20 Maret 2008

AGAMAS Desak Pemerintah Turunkan Harga Sembako


Oleh Dimas Ramadhan

Purwokerto (Inbagteng Cyber Media),
Ratusan mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Masyarakat Banyumas (AGAMAS) (17/3) mendesak pemerintah untuk segera menurunkan harga sembako saat ini juga. Aksi yang digawangi oleh berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat tersebut menyatakan sikap keprihatinan bersama atas melambungnya harga-harga kebutuhan pokok yang sudah melewati batas kemampuan rakyat.

“SBY-Kalla, rezim anti rakyat!”, demikian teriakan kompak oleh ratusan peserta aksi yang start dari kampus Biologi Universitas Jenderal Soedirman tersebut yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintahan pimpinan SBY-Kalla.

AGAMAS yang merupakan aliansi dari FMN, HMI (MPO), AGRA, LMND, IMM dan SRMI Bergerak dari depan kampus Unsoed kemudian melakukan longmarch menuju gedung wakil rakyat DPRD Banyumas.
AGAMAS menuntut agar pemerintah daerah Banyumas untuk mengambil langkah konkrit dalam menangani krisis sembako saat ini. Menurut AGAMAS naiknya harga-harga kebutuhan pokok semakin meyudutkan kehidupan rakyat miskin, khususnya buruh tani karena mereka yang merasakan langsung akibatnya.

“Kenaikan harga tersebut sebenarnya lebih disebabkan oleh liberalisasi yang diterapkan pemerintah, sehingga beras, minyak sawit, jagung, kedelai dan komoditas pangan lain harus berhadapan dengan bahan pangan impor yang jauh lebih murah. Ini yang kemudian merugikan para petani,” ujar Arif Budiman, kordinator lapangan aksi, yang juga Ketua HMI (MPO) Cabang Purwokerto.

Dalam longmarchnya, massa yang berjumlah lebih dari seratus orang tersebut sempat ‘membajak’ RRI Purwokerto untuk menyiarkan tuntutannya via radio-radio lokal. Sampai di kantor Pemda Banyumas, setiap elemen melakukan orasi secara bergantian yang hampir semuanya mengevaluasi, mengkritik dan mendesak pemda Banyumas untuk segera melakukan sesuatu menyelesaikan problem sembako di Banyumas.

AGAMAS yang juga berisi Paguyuban Petani Banyumas, menilai kebijakan pemerintah saat ini bukan untuk rakyat, namun lebih hanya untuk kepentingan elit kapitalis global. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap mahalnya sembako, kelaparan di Banyumas khususnya dan pengangguran yang semakin meningkat jumlahnya.

Meskipun akhirnya diterima oleh beberapa anggota dewan, dan melakukan dialog dengan anggota legislatif Banyumas, massa menyatakan mosi tidak percaya terhadap jawaban dewan yang dinilai hanya apologi pemerintah dalam kinerjanya. “Apa yang dikatakan dewan, hanya manisnya. Kenyataanya masih begitu banyak kelaparan di Banyumas, masyarakat tidak mampu membeli sembako, karena harganya begitu tinggi, tidak sesuai dengan pendapatan yang masih kurang dari Rp. 20.000/hari” imbuh Arif.

“Turunkan harga sekarang juga! Atau SBY-JK yang turun sekarang juga” demikian massa mengahiri aksi dengan yeel-yeel penuh semangat. Arif, mewakili AGAMAS mengancam akan melakukan aksi lebih besar kembali, bila tuntutan menurunkan harga kebutuhan pokok tidak terpenuhi.

"Kalau perlu kita ke Istana Negara di Jakarta” imbuh Arif.



selengkapnya.....

15 Maret 2008

Otoritarianisme Orde Baru
(Mengenang 40 hari Kematian Soeharto)

Moh. Syafi`ie*

Malam ini Rabu, 5 Maret 2008 saya menyaksikan liputan media televisi terkait doa bersama 40 hari kematian Presiden Soeharto, bahkan saya mendengarkan pidato Dr. Quraish Shihab di sela-sela masyarakat yang berkerumun memadati rumah keluarga Cendana. Sama halnya pada 40 hari yang lalu sewaktu Presiden Soeharto meninggal, ratusan masyarakat juga berkumpul memadati rumah besar keluarga Cendana, termasuk di tempat pemakamannya di Solo.

Ketika menyaksikan pemberitaan dari kemarin sampai malam ini dengan begitu banyak masyarakat yang berkumpul, dan begitu kencangnya media meliputnya, saya terus berfikir, ada apa dengan Soeharto? Dan juga apa dengan masyarakat? Sebagai seorang muslim dan telah membaca beberapa literatur terkait kepemimpinan Soeharto, dengan hati yang gelisah saya turut juga membacakan doa untuk Soeharto, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, amien.

Tanpa maksud menghilangkan penghormatan terhadap meninggalnya Soeharto, penulis bermaksud mengungkapkan beberapa hal terkait kepemimpinannya selama rezim orde baru dan sekaligus refleksi untuk Indonesia kekinian.

Pertama, pergantian kepemimpinan dari Soekarno kepada Soeharto pada tahun 1966 sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pergolakan politik yang diwarnai oleh berbagai tindakan kekerasan tahun 1965-1966. Kekacaun politik itulah maka awal kepempimpinannya Soeharto agenda pertamanya ialah konsolidasi aparat keamanan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dari yang dianggapnya akan mengacaukan wilayah Indonesia. Gaya kepemimpinan di era Seohartopun berubah, jargon-jargon revolusi dan perlawanan terhadap imprealisme oleh Soekarno diganti dengan jargon dan janji-janji untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, sekaligus berjanji akan melaksanakan pembangunan dalam kepemimpinannya. Di awal periondenya, begitu banyak apresiasi dari tokoh-tokoh publik utamanya mereka yang kecewa terhadap sikap Soekarno di akhir kepemimpinannya yang berubah otoriter.

Kedua, kondisi menggembirakan di awal orde baru ini tidak berlangsung lama. Semenjak diadakannya pemilihan umum pada tahun 1971, politik Indonesia bergerak menuju peta pemerintahan yang berbeda dan penuh pertanyaan. Hal ini dapat dilihat dari kemenangan partai “Golkar” yang sangat kuat setelah terjadinya perayasaan politik. Dimana Golkar menjadi sangat kuat setelah mendapatkan dukungan penuh dari militer, birokrasi sipil, teknokrat dan kelompok fungsional. Perihal inilah yang menjadi mula dari matinya demokrasi di Indonesia, karena Golkar selamanya pasti menang dalam pemilihan umum dan posisi legislatif baik di daerah ataupun di pusat dipastikan mengabdi kepada Golkar dan melegitimasi terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, mirip seperti paduan suara dan tidak ada check and balance.

Ketiga, yang paling terkenal juga dalam era kepempimpinan Soeharto ialah dia dikenal dengan bapak pembangunan. Sebuah analogi untuk mengatakan bahwa atas nama pembangunan semua harus direlakan dan dilaksanakan, sehingga pada akhirnya jargon pembangunan ini lebih populer disebut sebagai “Asal Bapak Senang”. Karena atas nama pembangunan tadi kebohongan publik dilakukan, terbukti telah dikuasainya aset-aset negara oleh keluarga Cendana, Para punggawanya dan oleh teman bisnisnya baik di tingkat nasional ataupun di level internasional.

Konfigurasi Politik Orde Baru Yang Menunggal

Konfigurasi politik orde baru secara umum bersifat tunggal (homogen) dan monolitik. Menurut teori pembagian entitas dalam bentuk-bentuk negara modern sebagaimana diungkapakan Alfred Stepan, karakter yang menunggal dan monolitik tersebut terjadi pada level negara (state) dan masyarakat (society).

Pada level negara terlihat dari relatif solidnya semua unsur yang ada di dalam entitas negara, baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Sedangkan pada level masyarakat dengan karakter negara yang monolitik dan menunggal dapat dipastikan negara menjadi pengendali dan masyarakat dapat ditundukkan, diarahkan dan dikendalikan secara sistemik. Sehingga kondisi politik ini pada tahap berikutnya mendorong atas bentuk dan format ketunggalan dan monolitik dalam masyarakat, baik dalam kerangka hubungan masyarakat (society) dengan masyarakat (society), ataupun hubungan masyarakat (society) dengan negara (state).

Konfigurasi politik orde baru yang menunggal dan monolitik itu terbangun lewat soliditas elemen-elemen negara baik vertikal ataupun horizontal. Secara horizontal negara terkonsolidasi dengan kuat oleh dukungan militer, birokrasi dan partai Golkar. Sedangkan secara vertikal, negara melakukan perekayasaan secara sistemik dengan membangun sentralisasi dan dominasi pemerintah pusat dalam kerangka hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Konteks ini mempertegas bahwa negara di era rezim orde baru merupakan personifikasi dari militer (angkatan darat), birokrasi, Golkar dan pemerintahan pusat (sentralistik).

Pertama, walaupun friksi dan kesenjangan antar perwira sudah muncul di era orde baru, namun selama orde baru keberadaan militer telah menjadi sentrum dari kekuasaan orde baru. dimotori oleh angkatan darat, dominasi militer dalam wilayah politik menyandarkan pada konsep dwifungsi ABRI. Hal ini merupakaan penjelmaan dari dominasi militer diwujudkan dengan hadirnya struktur militer yang paralel dengan struktur pemerintahan sipil, kerangka ini merupakan perekayasaan untuk pengendalian dan penundukan kepada masyarakat. Selain itu, dalam kancah percaturan politik, personel militer mendapatkan tempat dengan melakukan penyebaran di semua institusi kekuasaan yang ada seperti lembaga perwakilan rakyat (legislatif), birokrasi dan partai politik. Mikanisme pengangkatan militer untuk lembaga perwakilan rakyat telah terjamin keberadaannya, sedangkan dalam birokrasi nampak personel militer dalam jabatan-jabatan strategis seperti Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri dan lainnya, hal yang sama juga terjadi dalam tubuh partai Golkar.

Kedua, Politisasi juga terjadi dalam tubuh birokrasi. Birokrasi dijadikan istrumen penting kekuasaan Soeharto sehingga melegitimasi hegemoni rezim Seoharto dan tak terkalahkan selama pemerintahannya. Kerangka kerjanya minimal dapat dilihat dalam dua hal, pertama, kebijaksanaan sentralisasi manajemen birokrasi seperti jenjang karir, gaji, pengangkatan, pemberhentian dan lain sebagainya. Pada akhirnya kebijakan ini mengantarkan pada homogennya struktur birokrasi baik dari pusat sampai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Kedua, kebijaksanaan monoloyalitas tunggal, dimana semua birokrat harus berafiliasi dengan partai Golkar dan tidak boleh berafiliasi dengan partai lainnya. Hal ini menyebabkan menyatunya suara birokrasi untuk Golkar, dan pastinya Soeharto pasti menang dalam pemilihan umum.

