini semakin jauh dari kerja-kerja advokasi sosial, keberpihakan sosial serta ironisnya mereka kini lebih banyak menjadi corong dari kepentingan-kepentingan elit. Sehingga suara kritis dan perlawanan mahasiswa menjadi sumbang dan serak karena positioningnya sudah terbeli dan tergadaikan pada kepentingan para elit rezim. Menurut saya, inilah titik kehancuran mahasiswa dan gerakan mahasiswa dimana sudah tidak terbangun atas idealisme kritis pemihakan keadilan dan kemanusiaan universal kecuali atas kepentingan material kekuasaan dan menjadi pembenar terhadap kepentingan elit rezim. Suara kritis dan perlawanan total mahasiswa yang dulu diharapkan masyarakat, saat ini cenderungnya menjadi tawa geli karena gerakan mahasiswa dalam pola kritis perjuangan sosialnya tidak lagi membumi dan sesuai dengan denyut suara hati masyarakanya.

Perubahan mendasar orentasi mahasiswa dan trend gerakan mahasiwa saat ini, menurut saya disebabkan sudah terkonstruksinya sistem kehidupan sosial mahasiswa pada kebudayaan material kapitalisme global. Dimana kapitalisme global dengan kekuatan modernisasi dan globalisasi mendesakkan spirit atas proyek instanisasi, kompetisi kekuasaan ekonomi serta mendesakkan atas arus sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Kehidupan sosial kemudian menjelma menjadi kekuatan kepentingan ekonomi (cost and benefit) an sich sehingga konstruksi sosialnya melahirkan manusia ekonomi (homo economicus) dan cenderungnya menghalalkan segala cara termasuk menjual belikan terhadap idealisme demi kepentingan-kepentingan materialnya . Dalam istilah ilmu hukum produk sistem yang demikian akan melahirkan manusia-manusia serigala (homo homini lupus) yang dalam kehidupannya hanyalah terbangun atas paradigma kepentingan praktis, individual, paragamatis dan melupakan aspek-aspek tanggungjawab lingkungan sosialnya.

Sebenarnya kita sangat berharap bahwa pendidikanlah yang akan memberikan pencerahan dan kesadaran kritis terhadap mahasiswa dan gerakan mahasiswa, terkait peran dan tanggungjawab sosialnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syafi’i Ma’arif, bahwa hakekat pendidikan bukanlah sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang ditanamkan pendidikan tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial, budaya dan ekonomi. Dalam konteks perubahan sosial pendidikan merupakan muara dari percepatan perwujudan cita-cita keummatan karena pendidikan merupakan media tranformasi kritis pencerdasan dan pencerahan sosial. Makanya sangat cocok awalnya menempatkan mahasiswa dan gerakan mahasiswa menjadi kekuatan dinamisator yang mampu mendorong secara radikal perubahan-perubahan sosialnya baik pada tingkatan negara ataupun pada tingkatan kampus.

Kalaupun kita membaca ulang teks-teks sejarah betapa perubahan bangsa ini tidak bisa melepaskan sama sekali dari peran dan positioning mahasiswa dan gerakan mahasiswa, misalkan awal perjuangan kemerdekaan dari kolonial dimana letupan perlawanan diteriakkan oleh mahasiswa dan kaum terpelajar meliputi Soekarno, Hatta, Syahrir Wahid Hasyim dan kawan-kawan, Penurunan Soekarno sendiri yang diteriakkan mahasiswa, peristiwa Malari tahun 1974, Perlawanan terhadap NKK/BKK tahun 1978, Penentangan terhadap pemaksaan asas tunggal pancasila tahun 1983-1985, dan masih hangat diingatan kita peristiwa reformasi 1997-1998 yang juga merupakan puncak letupan kegelisahan dan perlawanan mahasiswa terhadap rezim yang diktator, otoritarian dan tidak memanusiakan manusia. Elemen mahasiswa dan gerakan mahasiswa harus kita sadari merupakan poros perubahan karena keberadaannya merupakan elit intelektual yang dunianya dipenuhi dengan pengetahuan, keilmuan, buku-buku ataupun tradisi diskusi kritis yang secara sadar atau tidak mempengaruhi terhadap bangunan karakter (character building) keterpanggilannya untuk melakukan perubahan sosial.
Menurut pengamatan saya, dalam sejarah kebangsaan dari dulu sampai era modern ini, mahasiswa merupakan salah komunitas yang sangat ditakuti oleh rezim sehingga dengan berbagai upaya dan strategi, rezim mencoba melakukan penetrasi terhadap mahasiswa dan gerakan mahasiswa. Misalkan peristiwa munculnya kebijakan NKK/BKK tahun 1978 dan kewajiban menggunakan asas tunggal pancasila tahun 1985 tidak lain merupakan fenomena pembunuhan rezim terhadap perlawanan dan kekritisan gerakan mahasiswa yang terus menerus menggerogoti terhadap kelaliman-kelaliman kebijakan rezim. Dan kita tahu pada waktu itu, rezim orde baru untuk membunuh kekritisan mahasiswa dan gerakan mahasiswa melakukan intervensi terhadap birokrasi kampus dengan menjadikan lembaga pendidikan berada di bawah koordinasi Menteri Pendidikan pemerintah dan sengaja membuat bidang kantong dalam birokrasi kampus untuk mengawasi gerak-gerik mahasiswa, seperti kalau di setingkat universitas dibentuk rektoriat bagian kemahasiswaan dan ranah fakultas dibentuk bagian Dekanat urusan kemahasiswaan. Bidang-bidang inilah dahulu yang mengangkangi kekritisan mahasiswa dan gerakan mahasiswa sehingga sangat mudah pada waktu itu rezim orde baru meminta informasi dan melakukan pemantauan. Untuk memenuhi keinginan pemerintah, birokrasi kampus kerapkali memperingatkan sangat keras bagi aktifis mahasiswa yang seringnya berdemonstrasi, melawan terhadap otoriterianisme pemerintah dan salah satu strategi jitu orde baru dibuatlah kebijakan yang mencoba memperketat perkuliahan dan kewajiban-kewajiban yang memaksa mahasiswa untuk tidak terlibat dalam ranah gerakan sosial. Secara otomatis totalitas aktifis mahasiswa melakukan perjuangan dan tranformasi keummatan terbunuh secara lambat laun.