Ketiga, kekuatan politik orde baru juga disokong oleh partai Golkar, dan merupakan satu-satunya partai politik yang hegemonik ketimbang partai yang lain PPP dan PDI setelah pemfusian. Keberadaan Golkar dengan kekuatan militer yang penuh dan birokrasi yang taat, tidak pernah terkalahkan oleh partai-partai yang lain, bahkan Yusril Ihza Mahendra pernah mengungkapkan dalam sebuah tulisannya bahwa yang namanya Golkar tidak akan pernah terkalahkan seumur hidup selama sistem kepartaian masih seperti orde baru. Hal ini menyebabkan kemandulan suara-suara kritis dari legislatif terhadap eksekutif, bahkan lembaga yudikatif-pun menjadi lembaga yang tidak independen karena keputusannya mengabdi dan membenarkan prilaku orde baru. Dipastikan mereka semua mendukung semua kebijakan-kebijakan orde baru walaupun tidak bersesuaian dengan keadilan, kemanusiaan dan kebenaran.

Keempat, Hegemoni orde baru juga telihat jelas dari sentralisasi kebijakan di Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa pada tahun 1950-an dan 1960-an membulatkan tekad orde baru untuk menggunakan asas sentralisasi dalam negara. Konsepsi ini pada dasarnya disandarkan pada pengamanan dan ketertiban sehingga di daerah-daerah kerapkali terjadi pemaksaan, kekerasan dan intimidasi, semisal di Aceh, Papua dan daerah-daerah lainnya.

Untuk menunjukkan hegemoni rezim Soeharto baik vertikal ataupun horisontal dapat dilihat dari perwujudan lembaga Muspida yang anggotanya terdiri dari pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, Muspika yang anggotanya terdiri dari Camat, Koramil dan Komando Sektor, sedangkan di Desa terdiri dari LMD, LKMD dan Babinsa dari militer. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut sangat berfungsi pada politik pengendalian, penundukan, serta rekayasa politik dan kebijakan selama rezim orde baru. Secara horisontal lembaga-lembaga tersebut diisi oleh militer, kepolisian dan kejaksaan. Sendangkan secara vertikal lembaga-lembaga itu diisi oleh personal Gubernur dan Walikota/Bupati.

Dalam konteks masyarakat sipil fenomena sentralistik, tunggal dan monolitik sangat berpengaruh pada tertib, ketundukan dan kekerasan sosial, baik hubungannya masyarakat (society) dengan masyarakat (society) ataupun hubungannya masyarakat (society) dengan negara (state). Hal ini merupakan akibat dari telah bekerjanya perekayasaan politik Soeharto dalam pengendalian dan penundukan negara kepada masyarakat, baik lewat institusi-institusi tersebut ataupun pada level wacana (discourse).

Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Mas`oed bahwa pada dataran institusi mikanisme pengendalian dan penundukan oleh negara kepada masyarakat diwujudkan dengan mikanisme korporatisme. Dimana negara pada rezim orde baru menggambarkan hubungan masyarakat dengan masyarakat yang termobilisasi, terkontrol, tertib dan sikap politik yang menunggal. Sedangkan pada wilayah wacana juga terjadi pengendalian, kontroling dan pengarahan pada wacana tunggal dengan alasan-alasan SARA, harmoni sosial, integrasi bangsa, ketertiban, pembangunan dan lain sebagainya, bahkan seringkali menurut Anderson memanfaatkan instrumen budaya.

Akibatnya ialah Negara Penuh Kekerasan dan KKN

Prilaku politik rekayasa rezim Soeharto pada akhirnya menciderai terhadap tatanan sosial kebangsaan dan kenegaraan. Dan mengantarkannya pada sebutan pemerintahan dan rezim yang tiranik, otoriter, manipulatif dan anti hak asasi manusia (HAM). Hal ini terbukti dari beberapa hal, meliputi :

Pertama, negara menjelma menjadi kekuasaan teror (state terorisme). Negara telah terbukti melakukan penundukan secara paksa dan represif yang bersifat fisik, dan tentunya juga melakukan kekerasan terhadap perasaan yang nota bene menghendaki kemerdekaan dan kebebasan ekspresi. Di antara kekerasan yang dilakukan rezim Soeharto ialah pembunuhan besar-besaran yang dituduh PKI tahun 1965, penembakan Misterius (Petrus), Haur Koneng tahun 1993, Marsinah, Penculikan aktifis, kasus Waduk Kedungombo, Nipah Sampang Madura, pemberedelan terhadap beberapa majalah semisal Tempo, majalah Abadi, majalah Indonesia Raya, majalah Pedoman, dan masih banyak majalah lainnya, kasus DOM di Aceh, kasus Tanjung Priok, Kasus Komando Jihad, Kasus Timor-Timur, tragedi 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI di Jalan Dipenegoro, Tragedi Makasar Berdarah, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Trasakti, kasus Semanggi I&II dan masih sangat banyak lainnya.

Selain itu, muncul produk kebijakan dan perundang-undangan yang anti kemanusiaan, semisal, kebijakan NKK/BKK tahun 1978, Pembekuan Kegiatan Kemahasiswaan oleh Komkamtib 1978, UU No 8 tahun 1985 tentang Asas Tunggal, UU Subversi, Instruksi Presiden No 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina, Kep. Presidium No 127/U/Kep/12/1966 mengenai Ganti nama bagi WNI memakai nama Cina, UU No 11/PNPS/1963 tentang Menentang Pemerintah dan Dasar Negara Pancasila, dan masih banyak produk hukum dan kebijakan lainnya yang sama sekali menciderai kemanusiaan, keadilan dan keadaban.

Kedua, negara menjelma menjadi korporasi (state corporatisme). Dalam konteks ini negara tidak hanya melakukan penundukan lewat kekerasan fisik sebagaimana di atas, tetapi juga melalui jejaring institusi yang tujuannya memperkuat, mengamankan dan mengokohkan negara dalam mengeksekusi kebijakan dan hasrat politiknya. Pada tingkat nasional korporasi negara terwujud melalui PWI untuk kalangan jurnalis, SPSI untuk kalangan pekerja buruh Indonesia, MUI untuk kalangan Ulama`, KNPI untuk pemuda, IDI untuk kalangan Dokter, KORPRI untuk kalangan Pegawai Negeri, PGI untuk Kristen, KWI untuk Katolik, PHDI untuk Hindu, dan masih banyak lainnya. Sedangkan pada tingkat lokal muncul organisasi korporasi semisal Karang Taruna, PKK, Kolampencapir, dan lainnya.

Ketiga, negara menjelma menjadi penguasa opini publik yang dikenal dengan state discours. Untuk memperkokoh dan mengamankan kekuasaannya negara di era rezim Soeharto mempraktekkan strategi penguasaan opini publik dengan cara memobilisasi instrumen opini dan sikap publik. Cara ini digunakan untuk membunuh dan mematikan demonstrasi, pengkritik, oposan dan para pihak yang dianggap menentang keputusan dan kebijakan pemerintah. Penguasaan ini terlihat dari penggunaan istilah demokrasi pancasila, cap ekstrim kanan, ekstrim kiri, anti pancasila, anti pembangunan, prilaku subversi dan istilah-istilah lainnya.

Salah satu instrumen yang cukup massif ialah pelaksanaan dan penerapan P4 dalam pendidikan dan birokrasi. Dimana P4 ini dijadikan persyaratan untuk keluar negeri, daftar PNS, dan lain sebagainya. Termasuk untuk penguatan-penguatan lembaga penguasa opini publik, pemerintah berupaya membentuk kantong-kantong studi semisal keberadaan lembaga CSIS yang dibentuk oleh Ali Murtopo, seorang Mantan kepala Operasi Khusus (Opsus) dan Mantan ketua BAKIN, melalui lembaga ini kebijakan dan penerapan P4 ditelurkan dan diterapkan dalam ranah publik.

Keempat, negara menjelma menjadi State Clientilisme, dimana dalam konteks ini negara awalnya berusaha melakukan penundukan terhadap pasar. Hal ini diwujudkan dengan upaya negara mendominasi kehidupan perekonomian yang menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi semisal proteksi, subsidi dan lainnya. Namun, pada perkembangannya praktek negara ini menghasilkan pola hubungan patron-client, dimana negara tidak jarang bertindak sebagai patron, sedangkan pengusaha-pengusaha tertentu yang dekat dengan kekuasaan bertindak sebagai client-nya. Pola dari hubungan ini kemudian mendorong terjadinya praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini terlihat dari munculnya pengusaha nasional yang dekat dengan Soeharto bahkan dari keluarganya sendiri, semisal Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan pada level internasional muncul pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan masih banyak lainnya.

Penulis hingga hari ini meyakini penyebab berkuasanya komparador neo liberalisme dalam kebijakan publik Indonesia dan menyebabkan krisis ekonomi sampai hari ini ialah disebabkan kongkalikong dan konspirasi ini. Terutama dengan dilakukannya Letter Of Intens (LOI) dengan IMF yang nota bene lembaga ini selama tiga dekade bersama World Bank menjadi mitra strategis rezim Soeharto. Apalagi penandatanganan LOI ini sesungguhnya merupakan perintah Soeharto untuk meminta bantuan IMF pada tanggal, 8 oktober 1997. Penandatanganannya kemudian dilakukan oleh Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan, dengan IMF dalam sebuah LOI, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah kontrak dan penegasan bahwa IMF akan menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani krisis ekonomi Indonesia yang memuncak tahun 1997. Peristiwa ini menyebakan hutang yang cukup tinggi terhadap IMF dan berakibat pada dipertaruhkannya independesinya Indonesia dalam pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam soal-soal kebijakan perekonomian. Diakui ataupun tidak, IMF bersama kroninya kekinian telah berhasil mendesakkan format, bentuk dan positioning kebijakan struktural Indonesia untuk mendasarkan pada sistem ekonomi politik neo liberalisme.

Sekilas Indonesia Kekinian

Melihat konfigurasi politik orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang monolitik, sentralistik dan militeristik di atas, sedikit banyak bagi kita menjadi peta untuk melihat secara jernih Indonesia kekinian, utamanya perubahan sikap masyarakat dan prilaku politik pemerintah.

Pasca tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998 dan awal era reformasi terlihat secara jelas betapa kekerasan demi kekerasan lahir, seakan kekerasan yang dilakukan oleh negara selama 32 tahun oleh orde baru telah menjelma menjadi prilaku perseorangan masyarakat. Prilaku premanisme, pengeroyokan, menghakimi tanpa landasan hukum yang jelas, serta penjarahan yang tanpa ampun. Demikianlah awal reformasi dimana seakan semuanya menjadi hukum rimba, dan saat inipun masih terjadi dan sangat marak.