Mahasiswa yang kritis dan kreatif dipaksa untuk menjadi robot yang pekerjaannya mendengar ceramah di kelas, kost, belajar, ikut ujian, cepat selesai dan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Sistem pendidikan yang seperti ini tidak lain merupakan proyek instanisasi dan pragmatisasi yang sengaja didesakkan oleh negara kapitalis global, dimana mereka sangat berkepentingan untuk menjadikan individu-individu dalam negara-negara berkembang sebagai buruh dan budak. Karenanya, disadari atau tidak inilah dunia pendidikan yang dehumanistik dan membunuh terhadap proyeksi perwujudan peradaban universal (rahmatan lil alamien) kedepan. Serta pendidikan yang tidak orentatif pencerahan ini hanyalah mengantarkan peserta didik pada pengusaan pengetahuan an sich dan melepaskan dari aspek-aspek etika sosialnya berupa tanggungjawab untuk mewujudkan tatanan yang berkeadilan dan berkamanusiaan.

Perihal ini juga yang digelisahkan oleh Ali Syariati bahwa cita-cita Islam bukanlah mencetak manusia ilmuan sebagaimana dalam tradisi barat yang sekuler dan memisahkan keberadan agama dan ilmu tetapi menegaskan mencetak manusia intelektual yang mampu menempatkan pengetahuannnya sebagai pembebasan sosial masyarakat dari segala bentuk tirani dan diktatorian. Seorang intelektual dalam konteks pemikiran Ali Syariati merupakan komunitas yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Menangkap aspirasi masyarakatnya dan memberikan solusi pemecahan terhadap permasalahan yang berkembang. Pada dasarnya kegiatannya tidak didasarkan pada tujuan dan kepentingan praktis kekuasaan tetapi mereka dalam kapasitas intelektualnya membantu masyarakat menemukan kepuasan dalam mempraktikkan seni atau ilmu pengetahuan.

Berharap Lahirnya Kesadaran Kritis
Mengharapkan perubahan dalam sistem ke Indonesiaan ataupun birokrasi kampus memerlukan ke-istiqamahan dan total memegang teguh idealisme. Satu fondasi kekuatan keyakinan yang tahan diterpa dengan berbagai rintangan dan cobaan baik itu cobaan material kekuasaan, harta, wanita, ataupun cobaan lainnya yang terus berkonstelasi dalam arus modernisasi dan globalisasi yang kapitalistik.Tantangan terbesar saat ini utamanya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Telah hilangnya tanggungjawab elit pemerintah untuk memahami kondisi kemiskinan masyarakatnya dan di lain pihak pemerintah terus berkonspirasi dengan para pemodal besar seperti IMF, World Bank, Asean Development Bank, WTO serta perusahan-perusahan multi nasional dan transnasional (MNC/TNC), serta blok-blok ekonomi regional APEC, NAFTA dan lain sebagainya untuk melakukan upaya pendesakan pasar bebas dan mengkampanyekan liberalisasi dalam berbagai aspek utamanya dalam areal kepentingan strategis mereka untuk mendominasi kekuatan ekonomi melalui liberalisasi keuangan, perdagangan serta penguasaan total terhadap badan-badan usaha milik negara.

Semenjak Indonesia mengalami krisisi moneter dan memuncak pada pertengahan tahun 1997, elit rezim pada waktu secara resmi mengundang kehadiran IMF memulihkan krisis moniter bangsa Indonesia dan berhutang sebesar US$ 41 Milyar untuk cadangan devisa di Bank Indonesia. Secara prosedural IMF meminjamkan hutang kepada Indonesia dan secara licik IMF mensyaratkan kepada pemerintah Indonesia untuk menandatangani Letter Of Intens (LOI) untuk mengubah sistem perekonomian keindonesiaan menjadi sistem ekonomi liberalisme neo liberal dan IMF mensyaratkan bahwa semua program ekonomi dan langkah-langkah reformasi, mesti atas persetujuan lembaga itu. Beberapa tuntutannya membuka total terhadap kepentingan pasar, memberikan peluang total terhadap para pemodal besar di negara-negara kolonial untuk hidup dan berkembang secara leluasa di bumi Indonesia dan bahkan mengeksplorasi sumber-sumber usaha yang dikuasai negara.

Dampak langsung yang masyarakat Indonesia rasakan kini adalah sistemiknya penindasan karena dicabutnya subsidi terhadap kepentingan publik sehingga Bahan Bakar Minyak naik melambung tinggi, Tarif Dasar Listrik yang terus menerus mau dinaikkan, Beras yang tidak terkontrol harganya di pasaran, Pendidikan tinggi negeri yang diprivatisasi melalui BHP, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang semestinya dikelola demi kepentingan masyarakat dan tetap terjaga efek lingkungannya tetapi tanpa berdosa pemerintah rame-rame menjualnya kepada pemodal asing, seperti Newmont, Blok Cepu, Natuna, Freport, BHP dan tahun 2007 ini sekitar 17 BUMN akan dijual oleh pemerintah Indonesia, kebijakan liberalisasi keuangan dan perdagangan yang berimbas secara langsung terhadap eksistensi usaha-usaha masyarakat Indonesia dan sangat menguntungkan pemodal asing. Dan saat ini pemerintah lagi menggarap RUU Penanaman Modal dan pada tanggal, 13 Maret 2007 kemarin rencana mau disahkan, dimana isinya jelas menambah daftar kekejaman yang dilakukan oleh elit rezim negara, dimana muatannya tidak berpihak sama sekali kepada kepentingan sosial ekonomi masyarakat utamanya mereka yang bekerja menjadi buruh pabrik serta memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pemodal asing.

Krisis kritisisme mahasiswa dan gerakan mahasiswa kontemporer menurut pengamatan saya disebabkan, pertama, tidak lain merupakan akibat dari skenario elit negara yang berkonspirasi dengan para pemodal besar IMF, World Bank, Asean Development Bank, WTO serta kolonial global lainnya untuk membunuh masyarakat dan khususnya kaum terdidik mahasiswa sehingga tidak berfikir kritis lagi dan terus menerus disibukkan dengan persoalan-persoalan individual yang lebih bersifat penindasan secara ekonomi. Terbukti masyarakat sekarang sudah terjebak pada kepentingan individual masing-masing dan bahkan mengarah pada anarkisme sosial berupa menguatnya budaya pencurian, penculikan, pembunuhan ataupun kekerasan lainnya yang kalau ditelaah lebih jauh motifnya adalah karena kepentingan keuangan.

Dalam konteks mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang seringkali diharapkan menjadi katalisator perubahan saat ini juga terjebak pada penindasan secara ekonomi; biaya pendidikan setinggi langit, kebutuhan hidup mahalnya luar biasa, dan kebutuhan berjuang untuk konsolidasi internal dan lintas gerakan sangat susah disebabkan biaya BBM, komunikasi, dan transportasi cenderungnya tidak terjangkau sehingga semakin menjauhkan areal silaturahmi, keakraban, persaudaraan dan soliditas gerakan mahasiswa.


Penyebab kedua, pendidikan sudah tidak lagi menjadi medium transformasi pencerahan, pemerdekaan dan mengantarkan pada kesadaran kritis. Indikasi utamanya ternyata produk pendidikan saat ini lebih banyak diam, hura-hura, happy, pasif dan tidak terbangun tanggungjawab sosialnya bahkan jeritan masyarakat karena penindasan yang rata-rata dilakukan rezim dan pemodal mengalir begitu saja. Ironisnya lagi, dosa yang dilakukan birokrasi kampus; memenjarakan mahasiswa sehingga tidak bisa beraktifitas secara merdeka dan berkembang secara kreatif diluar kampus. Kebijakan-kebijakan kampus lebih banyak berorentasi bangunan proyek ‘instan’ untuk menghasilkan produk-produk robot yang nantinya diperjualbelikan sesuai selera pabrik. Secara paradigmatik konsepsi yang dibangun oleh kampus saat ini jelas bertentangan secara filosofis dengan keberadaan pendidikan yang diharapkan mampu menjadi pembebas dari kemiskinan, kebodohan dan kekerasan yang terus menerus merajalela. Pendidikan yang hanya menghasilkan ilmuan instan dan produk mahasiswa yang tidak kreatif akan memunculkan krisis kemanusiaan kontemporer.

Sedangkan yang ketiga, disebabkan atas positioning personal mahasiswanya yang tidak mempunyai identitas kedirian dan kesejatian yang matang. Sehingga identitasnya lemah dan masih terombang-ambing oleh pengaruh arus besar global yang kapitalistik. Serta faktor-faktor lainnya baik yang timbul dari aras internal maupun eksternal karena bagaimanapun membincangkan komitmen perubahan sosial banyak aspek yang mempengaruhi dan mendorong atas akselarasi pencapaian tujuan perubahan sosial tersebut- baik itu keyakinan agama, prinsip hidup, lingkungan sosial, ataupun lainnya.