Secara teoritik hal ini juga pernah diungkapkan dalam penelitian Hannah Arendt di era rezim otoriter Nazi, Hitler (Jerman) dalam sebuah peristiwa Holocaust, dimana seorang kepala arsitek Eichmann berani menjadi eksekutor pada final solution dalam pembantaian massal terhadap kaum Yahudi. Dalam perspektif yang sama, ideologi negara rezim orde baru yang monolitik, sentralistik dan militeristik selama 32 tahun berpengaruh secara signifikan terhadap semua kejadian, pendekatan dan prilaku masyarakat Indonesia kekinian. Karena eksistensi ideologi tersebut diakui atau tidak, telah merasuk dalam psikologi, kultur dan struktur publik dan masyarakat. Menegaskan bahwa prilaku kekerasan negara orde baru telah berpengaruh secara serius terhadap prilaku kekerasan yang terjadi dalam masyarakat.

Selanjutnya, untuk Indonesia kekinian orde baru telah mewariskan sistem kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, sebutlah semisal kebijakan ekonomi politik neo liberalisme. Penulis sangat menyadari bahwa keterpurukan ekonomi kekinian disebabkan karena rapuhnya sistem perekonomian Indonesia, mengutip pendapat Awalil Rizki sistem perekonomian kita telah terintegrasi dalam sistem kapitalisme global. Apalagi awal kepemimpinan Soeharto, positioning dan kebijakan perekonomian telah diubah, salah satunya terlihat dari penempatan ekonom-ekonom lulusan barat dalam struktur pemerintahan yang menangani urusan-urusan ekonomi.

Di era kepemimpinan SBY-JK kini semakin jelas watak dan ideologi perekomomian kita, bahwa semuanya telah berpijak kepada paradigma, mindset dan ideologi neo liberalisme. Sehingga mata kita selalu terperangah setiap saat dari mulai pencabutan subsidi terhadap kebutuhan publik, menyebabkan kebutuhan publik memahal tinggi, krisis pangan karena kebijakan pangannya impor terus, menyebabkan tempe mahal, beras mahal dan lain sebagainya. Kebijakan ini berlangsung karena secara politik dan struktural kita telah terhegemoni oleh jejaring kapitalisme global. Penulis seringkali sangat miris dengan pernyataan-pernyataan pemegang kebijakan publik sebutlah Jusuf Kalla yang seringkali mempermainkan kemiskinan dan kemelaratan publik dengan tarian poco-poco, disco, antrean nonton film dan lain sebagainya.

Saat ini kita membutuhkan perubahan yang berpihak kepada rakyat dan mengangkat derajat mereka dari keterpurukan dan kemiskinan yang semakin merajalela. Maka di hari yang ke-40 dari meninggalnya Soeharto ini, kita tentunya dapat belajar dan mengingat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dari rezim otoritarian orde baru.

Allahu A`lam Bisshowab

* Ketua HMI Badko Inbagteng 2007-2009

selengkapnya.....

Badko Inbagteng Gelar Rapimcab III

Purworejo, (inbangteng cyber media)
Sebagai fasilitator sekaligus mediator di lingkungan HMI Cabang se Inbangteng, Badan Koordinasi (Badko) menggelar Rapat Pimpinan Cabang (Rapimcab) III di sekretariat HMI Cabang Purworejo (08/03). Rapimcab kali ini merupakan follow up Rapimcab II yang telah digelar di Wonosobo (17/02) sebulan yang lalu. Tampak hadir beberapa pengurus cabang, diantaranya HMI Cabang Jogja, Semarang, Sleman, Wonosobo, Purworejo. Sedangkan cabang-cabang yang absen adalah Cabang Purwokerto, Jepara, Malang, Jombang, Surabaya dan Pontianak. Rapimcab kali ini menghasilkan beberapa poin yaitu ; terbentuknya Forum Komunikasi Hijau Hitam (FKHH), pembahasan konstitusi HMI se-Inbangteng dan kajian tema PB HMI.

Agenda pembahasan Rapimcab III mencakup tiga bahasan antara lain ; pembentukan forum aliansi PTK se-inbangteng, persoalan konstitusi HMI dan tema PB HMI. Rapat yang di pimpin Moh. Syafi’ie langsung membahas tentang kesepakatan masing-masing cabang untuk membentuk forum tersebut. Setelah disepakati, maka dipilihlah nama yang relevan dan juga koordinator untuk menghandle dan mengkoordinir setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Syafi’ie menegaskan bahwa nantinya forum ini tidak hanya bersifat insidental tetapi berkelanjutan. “Forum ini bukan sekali saja, tapi sesering kali sesuai dengan momentum yang perlu dibahas, jadi kita akan melakukan pertemuan intensif “, ungkap Syafi’ie.

FKHH Terbentuk
Sebelum pemilihan nama, sempat juga muncul beberapa pertayaan mengenai tujuan dan target dibentuknya forum aliansi tersebut. Berdasarkan hasil rapimcab II, bahwa memang forum yang bertujuan untuk mengcover persoalan eksternal. Syamsul Hidayat mengatakan bahwa forum ini tidak murni hanya bicara PTK saja, tetapi lebih pada persoalan-persoalan eksternal yang sejauh ini belum begitu serius dibahas. “yang dimaksud PTK, bukan bidang tetapi maksudnya adalah ekternal, bukan hanya kapasitas bidang, tetapi mencakup seluruh kegiatan eksternal “, tegas ketua HMI Cabang Jogja itu. Dengan demikian forum aliansi ini lebih merupakan wadah yang bisa membahas hal-hal eksternal yang perlu disikapi pada tingkatan inbagteng yang nantinya dalam setiap kegiatannya difasilitasi oleh Badko.

Sebagai referensi bagi forum yang akan dibentuk, mapping isu sangat diperlukan. Dari hasil elaborasi masing-masing cabang, terdapat empat isu sentral, diantaranya Pemilu 2009, Pilkada Gubernur, APBD pendidikan dan masalah lingkungan hidup.
Setelah melakukan pembahasan mendalam terhadap isu-isu tersebut, akhirnya disepakati nama forum tersebut adalah Forum Komunikasi Hijau Hitam (FKHH), forum ini selanjutnya dikoordinir oleh Ibnu Muzab Ary. Anggota FKHH terdiri dari utusan masing-masing cabang yang memang konsen di bidang eksternal, seperti PTK dan Lapmi. Dalam pertemuan itu juga langsung disepakati agenda FKHH terdekat, yaitu diskusi di HMI Cabang Yogyakarta terkait agenda politik HMI 2009 dengan tema “meneropong politik HMI MPO 2009”. Dalam pertemuan itu akan dibahas pula isu-isu eksternal yang akan digarap secara intens oleh FKHH kedepan.
Kajian Konstitusi HMI
Selain pembentukan FKHH, pembahasan mengenai konsitusi HMI juga cukup alot. Beberapa cabang memberikan pandangan dan masukan yang cukup beragam. Dari persoalan redaksional yang salah, kop surat yang berbeda-beda, penomoran surat, contoh stempel sampai masalah Anggaran Dasar. Beberapa cabang juga mengusulkan untuk agar dibentuk semacam kelompok kerja (Pokja) yang memang fokus membahas masalah konstitusi. Dalam Pokja itu harus ada kader yang mengikuti kongres dan mengetaui poin-poin mana saja yang mengalami perubahan dan juga orang yang faham mengenai konstitusi HMI. Usulan mengenai pokja kemudian disederhanakan menjadi pembentukan tim kajian konstitusi HMI yang khusus mengidentifikasi beberapa persoalan dalam konstitusi, selanjutnya tim tersebut membuat draf untuk dibahas dalam Pleno II PB HMI di Semarang bulan April mendatang.

Untuk lebih mengintensifkan kajian konstitusi HMI, akhirnya dicapai kesepatan untuk mengadakan diskusi di HMI Cabang Yogyakarta pada pertengahan Maret. Beberapa cabang pun sudah mengutus delegasi-nya untuk ikut dalam kajian tersebut. Dari Cabang Jogja mengutus Lukman Hakim, Sleman diwakili oleh Fatul Mujib, Purworejo mendelegasikan Deniatur sedangkan Wonosobo mengamanahkan M. Nurdin untuk ikut dalam kajian tersebut. Harapannya dari kajian konstitusi ini dapat memberikan masukan yang konstruktif bagi permasalahan konstitusi HMI terutama pada forum Pleno II PB.

Mengulas Tema PB HMI
Usai membahas konstitusi HMI, Rapimcab terus berlanjut pada pembahasan tema PB HMI. Eksplorasi pertama dimulai oleh HMI Cabang Semarang yang mengatakan bahwa tema PB mengarahkan HMI harus masuk sistem, karena alasan pembaharuan demokrasi. selain juga diulas tentang ketidakjelasan posisi HMI dalam konteks memperkokoh negara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada beberapa pilihan, kita ikut dan mendukung calon yang bersih, jika tidak ada yang sesuai, buat lembaga yang dapat mendukung. Lalu bagaimana dengan pemaknaan independensi ?. Dapatkah HMI berpartisipasi tetapi tetap independen ?. Demikian pula halnya Yusuf yang mengajukan beberapa pertanyaan mendasar terkait tema PB. “maksud tema PB ini sebenarnya mau kemana ?, kita ini kan organisasi, jadi nggak bisa masing-masing cabang lalu memaknai masing-masing”, tegas ketua HMI Cabang Semarang ini.

Sementara itu HMI Cabang Jogja menilai bahwa tema HMI tidak mengarahkan terhadap politik praktis. Hal ini karena belum ada pemetaan yang jelas di wilayah lokal. Cabang Sleman juga memaknai pemaknaan memperkokoh negara masuk dalam konteks politik. Maka dengan demikian pilihannya adalah “menjaga demokrasi tetap berjalan dengan memperbaiki sistem yang ada, kita tetap mendukung demokrasi tapi harus tetap anti neolib.”, ungkap ketua Badko Inbagteng. Hasil pembahasan rapimcab III ini selanjutnya akan dibawa ke forum Pleno II PB HMI yang rencananya akan berlangsung di kota Atlas Semarang pada 4-7 April 2008. (red)

selengkapnya.....

Launching Koran Dinding “Metamorfosa”

Purworejo, (inbangteng cyber media)
Setelah berhasil meluncurkan web blog, Badko kembali me-launching kreasi terbarunya dalam format koran dinding. Peluncuran dilakukan disela-sela pembahasan rapimcab III (08/03). Meskipun tidak ada seremonial dalam peluncuran itu, namun kreasi itu mendapat respon positif dari pengurus cabang yang hadir. Koran tersebut selanjutnya dibagi-bagikan kepada seluruh peserta Rapimcab. Koran yang didesain dengan ukuran A3 itu diberi nama “Metamorfosa” dengan motto “the change begins with process” (perubahan dimulai dari proses, red).

Ketika ditanya mengenai nama dan brand image tersebut salah satu pengurus badko, Ibnu Muzab Ary (bidang Kajian dan Media)-yang juga tim redaksi Metamorfosa-mengatakan bahwa nama itu memang simpel tapi punya filosofi mendalam. Bahwa perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi butuh perjuangan panjang, butuh proses yang tidak singkat, maka kader-kader HMI harus ber-“metamorfosa” agar dapat melakukan perubahan. Tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Intinya ber-metamorfosa menjadi Ulil Albab.