Untuk mengembalikan ruh perjuangan dan idealisme gerakan mahasiswa yang sudah mulai menghilang, meniscayakan untuk melakukan pembacaan ulang, refleksi kritis dan dari mana kita akan memulai perubahan dari kondisi sistem tirani yang menggurita ini? Yang jelas kondisi organisasi sudah kurang diminanti, perjuangan demonstrasi sudah tidak trend lagi, forum-forum diskusi intelektual sepi peminat, kelompok studi kritis tidak membudaya, perpustakaan sepi pengunjung dan ironisnya mahasiswa lebih senang happy-happy, Cafee, diskotik, dan menjadikan kampus sekedar tempat bertamasya. Tradisi intelektual yang biasa melekat pada kultur kemahasiswaan sudah menghilang dengan sedemikian rupa. Kondisi ini merupakan suasana yang sangat memprihatinkan dan semakin memburamkan perwujudan cita-cita peradaban universal yang secara sadar kita harapkan muncul dari lembaga-lembaga pendidikan.

Dalam perspektif yang lain, sebenarnya saya ingin menegaskan bahwa kita perlu mengubah wajah bangsa ini yang khianat menjadi bangsa yang adil, bijaksana dan berpihak pada kemanusiaan universal. Juga mengganti kebijakan dan tradisi pendidikan yang buram dengan mendesakkan perubahan kebijakan pendidikan yang mencerahkan dan menghidupkan tradisi intelektual dangan kembali menghidupkan ruang-ruang publik untuk dijadikan tempat diskusi kritis, dialog peradaban dan perbincangan konstelasi keummatan kontemporer. Dalam perspektif ini, saya masih berkeyakinan bahwa mahasiswa dan gerakan mahasiswa akan bangkit, bergerak, lantang dan mampu menjadi kekuatan transformator kesadaran kritis masyarakat sehingga mampu mengganjar terhadap kelaliman dan penghianatan elit. Namun, persoalannya kalau mahasiswa dan gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi kekuatan intelektual yang kritis saya sangat meragukan bahwa keberadaan mereka akan menjadi solusi alternatif dari kejumudan, kesemarautan, dan diktatorian sistem yang terus menerus terjadi sampai detik ini, kecuali malah menjadi penghianat yang serupa?Naudzubillah Min Dzalik!
* Penulis adalah Ketua Umum HMI Badko Inbagteng 2007-2009

selengkapnya.....

Badko Inbagteng Adakan Rapat Kerja


Purwokerto, (inbagteng cyber media)
Untuk memperlancar kinerja Badko Inbagteng, hari Jum’at (4/1) pengurus badko mengadakan raker di Purwokerto yang dihadiri oleh beberapa pengurus bidang. Rapat tersebut merupakan follow up dari pertemuan pertama badko di Wonosobo usai pelantikan November lalu.
Sebelum masuk ke pembahasan bidang per bidang, ketua umum badko menyampaikan beberapa hal terkait apa target yang hendak diraih badko dalam dua tahun kedepan. Moh. Syafi’ie menegaskan bahwa Badko harus membuat satu atau beberapa program yang dapat menjadi icon bagi badko. “Badko harus punya karya nyata,” ungkap Syafi’ie dalam sambutannya.

Pemaparan Bidang
Eksplorasi per bidang di mulai dari bidang penelitian dan perkaderan yang diwakili oleh Wahid Hasyim. Agenda terdekat bidang ini adalah akan melakukan riset terkait sejarah masing-masing cabang di lingkungan inbagteng yang akan dilanjutkan dengan dokumentasi dari hasil riset tersebut. Junaidi menambahkan perlunya melakukan survei terhadap kondisi cabang dikarenakan minimnya input perkaderan dan serta kemunduran beberapa cabang, dari data survei itulah dapat dijadikan pijakan yang harus ditindaklanjuti secara serius. Terkait perkaderan, Syafi’ie menyampaikan tawaran dari KPN untuk melaksanakan Advance Training (Latihan Kader III) di wilayah Inbangteng.
Sementara itu Haryanto Azizi, mempertanyakan soal simposium sejarah yang belum jelas hasilnya. Lebih lanjut Anto mengusulkan agar Badko Inbagteng mengambil langkah strategis terkait simposium tersebut. Senada dengan Anto, Wahid juga menyampaikan agar badko inbagteng mengangkat kembali masalah simposium sejarah yang belum membuahkan hasil sampai sekarang. Badko dapat melakukan sharing terlebih dulu dengan tim simposium sejarah serta berdialog dengan PB mengenai keberlangsungan tim tersebut.
Pemaparan dilanjutkan Nur Ali dari bidang pembinaan dan pengembangan yang menegaskan bahwa dalam waktu dekat akan mendirikan cabang baru, yaitu cabang Sragen. Pendirian cabang rencananya akan diawali dengan membentuk tim dengan melibatkan beberapa alumni HMI yang berdomisili di daerah Sragen dan sekitarnya untuk memback-up agenda tersebut. Di samping itu, agenda pendampingan cabang akan terus ditingkatkan terutama di daerah bagian timur seperti cabang Surabaya, Malang, Jombang dan Jepara.
Badko Cyber Media
Selanjutnya bidang terakhir, kajian dan media juga menyampaikan sederet program kerja diantaranya adalah badko cyber media, penerbitan jurnal dan koran dinding. Mengenai penerbitan koran Ibnu Muzab Ary menjelaskan bahwa koran tersebut dapat menjadi media sangat strategis dalam meningkatkan eksistensi dan mendorong kader untuk terus berkarya. Konsep badko inbagteng cyber media dipaparkan M Mahrus Ali lebih menitikberatkan pada upaya untuk lebih memfamiliar-kan dunia cyber pada kader-kader HMI. Dengan optimalisasi situs badko inbangteng, e-mail serta mailing list dapat menjadi media alternatif ditengah pesatnya persaingan media, hal ini juga akan menghapus kendala jarak, ruang dan waktu, karena informasi tentang badko dapat diakses kapanpun dan dari manapun. Ali juga menambahkan bahwa contain (materi) situs badko lebih pada informasi atau hal-hal lain yang memang dibutuhkan Cabang. Informasi yang sudah up da te saat ini adalah agenda-agenda Cabang se-inbagteng, alamat-alamat Cabang, tema PB, Badko, serta beberapa situs HMI lainnya. Sedangkan untuk jurnal akan lebih diarahkan pada konteks pemikiran dan perlawanan seperti persoalan neolib, penindasan, politik hukum dan beberapa wacana kontemporer lainnya. [red]

selengkapnya.....

Badko Inbagteng Adakan Rapat Kerja


Purwokerto, (inbagteng cyber media)
Untuk memperlancar kinerja Badko Inbagteng, hari Jum’at (4/1) pengurus badko mengadakan raker di Purwokerto yang dihadiri oleh beberapa pengurus bidang. Rapat tersebut merupakan follow up dari pertemuan pertama badko di Wonosobo usai pelantikan November lalu.
Sebelum masuk ke pembahasan bidang per bidang, ketua umum badko menyampaikan beberapa hal terkait apa target yang hendak diraih badko dalam dua tahun kedepan. Moh. Syafi’ie menegaskan bahwa Badko harus membuat satu atau beberapa program yang dapat menjadi icon bagi badko. “Badko harus punya karya nyata,” ungkap Syafi’ie dalam sambutannya.

Pemaparan Bidang
Eksplorasi per bidang di mulai dari bidang penelitian dan perkaderan yang diwakili oleh Wahid Hasyim. Agenda terdekat bidang ini adalah akan melakukan riset terkait sejarah masing-masing cabang di lingkungan inbagteng yang akan dilanjutkan dengan dokumentasi dari hasil riset tersebut. Junaidi menambahkan perlunya melakukan survei terhadap kondisi cabang dikarenakan minimnya input perkaderan dan serta kemunduran beberapa cabang, dari data survei itulah dapat dijadikan pijakan yang harus ditindaklanjuti secara serius. Terkait perkaderan, Syafi’ie menyampaikan tawaran dari KPN untuk melaksanakan Advance Training (Latihan Kader III) di wilayah Inbangteng.
Sementara itu Haryanto Azizi, mempertanyakan soal simposium sejarah yang belum jelas hasilnya. Lebih lanjut Anto mengusulkan agar Badko Inbagteng mengambil langkah strategis terkait simposium tersebut. Senada dengan Anto, Wahid juga menyampaikan agar badko inbagteng mengangkat kembali masalah simposium sejarah yang belum membuahkan hasil sampai sekarang. Badko dapat melakukan sharing terlebih dulu dengan tim simposium sejarah serta berdialog dengan PB mengenai keberlangsungan tim tersebut.
Pemaparan dilanjutkan Nur Ali dari bidang pembinaan dan pengembangan yang menegaskan bahwa dalam waktu dekat akan mendirikan cabang baru, yaitu cabang Sragen. Pendirian cabang rencananya akan diawali dengan membentuk tim dengan melibatkan beberapa alumni HMI yang berdomisili di daerah Sragen dan sekitarnya untuk memback-up agenda tersebut. Di samping itu, agenda pendampingan cabang akan terus ditingkatkan terutama di daerah bagian timur seperti cabang Surabaya, Malang, Jombang dan Jepara.
Badko Cyber Media
Selanjutnya bidang terakhir, kajian dan media juga menyampaikan sederet program kerja diantaranya adalah badko cyber media, penerbitan jurnal dan koran dinding. Mengenai penerbitan koran Ibnu Muzab Ary menjelaskan bahwa koran tersebut dapat menjadi media sangat strategis dalam meningkatkan eksistensi dan mendorong kader untuk terus berkarya. Konsep badko inbagteng cyber media dipaparkan M Mahrus Ali lebih menitikberatkan pada upaya untuk lebih memfamiliar-kan dunia cyber pada kader-kader HMI. Dengan optimalisasi situs badko inbangteng, e-mail serta mailing list dapat menjadi media alternatif ditengah pesatnya persaingan media, hal ini juga akan menghapus kendala jarak, ruang dan waktu, karena informasi tentang badko dapat diakses kapanpun dan dari manapun. Ali juga menambahkan bahwa contain (materi) situs badko lebih pada informasi atau hal-hal lain yang memang dibutuhkan Cabang. Informasi yang sudah up da te saat ini adalah agenda-agenda Cabang se-inbagteng, alamat-alamat Cabang, tema PB, Badko, serta beberapa situs HMI lainnya. Sedangkan untuk jurnal akan lebih diarahkan pada konteks pemikiran dan perlawanan seperti persoalan neolib, penindasan, politik hukum dan beberapa wacana kontemporer lainnya. [red]