Harapannya koran dinding akan menjadi media yang cukup strategis dalam melakukan perubahan dan ikut mewarnai dunia jurnalistik HMI. Insya Allah redaksi metamorfosa akan terus berusaha menerbitkan kembali pada edisi kedua. Media ini cukup efektif karena didalamnya ada beberapa informasi tentang ide-ide kontekstual HMI yang dikemas dengan bahasa ringan namun tetap mendalam. Selain web blog dan koran dinding, ke depan Badko Inbagteng juga akan menerbitkan jurnal. Dengan jurnal ini kader-kader HMI, khususnya di wilayah Inbagteng dapat berpartisipasi baik dalam bentuk tulisan ataupun masukan untuk kreasi terbaru Badko.[red]

selengkapnya.....

09 Maret 2008

Independensi Calon Independen

M. Mahrus Ali*
Ditengah apatisme publik terhadap partai politik, MK memberikan angin segar bagi calon independen untuk ikut berlaga dalam bursa pemilihan calon pemimpin daerah. Pukulan telak bagi partai politik, mereka harus bekerja keras untuk meningkatkan kredibilitas dan integritas mereka kepada publik. Uji materiil terhadap UU Pemda adalah awal terbukanya peluang calon perseorangan dalam pilkada. Dibalik kabar baik itu, muncul pertanyaan, seberapa indepenkah calon perseorangan?
Luar biasa, begitulah mungkin kesan yang banyak kalangan sampaikan terkait dengan keluarnya putusan MK yang kemudian membuka ruang bagi calon-calon pemimpin untuk terjun kedunia kepemimpinan daerah tanpa melalui jalur partai. Ini terobosan baru dalam iklim politik di Indonesia. Kalau selama ini partai menjadi pintu satu-satunya untuk maju ke bursa pilkada, maka setelah putusan ini dibacakan, model seperti itu sudah tidak berlaku lagi. Semua kalangan bebas maju ke pentas politik dan bersaing dalam pilkada melalui jalur perseorangan tanpa dukungan partai atau yang kita kenal dengan calon independen.

Impian itu telah menjadi kenyataan. Kran demokrasi telah dibuka selebar mungkin. Tidak ada lagi kuasa partai atas dominasi kepemimpinan politik. Semua pihak setara dan siapa yang merasa mampu dan memenuhi persyaratan serta dukungan maka dia dapat maju sebagai calon pemimpin di daerah. Ini tamparan yang cukup keras bagi partai untuk segera berbenah diri. Partai sudah tidak bisa lagi diperdagangkan. Karena rakyat dapat lebih bebas memilih, siapa pemimpin mereka tanpa harus ‘berurusan’ dengan partai.

Namun, putusan MK menyisakan persoalan hukum tersendiri. Terkait dengan regulasi hukum, muncul perdebatan yang cukup alot di kalangan praktisi hukum, terutama pakar hukum tata negara, ada yang berpendapat persoalan itu dapat diselesaikan dengan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden, tapi ini juga mendapat tentangan oleh pengamat lain. Di sisi lain DPR tetap ngotot untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No.32/2004)

Pengujian terhadap UU No. 32/2004 diajukan oleh Lalu Ranggalawe anggota DPRD Kabutapen Lombok Tengah. Dalam putusan MK diuraikan mengenai alasan pemohon mengajukan judicial review atas UU Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pada dasarnya
Pemohon berkepentingan terhadap pemilihan kepala daerah baik untuk mencalonkan diri maupun dicalonkan. Sementara di Nusa Tenggara Barat akan dilangsungkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Tahun 2008 yang akan datang, di mana Pemohon berkeinginan untuk ikut mencalonkan diri/dicalonkan sebagai kandidat Gubernur/Wakil Gubernur NTB. Meskipun Pemohon saat ini masih aktif sebagai anggota DPRD dari Partai Bintang Reformasi (PBR), namun Pemohon tidak terlalu berharap untuk dapat dicalonkan melalui partai, sebab bukan rahasia umum lagi bahwa pada umumnya partai-partai saat ini sudah menjadi barang komoditi yang diperjual-belikan dengan nilai harga yang terbilang tinggi untuk ukuran di daerah, dan Pemohon sendiri tidak punya kemampuan finansial untuk itu.
Sementara itu dalam ketentuan Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60 UU Pemda pasangan calon hanya dapat diusulkan/diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Dengan kata lain tidak memberikan peluang sama sekali bagi pasangan calon independen (yang tidak memiliki kendaraan politik atau parpol) termasuk halnya Pemohon.

Dengan demikian, Pemohon berkeyakinan dengan adanya ketentuan Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60 UU Pemda dikaitkan dengan keadaan partai saat ini sebagaimana dikemukakan di atas, jelas-jelas tidak memungkinkan bagi Pemohon untuk mencalonkan diri/dicalonkan dalam rangka Pilkada dimaksud, karenanya Pemohon sangat merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar dan dirugikan secara potensial sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 terutama sekali Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.“ .

Di samping itu, setelah membaca ketentuan Pasal 56, Pasal 59 dan Pasal 60, UU Pemda yang pada pokoknya berisikan“ hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol untuk mengusulkan/mengajukan pasangan calon Kepala Daerah dan wakil kepada daerah dan sama sekali menutup peluang bagi pasangan calon independen (bagi yang tidak memiliki kendaraan politik/parpol) sebagaimana juga halnya dengan diri Pemohon sebagai salah warga negara yang berkeinginan sebagai Calon Kepala Daerah dalam Pilkada di daerah Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian, jelas-jelas bahwa ketiga pasal UU Pemda tersebut sangat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.

Undang-undang tersebut menjadi alat baru yang justeru lebih cenderung menampilkan sifat-sifat oportunis, konspiratif, dan transaksi politik yang berlebihan karena undang-undang tersebut tidak memberikan peluang dan ruang gerak bagi calon-calon independen yang bukan dari partai politik. Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota sudah pasti akan menguntungkan segelintir orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan yang seolah-olah memperoleh legitimasi dari rakyat padahal yang sesungguhnya tidak, karena hanya merupakan kamuflase politik belaka untuk menghindari sikap seperti itu maka sangat perlu untuk menampilkan calon independen yang bukan hanya diusulkan dari parpol yang terkesan menyeret kepentingan rakyat yang menghindar dari demokrasi yang justru menampilkan penguasa politik yang tidak diinginkan oleh rakyat.

Atas permohonan tersebut, MK dalam sidangnya pada akhirnya memutuskan ;
“Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada, yaitu:
• Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”;
• Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.
• Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
• Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”.

Dengan adanya putusan ini maka beberapa pasal tersebut harus dirubah oleh pihak legislator yaitu DPR. Dalam putusannya MK memang tidak memberikan solusi hukum terhadap beberapa pasal yang dihapus tersebut. Apakah harus membuat UU baru atau cukup dengan melakukan revisi terhadap beberapa pasal yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.Pada akhirnya langkah yang di tempuh DPR adalah melakukan revisi terbatas terhadap beberapa pasal yang sudah dibatalkan oleh MK.

Sebagaimana dilansir Jawa Pos (26/02) bahwa syarat bagi calon independen agar bisa masuk dalam bursa pencalonan pilkada dengan memperoleh dukungan suara berkisar 3-6,5 persen berdasarkan jumlah penduduk di satu daerah pemilihan pilkada.
Berikut ini adalah hasil revisi terbatas UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang menyangkut calon independen dalam pilkada.

Untuk Pemilihan Gubernur
Jumlah penduduk s/d 2 juta : 6, 5 %
Jumlah penduduk s/d 2 jt-6 jt : 5 %
Jumlah penduduk s/d 6 jt-12 jt : 4 %
Jumlah penduduk lebih dari 12 jt : 3 %

- Untuk pemilihan Kabupaten/Kota
Jumlah penduduk s/d 250 ribu : 6,5 %
Jumlah penduduk 250 rb-500 rb : 5 %
Jumlah penduduk 500 rb-1 jt : 4 %
Jumlah penduduk lebih dari 1 juta : 3 %

Dari prosentase tersebut sebetulnya masih terdapat berbagai persoalan lain yang kemudian mengemuka, bagiamana ketika calon indenpenden terlibat money politic. Misalnya calon independen juga pada akhirnya ‘membeli’ suara rakyat. Satu contoh ada calon independen yang punya ‘modal’ besar dan dia dapat melakukan semua hal untuk memperoleh dukungan suara dari masyarakat. Lalu apa bedanya dengan perilaku partai politik yang juga ‘memborong’ suara rakyat dengan iming-iming rupiah? Setiap pilihan memang punya sisi positif dan negatif. Terbukanya peluang calon perseorangan dalam pilkada memang sangat diharapkan munculnya pemimpin muda yang visioner dan bebas dari tekanan partai politik karena mendapat dukungan rakyat. Namun bagaimana jika yang muncul justru calon-calon perseorangan yang tidak capable, korup, maju ke arena pilkada hanya karena calon tersebut mumpuni secara finansial dan dapat ‘mengelabui’ masyarakat dengan uang-nya ??. Ini juga persoalan penting. Karenanya partai politik memang harus berbenah diri dan masyarakat juga harus sadar jangan mau disuap oleh salah satu pasangan calon yang hendak maju, terlebih melalui jalur independen.

Kini kita tinggal tunggu waktu apakah setelah revisi terbatas terhadap UU Pemda selesai, akan muncul calon-calon pemimpin perseorangan yang berani tampil kedepan tanpa dukungan partai politik selain dukungan dari rakyat. Ini sebuah tantangan sekaligus ujian bagi calon pemimpin daerah. Dengan adanya otonomi daerah yang luas serta majunya pemimpin lokal yang indepeden, maka harapan untuk memajukan daerah akan lebih besar. Di samping itu praktik politik dagang sapi dalam pilkada, bagi-bagi kekuasaan dengan parpol akan dapat diminimalisir. Calon independen diharapkan benar-benar mengabdi pada rakyat bukan pada parpol.

Meski demikian munculnya calon perseorangan bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik baru di kalangan grass root. Kalau kita berkaca pada pilkada belum menganut sistem calon independen, konflik horizontal sangat tinggi intensitasnya. Lepas dari itu. Tentu kita berharap yang terbaik, calon perseorangan tersebut betul-betul independen dan tidak memanfaatkan aturan itu untuk ‘menipu’ rakyat atas nama independensi terhadap kekuatan manapun. Pun demikian partai politik harus berubah, menghilangkan sikap oportunisme dan eksploitasi partai terhadap rakyat. Jangan sampai muncul kembali pemeo yang mengatakan “ada pilkada aku disayang tak ada pilkada aku ditendang “.

Rakyat sudah lelah dengan janji manis partai politik, saatnya pemimpin independen maju dan melakukan perubahan. Tinggal tunggu waktu apakah hasil revisi UU Pemda itu benar-benar menjamin hak-hak calon independen dalam pilkada, atau revisi itu hanya sekedar revisi....tidak ada perubahan yang mendasar. Itulah Undang-Undang yang tambal sulam. Apapun itu, kita tentu inginkan yang terbaik.

* Pengurus HMI Badko Inbagteng 2007-2009
Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII Yogyakarta

selengkapnya.....

DPR : wakil rakyat yang semakin tidak me-rakyat


Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seyogyanya menjadi mediator dan fasilitator untuk menyampaikan suara rakyat saat ini semakin jauh bahkan menjauh dari tugas utamanya sebagai wakil rakyat. DPR terus menerus mempraktikkan sebuah acrobat politik yang terus menerus merugikan rakyat. Maka tidak salah jika Gus Dur sering memberikan predikat DPR seperti taman kanak-kanak alias TK. DPR sudah lupa diri dan tidak sadar bahwa rakyat memberikan amanat di pundak mereka untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat bukan menindas atau bahkan membohonginya.

Lihat saja sederet kebijakan yang dikeluarkan DPR yang sangat menyakitkan rakyat. Dalam kasus lumpur Lapindo, DPR dengan seenaknya memutuskan bahwa luapan lumpur adalah bencana alam bukan karena ulah Lapindo. Dari keputusan itu, maka negera (pemerintah) harus bertanggungjawab memberikan kompensasi (ganti rugi) kepada korban lumpur hingga 80 persen. 700 miliar dari APBN akan dikucurkan untuk membantu korban lumpur Lapindo. DPR benar-benar tidak punya nurani dan hanya berpihak pada elit Lapindo. Maka jangan heran jika sikap anggota dewan yang terhormat itu bisa ‘dibeli’ sesuai pesanan. Di tengah kondisi bangsa yang morat-marit, isu penghematan di setiap sektor sedang digalakkan, DPR malah ‘memeras’ pemerintah untuk ikut menyumbang atas ulah Lapindo. Maka pupus-lah agenda penghematan itu.

Korban lumpur Lapindo memang harus dibantu tetapi bukan oleh negara. Lapindo-lah yang harus bertanggungjawab atas semua apa yang telag diperbuat meskipun pengadilan telah memutuskan Lapindo tidak bersalah. Pengadilan juga masih harus dipertanyakan putusannya. Karena hukum tidak selalu berpihak pada rakyat, namun ‘kuasa materi’ mampu mempengaruhi ketokan palu hakim.....

Sementara DPR tak kunjung selesai dengan RUU Pemilu, sibuk lobi sana-sini, rapat yang di ruangan sejuk ber-AC yang nyaman, makan dan minum dengan uang rakyat......... tetapi apa yang terjadi di Makassar...??? Seorang ibu yang sedang hamil dan satu anaknya meninggal karena kelaparan. Mereka tidak makan selama tiga hari. Bahkan ada anaknya yang lain yang harus mendapat perawatan intensif karena mengalami kekurang gizi kronis. Beginikah bangsa yang katanya gemah ripah loh jenawi itu? Kemana hati nurani anggota dewan itu...??? sibukkah mereka urusan legilasi sehingga lupa kalau ada rakyatnya yang belum makan selama tiga hari? jika bukan rakyat, siapa yang akan memilih DPR? Kasihan rakyat....selalu kebagian janji yang mungkin sulit untuk ditepati oleh anggota dewan.

Belum lagi UU Pemilu disahkan, ada wacana untuk me-judicial review UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. DPD menegaskan bahwa UU Pemilu yang rencananya akan disahkan Senin (3/3) menyisakan beberapa persoalan yuridis terkait mekanisme pencalonan anggota DPD. Ini permainan apalagi ?? DPR yang tidak ‘becus’ buat UU atau memang ada ‘permainan’ dibalik wacana itu. Lagi-lagi rakyat akan disuguhi game-game politik yang tentunya tidak sedikit memakan anggaran negara.

Masih seputar ulah DPR, menjelang seleksi hakim konstitusi, DPR bertindak diskriminatif terhadap dua calon hakim yang saat ini sedang menjabat di MK, yaitu Jimly Asshiddiqie dan Harjono. Dua calon ini masuk bursa pemilihan hakim konsitusi tanpa melalui proses seleksi sebagaimana calon-calon lainnya. Alasan DPR bahwa Jimly dan Harjono adalah hakim yang sedang menjabat dan tidak perlu lagi diseleksi karena sudah teruji dan punya kinerja baik selama menjabat.

Sungguh alasan tersebut sangat melecehkan prinsip transparansi dan akuntabilitas proses seleksi hakim MK. Dalam Pasal 19 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “ Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. “
Jika sudah jelas aturannya mengapa DPR bersikap demikian ??? Apa DPR tidak berfikir lagi bahwa kebijakannya sudah bertentangan peraturan perundang-udangan yang berlaku ??. Selain itu, aroma politis menyengat dibalik perbedaan pola seleksi hakim MK. Karena proses seleksi MK sudah jelas aturannya. Terkait dengan usulan DPR untuk mencalonkan Jimly dalam pemilihan bursa hakim konsitusi, sebaiknya perlu ditinjau lagi UU MK Pasal 22 menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya”. Sedangkan Jimly sudah dua kali menjabat sebagai hakim konstitusi. Lalu mengapa Jimly masih terus diusulkan dalam pencalonan hakim konstitusi ???. Sekali lagi ini merupakan inkonsistensi terhadap peraturan hukum dan tidak mematuhi aturan hukum yang ada. Dalam konteks ini, kita patut bertanya apa DPR memang tidak tahu aturan hukum atau pura-pura tidak tahu ???

Tidak jauh berbeda dengan seleksi hakim MK, DPR juga dengan tegas menolak tiga calon gubernur Bank Indonesia (BI) yang diusulkan Presiden. Meskipun dalam aturan BI, Presiden dapat mengajukan nama calon gubernur BI namun DPR berpandangan bahwa keputusan akhir tetap ada di tangan DPR. Sebuah trik politik yang picik di mana anggota dewan itu memanfaatkan aturan hukum sebagai tameng demi ‘kepentingan’ mereka yang lebih banyak.

Jika menyangkut urusan rakyat, respon DPR cukup rendah. Paling-paling cuma interpelasi yang sangat tidak mensejahterakan rakyat. Rakyat tidak butuh interpelasi dagelan anggota dewan, yang mereka butuhkan adalah bagaimana minyak goreng, beras, tepung, kedelai, biaya pendidikan, biaya kesehatan dapat dijangkau oleh semua kalangan (murah). Rakyat tidak minta laptop, rumah dinas, mobil dinas, tunjangan komunikasi, tetapi kesejahteraan. Coba lihat bagaimana tingkah anggota dewan saat meminta laptop, kenaikan tunjangan, perbaikan rumah dinas, bahkan gedung DPR Senayan minta direnovasi. Semua itu tidak ada hubungannya dengan kesejateraan rakyat. Anggota Dewan sudah mendapat segalanya. Fasilitas terjamin, segala tunjangan diberikan, apa itu masih kurang...???. Yang lebih menyakitkan pada saat rumah dinas DPR direnovasi mereka masih diberi uang sewa sebesar 30 juta. Sementara korban gempa di Bantul, Yogakarta hingga saat ini masih ada yang belum mendapat bantuan dan tetap bertahan digubuk-gubuk bambu.......seharusnya anggota dewan itu sadar diri bahwa rakyatnya masih banyak yang miskin, tidak makan sampai mati, pendidikan masih belum merata. Kedepan setiap anggota dewan harus belajar mengedepankan hati nurani dibandingkan naluri politik dan kepentingan partainya.

Kita berharap DPR baik di pusat maupun daerah tidak melulu memanfaatkan rakyat untuk kepentingan politiknya. Jabatan yang anggota dewan sandang saat ini merupakan tanggungjawab moral dan spritual yang kelak harus dipertanggungjawab baik di hadapan manusia maupun Sang Khaliq. Bagi kita sebagai rakyat tidak boleh diam. Harus terus memantau dan mengkritisi setiap kebijakan anggota DPR. Adalah kewajiban sesama umat manusia untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Jangan biarkan anggota dewan yang terhormat itu menjadi tidak terhormat karena kebijakan dan sikapnya yang tidak merakyat. Semoga anggota dewan tetap terhormat dan punya nurani ! [red]



selengkapnya.....

Adakah “the third way” Dalam Pemikiran Islam ?

Judul : Jalan Ketiga Pemikiran Islam, mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme
Penulis : Moh. Shofan
Penerbit : Ircisod dan UMG Press
Tahun : 2006
Tebal : 412 hlm

Terma jalan ketiga atau the third way memang lekat dengan sosok Anthony Gidden. Jalan ketiga lahir untuk mengatasi ketidakberdayaan Sosialisme dan kebobrokan Kapitalisme. Dimana Sosialisme dan Kapitalisme harus dilampaui dengan ideologi alternatif yang lebih sejuk dan segar dalam frame politik dunia yang memanusiakan manusia. Berbeda dengan pandangan tersebut, jalan ketiga dalam buku ini sama sekali tidak mengulas tentang Sosialisme atau Kapitalisme melainkan Tradisionalisme dan Liberalisme.
Apa yang coba dikupas dalam buku ini merupakan kajian atas perjalanan sejarah akar-akar tradisionalisme dan liberalisme dalam diskursus Islam. Selanjutnya mencari alternatif kemungkinan yang bisa dijadikan “jalan tengah” atau dalam buku tersebut penulis menyebutnya sebagai “jalan ketiga” dari dua arus pemikiran Islam yang berkembang. Meski dalam realitanya istilah tradisionalisme dan liberalisme masih menyisakan banyak problem.

Bahwa tradisionalisme akan selalu berhadapan dengan liberalisme. Mengharap tradisionalisme sebagai solusi adalah mimpi, sebagaimana mengharap liberalisme sebagai sesuatu yang tunggal merupakan hal yang tidak realistis. Pergulatan dan pergumulan antara tradisionalisme dan liberalisme mempunyai makna tersendiri bagi dinamika pemikiran Islam. Jalan ketiga dalam pemikiran Islam merupakan tawaran yang mungkin akan dapat menjembatani antara dogmatisme-tradisional yang cenderung menawarkan Islam dalam pengertiannya yang rigid dan liberalisme Islam yang justru secara berlebihan membongkar nilai-nilai tradisi yang dianggap sebagai penghambat kemajuan.

Yang selanjutnya menjadi pertanyaan, dapatkah kedua hal tersebut dijembatani? Mampukah kritik epistemologis memberikan pemahaman yang konstruktif-transformatif terhadap kedua tema tersebut ? Untuk menjawab hal tersebut perlu ditinjau ulang mengenai konsepsi jalan ketiga untuk kemudian menjadi mediator dari tradisionalisme dan liberalisme.