selengkapnya.....

Badko Inbagteng Adakan Rapat Kerja


Purwokerto, (inbagteng cyber media)
Untuk memperlancar kinerja Badko Inbagteng, hari Jum’at (4/1) pengurus badko mengadakan raker di Purwokerto yang dihadiri oleh beberapa pengurus bidang. Rapat tersebut merupakan follow up dari pertemuan pertama badko di Wonosobo usai pelantikan November lalu.
Sebelum masuk ke pembahasan bidang per bidang, ketua umum badko menyampaikan beberapa hal terkait apa target yang hendak diraih badko dalam dua tahun kedepan. Moh. Syafi’ie menegaskan bahwa Badko harus membuat satu atau beberapa program yang dapat menjadi icon bagi badko. “Badko harus punya karya nyata,” ungkap Syafi’ie dalam sambutannya.

Pemaparan Bidang
Eksplorasi per bidang di mulai dari bidang penelitian dan perkaderan yang diwakili oleh Wahid Hasyim. Agenda terdekat bidang ini adalah akan melakukan riset terkait sejarah masing-masing cabang di lingkungan inbagteng yang akan dilanjutkan dengan dokumentasi dari hasil riset tersebut. Junaidi menambahkan perlunya melakukan survei terhadap kondisi cabang dikarenakan minimnya input perkaderan dan serta kemunduran beberapa cabang, dari data survei itulah dapat dijadikan pijakan yang harus ditindaklanjuti secara serius. Terkait perkaderan, Syafi’ie menyampaikan tawaran dari KPN untuk melaksanakan Advance Training (Latihan Kader III) di wilayah Inbangteng.
Sementara itu Haryanto Azizi, mempertanyakan soal simposium sejarah yang belum jelas hasilnya. Lebih lanjut Anto mengusulkan agar Badko Inbagteng mengambil langkah strategis terkait simposium tersebut. Senada dengan Anto, Wahid juga menyampaikan agar badko inbagteng mengangkat kembali masalah simposium sejarah yang belum membuahkan hasil sampai sekarang. Badko dapat melakukan sharing terlebih dulu dengan tim simposium sejarah serta berdialog dengan PB mengenai keberlangsungan tim tersebut.
Pemaparan dilanjutkan Nur Ali dari bidang pembinaan dan pengembangan yang menegaskan bahwa dalam waktu dekat akan mendirikan cabang baru, yaitu cabang Sragen. Pendirian cabang rencananya akan diawali dengan membentuk tim dengan melibatkan beberapa alumni HMI yang berdomisili di daerah Sragen dan sekitarnya untuk memback-up agenda tersebut. Di samping itu, agenda pendampingan cabang akan terus ditingkatkan terutama di daerah bagian timur seperti cabang Surabaya, Malang, Jombang dan Jepara.
Badko Cyber Media
Selanjutnya bidang terakhir, kajian dan media juga menyampaikan sederet program kerja diantaranya adalah badko cyber media, penerbitan jurnal dan koran dinding. Mengenai penerbitan koran Ibnu Muzab Ary menjelaskan bahwa koran tersebut dapat menjadi media sangat strategis dalam meningkatkan eksistensi dan mendorong kader untuk terus berkarya. Konsep badko inbagteng cyber media dipaparkan M Mahrus Ali lebih menitikberatkan pada upaya untuk lebih memfamiliar-kan dunia cyber pada kader-kader HMI. Dengan optimalisasi situs badko inbangteng, e-mail serta mailing list dapat menjadi media alternatif ditengah pesatnya persaingan media, hal ini juga akan menghapus kendala jarak, ruang dan waktu, karena informasi tentang badko dapat diakses kapanpun dan dari manapun. Ali juga menambahkan bahwa contain (materi) situs badko lebih pada informasi atau hal-hal lain yang memang dibutuhkan Cabang. Informasi yang sudah up da te saat ini adalah agenda-agenda Cabang se-inbagteng, alamat-alamat Cabang, tema PB, Badko, serta beberapa situs HMI lainnya. Sedangkan untuk jurnal akan lebih diarahkan pada konteks pemikiran dan perlawanan seperti persoalan neolib, penindasan, politik hukum dan beberapa wacana kontemporer lainnya. [red]

selengkapnya.....

21 Januari 2008

Tema PB HMI

Tema Pengurus Besar HMI 1428-1430 H/2007-2009 M

Memperkokoh Negara Menuju Tamaddun (Peradaban) Indonesia Baru dan Maju

Mengapa Memperkokoh Negara ?
Dewasa ini, tantangan yang membentang di hadapan kita bukan lagi kekuasan negara otoriter yang mencengkram seluruh sendi-sendi masyarakat. Sejak reformasi bergulir, suasana kebebasan dan demokrasi yang belum terkonsolidasi telah dimanfaatkan secara cerdik oleh kekuatan-kekuatan pasar untuk mendesak negara agar mengurangi (reduksi) otoritasnya dan memaksanya untuk menjamin iklim yang kondusif bagi kedaulatan pasar. Padahal dalam kedaulatan pasar berlaku hukum penawaran, dan biasanya siapa yang kuat dialah yang akan menentukan.

Sangat disayangkan, negara yang diwakili oleh pemerintahan yang berkuasa seolah-olah tunduk dengan kehendak kekuatan-kekuatan pasar tersebut. Dan secara perlahan dan pasti, otoritas negara yang semestinya hadir untuk melayani kebutuhan masyarakat bertukar menjadi pelayan setia kekuatan-kekuatan pasar. Pelayanan terhadap rakyat yang menjadi tugas utama negara telah dengan sistematis dikurangi dan diserahkan kepada kekuatan-kekuatan pasar. Kecenderungan ini segera terdeteksi apabila dicermati isi perundang-undangan baik yang sudah ditetapkan maupun yang sedang dalam tahap penggodokan. Misalnya, RUU BHP dengan jelas terbaca di dalamnya tersimpan misi minimalisasi otoritas negara dan penyesuaian terhadap tuntutan-tuntutan kekuatan pasar.

Pengurangan otoritas negara pada berbagai sektor tersebut tidaklah tercipta secara alamiah, namun merupakan rekayasa dari sebuah kekuatan sadar yang menghendaki terwujudnya situasi kedaulatan pasar dan pengaruh negara yang semakin minimal. Segera muncul pertanyaan, mengapa diperlukan negara dengan otoritas minimal? Sebab, negara dengan otoritas minimal seperti itu merupakan kondisi yang cocok bagi kebebasan untuk melipatgandakan keuntungan bisnis dan ekonomi.

Akibat Negara Minimal
Situasi seperti yang digambarkan di atas mengakibatkan kondisi rakyat yang tidak berdaya dan hanya menjadi pasar dan sapi perahan dari pemain-pemain utama sistem yang sedang berkuasa. Akibatnya kekuatan kreatif rakyat di dalam menciptakan tamaddun (peradaban) tinggi dan unggul pun lesu dan berganti menjadi kekuatan kreatif yang mengabdi pada pasar semata. Dengan kondisi semacam itu, tujuan sejati negara untuk membangun tamaddun (peradaban) Indonesia yang unggul dan berakar langsung dari budaya setempat pun semakin jauh dari harapan.

Jalan Keluar
Situasi ini tentu tidak perlu dipertahankan lama-lama. Di hadapan kita masih tersedia kesempatan untuk mengoreksi secara cepat kecenderungan yang tidak menguntungkan tersebut. Untuk mengoreksi kecenderungan tersebut tentulah bukan perkara mudah. Sebab di belakang kecenderungan tersebut, berdiri korporasi-korporasi besar yang memiliki modal, teknologi dan jaringan politik yang juga besar.
Merupakan sebuah anugerah bahwa Indonesia berada dalam tahap konsolidasi demokrasi. Dalam proses konsolidasi demokrasi, semua kekuatan berkesempatan berlomba menjadi penentu arah sejarah. Komunitas HMI sebagai bagian dari masyarakat sipil mempunyai misi untuk memastikan jalannya demokrasi yang sehat dan bebas dari manipulasi kelompok-kelompok kepentingan politik sempit dan jangka pendek.

Apa yang Harus Dilakukan?
Posisi komunitas HMI sebagai bagian dari komunitas Islam di Indonesia merupakan modal yang berharga. Sejarah membuktikan, setiap perubahan sosial politik yang berlangsung di Indonesia tidak terpisahkan dari keterlibatan faktor Islam. Untuk hal itu, langkah yang relevan diambil oleh HMI sekarang adalah memperkokoh negara untuk tujuan pembangunan tamaddun (peradaban) Indonesia baru dan maju. Tamaddun Indonesia baru dan maju yang diproyeksikan hendaknya berurat-berakar dari transformasi Islam di Indonesia sekaligus bersenyawa dengan demokrasi. Proyeksi tersebut bukanlah merupakan mimpi di siang bolong. Proyeksi tamaddun Indonesia masa depan yang diwarnai Islam dan ditopang demokrasi tercermin dari fenomena unik perkembangan Islam di Indonesia. Sejauh ini, dialektika Islam dan demokrasi di Indonesia telah menampilkan corak yang positif dan konvergen.