Pandangan penulis yang menyatakan bahwa istilah tradisionalisme dan liberalisme dalam diskursus adalah tidak lebih dari nama sebuah ‘ide tentang nalar’, nama dari subyek yang disebut ‘Islam Tradisional’ dan ‘Islam Liberal’ tidak lebih dari sekedar prasangka-prasangka epistimologis yang perlu dikaji lebih jauh dan mendalam.

Buku yang diterdiri dari 11 pokok bahasan ini diawali dengan kajian atas Islam Liberal baik dalam konteks serta dalam penafsirannya. Pada bagian awal inilah M. Shofan juga sempat mengutip catatan harian Ahmad Wahid (pergolakan pemikiran Islam) yang menurutnya merupakan bagian dari bagaimana menafsirkan Islam (al-Qur’an).
Pada bagian selanjutnya diulas juga mengenai Pluralisme, Fundamentalisme Islam, Hermeneutika, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Isu Gender dalam tafsir Al-Qur’an, Ilmu Sosial Profetik dan kemudian ditutup dengan bahasan mengenai jalan ketiga pemikiran Islam.

Terkait buku ini ada satu pernyataan M. Abid Al-Jabiri tentang tradisi. Al-Jabiri mengatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat. Tradisi adalah titik temu antara masa lalu dan masa kini. Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita. Jadi dalam pandangan al-Jabiri, semunya adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di tengah kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa lalu. Persoalannya adalah bagaimana kemudian membaca tradisi itu agar bisa relevan dengan masa kini.

Lepas dari itu semua, kontektualisasi dari perbebatan mengenai tradisionalisme dan liberalisme akan senantiasa mengemuka meskipun itu bukanlah hal yang baru. Setidaknya buku ini hadir untuk menyajikan kajian pemikiran Islam kontemporer dengan angle yang berbeda. Karena bagaimanapun juga pemikiran dapat dilihat dari berbagai ragam versi dan sudut pandang.



selengkapnya.....

Rapimcab II Badko digelar di Wonosobo


Wonosobo (inbagteng cyber media)
Pada tanggal 17 Februari 2008 lalu, Himpunan Mahasiwa Islam se-Inbagteng mengadakan agenda Rapimcab (Rapat Pimpinan Cabang) yang bertempat di wonosobo tepatnya di Taman Makam Pahlawan. Rapincab ini hanya dihadiri oleh beberapa cabang seperti Cabang Yogyakarta, Cabang Purwokerto, Cabang Purworejo, Cabang Sleman, dan Cabang Wonosobo. Dan beberapa cabang lain seperti Cabang Purwokerto, Cabang Pontianak, Cabang Malang, Cabang Surabaya, Cabang Jombang, dan Cabang Jepara tidak bisa hadir dalam agenda ini. Walaupun hanya dihadiri oleh lima cabang saja tetapi tidak mengurangi ghirah teman-teman dalam menggulirkan perjuangan dan agenda bisa terlaksana dengan lancar.
Ada beberapa hal yang diagendakan dalam rapincab tersebut, diantaranya adalah laporan kondisi internal dan eksternal masing-masing cabang dan sharing cabang-cabang berkenaan dengan akan diadakannya Pleno II PB HMI di semarang yang rencana akan dilaksanakan pada akhir maret atau awal april.

Dari pembahasan kondisi internal dan eksternal HMI saat ini khususnya di wilayah inbagteng, nampaknya permasalahan menurunnya kuantitas maupun kualitas kader hampir terjadi di semua cabang. Problem common issue yang diusung HMI juga mendapat perhatian dalam Rapincab lalu. Kemudian, muncul gagasan dari beberapa cabang yang hadir untuk membentuk satu aliansi ditingkatan HMI Inbagteng – yang diharapkan ini akan menjembatani terhadap permasalahan gerakan eksternal HMI.

Pleno II PB HMI yang akan diselenggarakan di semarang juga mendapat respon yang beragam dari cabang-cabang baik masalah konstitusi maupun grand tema PB HMI saat ini.
Rapat Pimpinan Cabang (Rapincab) ke III ini diharapkan menjadi forum pembahasan tindak lanjut dari Rapincab sebelumnya yang solutif terhadap permasalahan yang ada. Paling tidak ada beberapa hal yang diagendakan dalam forum. (red)



selengkapnya.....

HIMBAUAN PB HMI UNTUK MELAKUKAN AKSI
KEPRIHATINAN

Kepada Yang Kami Hormati,
Pengurus HMI Cabang se- Indonesia

Di
TEMPAT
Guna merespons perkembangan situasi nasional yang berkait dengan kematian Presiden RI ke-2, Soeharto, maka kami menyerukan kepada pengurus HMI cabang untuk melakukan aksi keprihatinan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 5 Februari 2008 (bertepatan dengan Milad HMI), dengan mengusung grand isyu “Soeharto Wafat ; Kuburkan Soehartoisme”.
Aksi ini kiranya amat penting untuk dilakukan, mengingat HMI di samping menjadi bagian dari korban kezaliman rezim Soeharto, juga sebagai bentuk antisipasi dan penolakan terhadap gejala bangkitnya Soehartoisme.
Aksi ini kiranya amat penting untuk dilakukan, mengingat HMI di samping menjadi bagian dari korban kezaliman rezim Soeharto, juga sebagai bentuk antisipasi dan penolakan terhadap gejala bangkitnya Soehartoisme.
Demikian himbauan ini kami buat, atas kesediaan dan partisipasi saudara (i) kami ucapkan terima kasih.

Billahittaufiq wal hidayah.
Wassalamu 'alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 20 Muharram 1429 H
29 Januari 2008 M

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENGURUS BESAR

SYAHRUL EFENDI DASOPANG
KETUA UMUM

ITHO MURTADHA
SEKRETARIS JENDERAL

Tembusan :
Pengurus Badko HMI se-Indonesia
Arsip PB HMI


PRESS RELEASE

Soeharto Wafat ; Kuburkan Soehartoisme
Sehubungan dengan perkembangan situasi nasional akibat peristiwa meninggalnya Soeharto, kami dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO), menilai telah terjadi beberapa masalah yang serius :

Peristiwa meninggalnya Soeharto telah berubah menjadi kampanye pembalikan opini terhadap image rezim Orde Baru yang busuk.
Momen meninggalnya Soeharto telah dengan cerdik dimanfaatkan oleh pengikut-pengikut Soeharto untuk membangkitkan Soehartoisme. Soehartoisme kami pandang merupakan paham tata pemerintahan yang mengandalkan otoritarianisme, militerisme, dan KKN yang telah terbukti membangkrutkan bangsa dan negara.
Kebijakan pemerintah SBY-JK yang memberikan penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap Soeharto berupa hari berkabung nasional selama 7 hari membuktikan bahwa rezim SBY-JK sama sekali tidak mengindahkan spirit reformasi yang diperjuangkan dengan nyawa dan darah mahasiswa. Sebaliknya, kebijakan ini justru membuktikan bahwa rezim SBY-JK adalah bagian yang melekat dengan spirit Orde Baru.
Kematian Soeharto tanpa putusan hukum yang tetap telah membuyarkan harapan tentang tegaknya kepastian hukum di negara ini. Dan oleh karena itu, menyangkut perdata Soeharto, kami meminta supaya seluruh kekayaan yayasan-yayasan yang dikelola oleh Soeharto dan kroninya segera diserahkan kepada negara.
Usulan Partai Golkar untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu hal yang absurd, tidak beralasan, lagi mengabaikan perasaan para korban kejahatan politik dan HAM yang dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Dalam konteks ini, kematian Soeharto dalam kondisi tengah diproses secara hukum atas kasus korupsi dana Yayasan Supersemar telah menggugurkan prasyarat untuk menjadi pahlawan. Amat mustahil seseorang dalam posisi demikian untuk di sebut sebagai pahlawan bangsa. Belum lagi, mengingat sejumlah kasus kejahatan HAM, pemberangusan kebebasan (pers, berpendapat dan berorganisasi) dan perampasan hak-hak ekosob sebagian warga negara yang memang secara faktual terjadi di masa kepemimpinannya.
Kepada seluruh komponen bangsa, kami serukan bahwa membangkitkan Soehartoisme merupakan tindakan yang sesat dan berbahaya, sebaliknya kami serukan supaya mari menyongsong masa depan dengan mengubur Soehartoisme. Masa depan ada di tangan rakyat, bukan di tangan elit-elit pengikut Soeharto.
Demikian penyampaian ini kami buat, mudah-mudahan dapat menjadi panduan bagi kita semua untuk menata masa depan Indonesia yang adil dan bermartabat.

Billahittaufiq wal hidayah.
Wassalamu 'alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 20 Muharram 1429 H
29 Januari 2008 M

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENGURUS BESAR

SYAHRUL EFENDI DASOPANG
KETUA UMUM

ITHO MURTADHA
SEKRETARIS JENDERAL




selengkapnya.....

Badko Inbagteng Adakan Rapat Kerja

Purwokerto, (inbagteng cyber media)
Untuk memperlancar kinerja Badko Inbagteng, hari Jum’at (4/1) pengurus badko mengadakan raker di Purwokerto yang dihadiri oleh beberapa pengurus bidang. Rapat tersebut merupakan follow up dari pertemuan pertama badko di Wonosobo usai pelantikan November lalu.

Sebelum masuk ke pembahasan bidang per bidang, ketua umum badko menyampaikan beberapa hal terkait apa target yang hendak diraih badko dalam dua tahun kedepan. Moh. Syafi’ie menegaskan bahwa Badko harus membuat satu atau beberapa program yang dapat menjadi icon bagi badko. “Badko harus punya karya nyata,” ungkap Syafi’ie dalam sambutannya.

Pemaparan Bidang
Eksplorasi per bidang di mulai dari bidang penelitian dan perkaderan yang diwakili oleh Wahid Hasyim. Agenda terdekat bidang ini adalah akan melakukan riset terkait sejarah masing-masing cabang di lingkungan inbagteng yang akan dilanjutkan dengan dokumentasi dari hasil riset tersebut. Junaidi menambahkan perlunya melakukan survei terhadap kondisi cabang dikarenakan minimnya input perkaderan dan serta kemunduran beberapa cabang, dari data survei itulah dapat dijadikan pijakan yang harus ditindaklanjuti secara serius. Terkait perkaderan, Syafi’ie menyampaikan tawaran dari KPN untuk melaksanakan Advance Training (Latihan Kader III) di wilayah Inbangteng.

Sementara itu Haryanto Azizi, mempertanyakan soal simposium sejarah yang belum jelas hasilnya. Lebih lanjut Anto mengusulkan agar Badko Inbagteng mengambil langkah strategis terkait simposium tersebut. Senada dengan Anto, Wahid juga menyampaikan agar badko inbagteng mengangkat kembali masalah simposium sejarah yang belum membuahkan hasil sampai sekarang. Badko dapat melakukan sharing terlebih dulu dengan tim simposium sejarah serta berdialog dengan PB mengenai keberlangsungan tim tersebut.

Pemaparan dilanjutkan Nur Ali dari bidang pembinaan dan pengembangan yang menegaskan bahwa dalam waktu dekat akan mendirikan cabang baru, yaitu cabang Sragen. Pendirian cabang rencananya akan diawali dengan membentuk tim dengan melibatkan beberapa alumni HMI yang berdomisili di daerah Sragen dan sekitarnya untuk memback-up agenda tersebut. Di samping itu, agenda pendampingan cabang akan terus ditingkatkan terutama di daerah bagian timur seperti cabang Surabaya, Malang, Jombang dan Jepara.

Badko Cyber Media
Selanjutnya bidang terakhir, kajian dan media juga menyampaikan sederet program kerja diantaranya adalah badko cyber media, penerbitan jurnal dan koran dinding. Mengenai penerbitan koran Ibnu Muzab Ary menjelaskan bahwa koran tersebut dapat menjadi media sangat strategis dalam meningkatkan eksistensi dan mendorong kader untuk terus berkarya. Konsep badko inbagteng cyber media dipaparkan M Mahrus Ali lebih menitikberatkan pada upaya untuk lebih memfamiliar-kan dunia cyber pada kader-kader HMI. Dengan optimalisasi situs badko inbangteng, e-mail serta mailing list dapat menjadi media alternatif ditengah pesatnya persaingan media, hal ini juga akan menghapus kendala jarak, ruang dan waktu, karena informasi tentang badko dapat diakses kapanpun dan dari manapun. Ali juga menambahkan bahwa contain (materi) situs badko lebih pada informasi atau hal-hal lain yang memang dibutuhkan Cabang. Informasi yang sudah up da te saat ini adalah agenda-agenda Cabang se-inbagteng, alamat-alamat Cabang, tema PB, Badko, serta beberapa situs HMI lainnya. Sedangkan untuk jurnal akan lebih diarahkan pada konteks pemikiran dan perlawanan seperti persoalan neolib, penindasan, politik hukum dan beberapa wacana kontemporer lainnya. [red]


selengkapnya.....

Otoritarianisme Orde Baru
(Mengenang 40 hari Kematian Soeharto)

Moh. Syafi`ie*

Malam ini Rabu, 5 Maret 2008 saya menyaksikan liputan media televisi terkait doa bersama 40 hari kematian Presiden Soeharto, bahkan saya mendengarkan pidato Dr. Quraish Shihab di sela-sela masyarakat yang berkerumun memadati rumah keluarga Cendana. Sama halnya pada 40 hari yang lalu sewaktu Presiden Soeharto meninggal, ratusan masyarakat juga berkumpul memadati rumah besar keluarga Cendana, termasuk di tempat pemakamannya di Solo.

Ketika menyaksikan pemberitaan dari kemarin sampai malam ini dengan begitu banyak masyarakat yang berkumpul, dan begitu kencangnya media meliputnya, saya terus berfikir, ada apa dengan Soeharto? Dan juga apa dengan masyarakat? Sebagai seorang muslim dan telah membaca beberapa literatur terkait kepemimpinan Soeharto, dengan hati yang gelisah saya turut juga membacakan doa untuk Soeharto, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, amien.
Tanpa maksud menghilangkan penghormatan terhadap meninggalnya Soeharto, penulis bermaksud mengungkapkan beberapa hal terkait kepemimpinannya selama rezim orde baru dan sekaligus refleksi untuk Indonesia kekinian.

Pertama, pergantian kepemimpinan dari Soekarno kepada Soeharto pada tahun 1966 sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pergolakan politik yang diwarnai oleh berbagai tindakan kekerasan tahun 1965-1966. Kekacaun politik itulah maka awal kepempimpinannya Soeharto agenda pertamanya ialah konsolidasi aparat keamanan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dari yang dianggapnya akan mengacaukan wilayah Indonesia. Gaya kepemimpinan di era Seohartopun berubah, jargon-jargon revolusi dan perlawanan terhadap imprealisme oleh Soekarno diganti dengan jargon dan janji-janji untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, sekaligus berjanji akan melaksanakan pembangunan dalam kepemimpinannya. Di awal periondenya, begitu banyak apresiasi dari tokoh-tokoh publik utamanya mereka yang kecewa terhadap sikap Soekarno di akhir kepemimpinannya yang berubah otoriter.

Kedua, kondisi menggembirakan di awal orde baru ini tidak berlangsung lama. Semenjak diadakannya pemilihan umum pada tahun 1971, politik Indonesia bergerak menuju peta pemerintahan yang berbeda dan penuh pertanyaan. Hal ini dapat dilihat dari kemenangan partai “Golkar” yang sangat kuat setelah terjadinya perayasaan politik. Dimana Golkar menjadi sangat kuat setelah mendapatkan dukungan penuh dari militer, birokrasi sipil, teknokrat dan kelompok fungsional. Perihal inilah yang menjadi mula dari matinya demokrasi di Indonesia, karena Golkar selamanya pasti menang dalam pemilihan umum dan posisi legislatif baik di daerah ataupun di pusat dipastikan mengabdi kepada Golkar dan melegitimasi terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, mirip seperti paduan suara dan tidak ada check and balance.

Ketiga, yang paling terkenal juga dalam era kepempimpinan Soeharto ialah dia dikenal dengan bapak pembangunan. Sebuah analogi untuk mengatakan bahwa atas nama pembangunan semua harus direlakan dan dilaksanakan, sehingga pada akhirnya jargon pembangunan ini lebih populer disebut sebagai “Asal Bapak Senang”. Karena atas nama pembangunan tadi kebohongan publik dilakukan, terbukti telah dikuasainya aset-aset negara oleh keluarga Cendana, Para punggawanya dan oleh teman bisnisnya baik di tingkat nasional ataupun di level internasional.

Konfigurasi Politik Orde Baru Yang Menunggal

Konfigurasi politik orde baru secara umum bersifat tunggal (homogen) dan monolitik. Menurut teori pembagian entitas dalam bentuk-bentuk negara modern sebagaimana diungkapakan Alfred Stepan, karakter yang menunggal dan monolitik tersebut terjadi pada level negara (state) dan masyarakat (society).

Pada level negara terlihat dari relatif solidnya semua unsur yang ada di dalam entitas negara, baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Sedangkan pada level masyarakat dengan karakter negara yang monolitik dan menunggal dapat dipastikan negara menjadi pengendali dan masyarakat dapat ditundukkan, diarahkan dan dikendalikan secara sistemik. Sehingga kondisi politik ini pada tahap berikutnya mendorong atas bentuk dan format ketunggalan dan monolitik dalam masyarakat, baik dalam kerangka hubungan masyarakat (society) dengan masyarakat (society), ataupun hubungan masyarakat (society) dengan negara (state).

Konfigurasi politik orde baru yang menunggal dan monolitik itu terbangun lewat soliditas elemen-elemen negara baik vertikal ataupun horizontal. Secara horizontal negara terkonsolidasi dengan kuat oleh dukungan militer, birokrasi dan partai Golkar. Sedangkan secara vertikal, negara melakukan perekayasaan secara sistemik dengan membangun sentralisasi dan dominasi pemerintah pusat dalam kerangka hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Konteks ini mempertegas bahwa negara di era rezim orde baru merupakan personifikasi dari militer (angkatan darat), birokrasi, Golkar dan pemerintahan pusat (sentralistik).

Pertama, walaupun friksi dan kesenjangan antar perwira sudah muncul di era orde baru, namun selama orde baru keberadaan militer telah menjadi sentrum dari kekuasaan orde baru. dimotori oleh angkatan darat, dominasi militer dalam wilayah politik menyandarkan pada konsep dwifungsi ABRI. Hal ini merupakaan penjelmaan dari dominasi militer diwujudkan dengan hadirnya struktur militer yang paralel dengan struktur pemerintahan sipil, kerangka ini merupakan perekayasaan untuk pengendalian dan penundukan kepada masyarakat. Selain itu, dalam kancah percaturan politik, personel militer mendapatkan tempat dengan melakukan penyebaran di semua institusi kekuasaan yang ada seperti lembaga perwakilan rakyat (legislatif), birokrasi dan partai politik. Mikanisme pengangkatan militer untuk lembaga perwakilan rakyat telah terjamin keberadaannya, sedangkan dalam birokrasi nampak personel militer dalam jabatan-jabatan strategis seperti Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri dan lainnya, hal yang sama juga terjadi dalam tubuh partai Golkar.

Kedua, Politisasi juga terjadi dalam tubuh birokrasi. Birokrasi dijadikan istrumen penting kekuasaan Soeharto sehingga melegitimasi hegemoni rezim Seoharto dan tak terkalahkan selama pemerintahannya. Kerangka kerjanya minimal dapat dilihat dalam dua hal, pertama, kebijaksanaan sentralisasi manajemen birokrasi seperti jenjang karir, gaji, pengangkatan, pemberhentian dan lain sebagainya. Pada akhirnya kebijakan ini mengantarkan pada homogennya struktur birokrasi baik dari pusat sampai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Kedua, kebijaksanaan monoloyalitas tunggal, dimana semua birokrat harus berafiliasi dengan partai Golkar dan tidak boleh berafiliasi dengan partai lainnya. Hal ini menyebabkan menyatunya suara birokrasi untuk Golkar, dan pastinya Soeharto pasti menang dalam pemilihan umum.

Ketiga, kekuatan politik orde baru juga disokong oleh partai Golkar, dan merupakan satu-satunya partai politik yang hegemonik ketimbang partai yang lain PPP dan PDI setelah pemfusian. Keberadaan Golkar dengan kekuatan militer yang penuh dan birokrasi yang taat, tidak pernah terkalahkan oleh partai-partai yang lain, bahkan Yusril Ihza Mahendra pernah mengungkapkan dalam sebuah tulisannya bahwa yang namanya Golkar tidak akan pernah terkalahkan seumur hidup selama sistem kepartaian masih seperti orde baru. Hal ini menyebabkan kemandulan suara-suara kritis dari legislatif terhadap eksekutif, bahkan lembaga yudikatif-pun menjadi lembaga yang tidak independen karena keputusannya mengabdi dan membenarkan prilaku orde baru. Dipastikan mereka semua mendukung semua kebijakan-kebijakan orde baru walaupun tidak bersesuaian dengan keadilan, kemanusiaan dan kebenaran.

Keempat, Hegemoni orde baru juga telihat jelas dari sentralisasi kebijakan di Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa pada tahun 1950-an dan 1960-an membulatkan tekad orde baru untuk menggunakan asas sentralisasi dalam negara. Konsepsi ini pada dasarnya disandarkan pada pengamanan dan ketertiban sehingga di daerah-daerah kerapkali terjadi pemaksaan, kekerasan dan intimidasi, semisal di Aceh, Papua dan daerah-daerah lainnya.