Apa langkah-langkahnya?
Di antara langkah kecil di dalam usaha memperkokoh negara tersebut dapatlah dimulai dengan memperkokoh komunitas HMI sendiri. Komunitas HMI yang terdiri atas anggota aktif dan alumni sampai sejauh ini belumlah terkonsolidasi dengan baik. Sembari berusaha mengkonsolidasi komunitas HMI, HMI juga mestilah aktif mengkonsolidasi diri dengan barisan masyarakat sipil lainnya. Di antara masyarakat sipil terpenting itu terdapat ulama-ulama akar rumput yang tersebar di desa dan kota. Ulama-ulama akar rumput memiliki potensi dan posisi strategis disebabkan hubungannya yang melekat dengan kalangan rakyat kecil. Jika HMI sebagai kalangan terdidik dapat bersinergi dengan ulama-ulama akar rumput, maka pembangunan basis bagi tercapainya tamaddun Indonesia yang berakar pada transformasi Islam yang maju semakin mendekati kenyataan.
Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, PB HMI bermaksud menjadikan momentum kegiatan pelantikan dan Pleno I sebagai entri point di dalam mewujudkan langkah-langkah selanjutnya untuk mencapai tamaddun Indonesia baru dan maju.
Orientasi Umum PB HMI 1428-1430 H/2007-2009 M
Tema tersebut sebenarnya senada dengan semangat perlawanan terhadap kecenderungan neo liberal yang melanda Indonesia. Maksud memperkokoh negara di sini bukanlah memperkokoh kekuasaan pemerintah yang berkuasa, tetapi memperkokoh unsur utama negara, yakni warga negara. Warga negara merupakan penopang sejati tegaknya negara dan bangsa.

Dalam rangka memperkokoh negara untuk mencapai tamaddun Indonesia baru dan maju tersebut, HMI harus terlibat aktif dalam setiap isu-isu perubahan sosial politik di tanah air. Menyadari besarnya tujuan tersebut, HMI tidak mungkin bekerja sendirian. HMI harus menggandeng komponen-komponen masyarakat sipil strategis yang memiliki tujuan dan program yang sama. Ditekankan HMI sebagai bagian dari representasi komunitas masyarakat sipil terdidik harus berhasil menyatu dan bekerja sama dengan segmen ulama-ulama akar rumput di desa-desa dan di kota-kota sebagai bagian dari masyarakat sipil otentik. Dalam jangka panjang, kerjasama permanen dengan ulama-ulama akar rumput akan menguntungkan bagi komunitas Islam di Indonesia sebagai terobosan baru strategi politik.

Dalam rangka merespon Pemilu yang segera tiba, HMI perlu mengambil peranan untuk memastikan berjalannya demokrasi yang sehat tanpa manipulasi terhadap kedaulatan rakyat. Karena itu, perlu pendalaman strategi dan program apa yang perlu diambil HMI di dalam rangka menjamin berlangsungnya demokrasi yang sehat tanpa manipulasi tersebut. Saya sarankan isu Pemilu sudah dapat mulai dibahas pada momen Pleno I.

Untuk segmen "primordial" HMI, yakni dunia pendidikan dan kampus, hendaknya HMI berhasil merepresentasikan diri sebagai juru bicara bagi kepentingan warga terhadap akses dan biaya pendidikan yang terjangkau dan kampus yang dinamis dan religius. Oleh karena itu, telah tersedia tantangan di depan HMI menyangkut isu RUU BHP dan isu-isu pendidikan lainnya.

Sedangkan ke dalam internal organisasi HMI, hendaknya HMI berhasil meningkatkan kualitas dan pengayaan content perkaderannya sekaligus memutus persoalan kronis menyangkut pembiayaan operasional HMI secara keseluruhan. Untuk itu, telah diambil sebuah keputusan untuk membentuk lembaga amil wakaf, zakat, infak dan sadaqah HMI sebagai alat untuk memecahkan masalah tersebut.

Sedangkan untuk kebijakan ke dalam komunitas HMI, HMI didorong untuk berhasil mendudukkan diri sebagai dinamisator dan katalisator penghimpunan potensi-potensi jejaring alumni agar komunitas alumni berhasil berperan aktif dalam setiap perubahan sosial politik di tanah air. Oleh karena itu, kekompakan HMI dengan komunitas alumni agar dapat terus ditingkatkan bobot dan mutunya.

Orientasi umum yang disebut di atas tentu akan terus dilengkapi oleh seluruh komisi-komisi dan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk. Oleh karena itu, komisi-komisi dan lembaga-lembaga yang ada hendaknya dapat menurunkan program dengan limit waktu yang sudah diukur.

* Tema kepengurusan disarikan dari arahan umum PB HMI dan Term of Reference Pelantikan Pengurus PB HMI 1428-1430 H/2007-2009 M

selengkapnya.....
Designed by - alexis 2008 | ICM