Untuk menunjukkan hegemoni rezim Soeharto baik vertikal ataupun horisontal dapat dilihat dari perwujudan lembaga Muspida yang anggotanya terdiri dari pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, Muspika yang anggotanya terdiri dari Camat, Koramil dan Komando Sektor, sedangkan di Desa terdiri dari LMD, LKMD dan Babinsa dari militer. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut sangat berfungsi pada politik pengendalian, penundukan, serta rekayasa politik dan kebijakan selama rezim orde baru. Secara horisontal lembaga-lembaga tersebut diisi oleh militer, kepolisian dan kejaksaan. Sendangkan secara vertikal lembaga-lembaga itu diisi oleh personal Gubernur dan Walikota/Bupati.

Dalam konteks masyarakat sipil fenomena sentralistik, tunggal dan monolitik sangat berpengaruh pada tertib, ketundukan dan kekerasan sosial, baik hubungannya masyarakat (society) dengan masyarakat (society) ataupun hubungannya masyarakat (society) dengan negara (state). Hal ini merupakan akibat dari telah bekerjanya perekayasaan politik Soeharto dalam pengendalian dan penundukan negara kepada masyarakat, baik lewat institusi-institusi tersebut ataupun pada level wacana (discourse).

Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Mas`oed bahwa pada dataran institusi mikanisme pengendalian dan penundukan oleh negara kepada masyarakat diwujudkan dengan mikanisme korporatisme. Dimana negara pada rezim orde baru menggambarkan hubungan masyarakat dengan masyarakat yang termobilisasi, terkontrol, tertib dan sikap politik yang menunggal. Sedangkan pada wilayah wacana juga terjadi pengendalian, kontroling dan pengarahan pada wacana tunggal dengan alasan-alasan SARA, harmoni sosial, integrasi bangsa, ketertiban, pembangunan dan lain sebagainya, bahkan seringkali menurut Anderson memanfaatkan instrumen budaya.

Akibatnya ialah Negara Penuh Kekerasan dan KKN

Prilaku politik rekayasa rezim Soeharto pada akhirnya menciderai terhadap tatanan sosial kebangsaan dan kenegaraan. Dan mengantarkannya pada sebutan pemerintahan dan rezim yang tiranik, otoriter, manipulatif dan anti hak asasi manusia (HAM). Hal ini terbukti dari beberapa hal, meliputi :

Pertama, negara menjelma menjadi kekuasaan teror (state terorisme). Negara telah terbukti melakukan penundukan secara paksa dan represif yang bersifat fisik, dan tentunya juga melakukan kekerasan terhadap perasaan yang nota bene menghendaki kemerdekaan dan kebebasan ekspresi. Di antara kekerasan yang dilakukan rezim Soeharto ialah pembunuhan besar-besaran yang dituduh PKI tahun 1965, penembakan Misterius (Petrus), Haur Koneng tahun 1993, Marsinah, Penculikan aktifis, kasus Waduk Kedungombo, Nipah Sampang Madura, pemberedelan terhadap beberapa majalah semisal Tempo, majalah Abadi, majalah Indonesia Raya, majalah Pedoman, dan masih banyak majalah lainnya, kasus DOM di Aceh, kasus Tanjung Priok, Kasus Komando Jihad, Kasus Timor-Timur, tragedi 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI di Jalan Dipenegoro, Tragedi Makasar Berdarah, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Trasakti, kasus Semanggi I&II dan masih sangat banyak lainnya.

Selain itu, muncul produk kebijakan dan perundang-undangan yang anti kemanusiaan, semisal, kebijakan NKK/BKK tahun 1978, Pembekuan Kegiatan Kemahasiswaan oleh Komkamtib 1978, UU No 8 tahun 1985 tentang Asas Tunggal, UU Subversi, Instruksi Presiden No 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina, Kep. Presidium No 127/U/Kep/12/1966 mengenai Ganti nama bagi WNI memakai nama Cina, UU No 11/PNPS/1963 tentang Menentang Pemerintah dan Dasar Negara Pancasila, dan masih banyak produk hukum dan kebijakan lainnya yang sama sekali menciderai kemanusiaan, keadilan dan keadaban.

Kedua, negara menjelma menjadi korporasi (state corporatisme). Dalam konteks ini negara tidak hanya melakukan penundukan lewat kekerasan fisik sebagaimana di atas, tetapi juga melalui jejaring institusi yang tujuannya memperkuat, mengamankan dan mengokohkan negara dalam mengeksekusi kebijakan dan hasrat politiknya. Pada tingkat nasional korporasi negara terwujud melalui PWI untuk kalangan jurnalis, SPSI untuk kalangan pekerja buruh Indonesia, MUI untuk kalangan Ulama`, KNPI untuk pemuda, IDI untuk kalangan Dokter, KORPRI untuk kalangan Pegawai Negeri, PGI untuk Kristen, KWI untuk Katolik, PHDI untuk Hindu, dan masih banyak lainnya. Sedangkan pada tingkat lokal muncul organisasi korporasi semisal Karang Taruna, PKK, Kolampencapir, dan lainnya.

Ketiga, negara menjelma menjadi penguasa opini publik yang dikenal dengan state discours. Untuk memperkokoh dan mengamankan kekuasaannya negara di era rezim Soeharto mempraktekkan strategi penguasaan opini publik dengan cara memobilisasi instrumen opini dan sikap publik. Cara ini digunakan untuk membunuh dan mematikan demonstrasi, pengkritik, oposan dan para pihak yang dianggap menentang keputusan dan kebijakan pemerintah. Penguasaan ini terlihat dari penggunaan istilah demokrasi pancasila, cap ekstrim kanan, ekstrim kiri, anti pancasila, anti pembangunan, prilaku subversi dan istilah-istilah lainnya.

Salah satu instrumen yang cukup massif ialah pelaksanaan dan penerapan P4 dalam pendidikan dan birokrasi. Dimana P4 ini dijadikan persyaratan untuk keluar negeri, daftar PNS, dan lain sebagainya. Termasuk untuk penguatan-penguatan lembaga penguasa opini publik, pemerintah berupaya membentuk kantong-kantong studi semisal keberadaan lembaga CSIS yang dibentuk oleh Ali Murtopo, seorang Mantan kepala Operasi Khusus (Opsus) dan Mantan ketua BAKIN, melalui lembaga ini kebijakan dan penerapan P4 ditelurkan dan diterapkan dalam ranah publik.

Keempat, negara menjelma menjadi State Clientilisme, dimana dalam konteks ini negara awalnya berusaha melakukan penundukan terhadap pasar. Hal ini diwujudkan dengan upaya negara mendominasi kehidupan perekonomian yang menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi semisal proteksi, subsidi dan lainnya. Namun, pada perkembangannya praktek negara ini menghasilkan pola hubungan patron-client, dimana negara tidak jarang bertindak sebagai patron, sedangkan pengusaha-pengusaha tertentu yang dekat dengan kekuasaan bertindak sebagai client-nya. Pola dari hubungan ini kemudian mendorong terjadinya praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini terlihat dari munculnya pengusaha nasional yang dekat dengan Soeharto bahkan dari keluarganya sendiri, semisal Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan pada level internasional muncul pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan masih banyak lainnya.

Penulis hingga hari ini meyakini penyebab berkuasanya komparador neo liberalisme dalam kebijakan publik Indonesia dan menyebabkan krisis ekonomi sampai hari ini ialah disebabkan kongkalikong dan konspirasi ini. Terutama dengan dilakukannya Letter Of Intens (LOI) dengan IMF yang nota bene lembaga ini selama tiga dekade bersama World Bank menjadi mitra strategis rezim Soeharto. Apalagi penandatanganan LOI ini sesungguhnya merupakan perintah Soeharto untuk meminta bantuan IMF pada tanggal, 8 oktober 1997. Penandatanganannya kemudian dilakukan oleh Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan, dengan IMF dalam sebuah LOI, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah kontrak dan penegasan bahwa IMF akan menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani krisis ekonomi Indonesia yang memuncak tahun 1997. Peristiwa ini menyebakan hutang yang cukup tinggi terhadap IMF dan berakibat pada dipertaruhkannya independesinya Indonesia dalam pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam soal-soal kebijakan perekonomian. Diakui ataupun tidak, IMF bersama kroninya kekinian telah berhasil mendesakkan format, bentuk dan positioning kebijakan struktural Indonesia untuk mendasarkan pada sistem ekonomi politik neo liberalisme.

Sekilas Indonesia Kekinian

Melihat konfigurasi politik orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang monolitik, sentralistik dan militeristik di atas, sedikit banyak bagi kita menjadi peta untuk melihat secara jernih Indonesia kekinian, utamanya perubahan sikap masyarakat dan prilaku politik pemerintah.

Pasca tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998 dan awal era reformasi terlihat secara jelas betapa kekerasan demi kekerasan lahir, seakan kekerasan yang dilakukan oleh negara selama 32 tahun oleh orde baru telah menjelma menjadi prilaku perseorangan masyarakat. Prilaku premanisme, pengeroyokan, menghakimi tanpa landasan hukum yang jelas, serta penjarahan yang tanpa ampun. Demikianlah awal reformasi dimana seakan semuanya menjadi hukum rimba, dan saat inipun masih terjadi dan sangat marak.

Secara teoritik hal ini juga pernah diungkapkan dalam penelitian Hannah Arendt di era rezim otoriter Nazi, Hitler (Jerman) dalam sebuah peristiwa Holocaust, dimana seorang kepala arsitek Eichmann berani menjadi eksekutor pada final solution dalam pembantaian massal terhadap kaum Yahudi. Dalam perspektif yang sama, ideologi negara rezim orde baru yang monolitik, sentralistik dan militeristik selama 32 tahun berpengaruh secara signifikan terhadap semua kejadian, pendekatan dan prilaku masyarakat Indonesia kekinian. Karena eksistensi ideologi tersebut diakui atau tidak, telah merasuk dalam psikologi, kultur dan struktur publik dan masyarakat. Menegaskan bahwa prilaku kekerasan negara orde baru telah berpengaruh secara serius terhadap prilaku kekerasan yang terjadi dalam masyarakat.

Selanjutnya, untuk Indonesia kekinian orde baru telah mewariskan sistem kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, sebutlah semisal kebijakan ekonomi politik neo liberalisme. Penulis sangat menyadari bahwa keterpurukan ekonomi kekinian disebabkan karena rapuhnya sistem perekonomian Indonesia, mengutip pendapat Awalil Rizki sistem perekonomian kita telah terintegrasi dalam sistem kapitalisme global. Apalagi awal kepemimpinan Soeharto, positioning dan kebijakan perekonomian telah diubah, salah satunya terlihat dari penempatan ekonom-ekonom lulusan barat dalam struktur pemerintahan yang menangani urusan-urusan ekonomi.

Di era kepemimpinan SBY-JK kini semakin jelas watak dan ideologi perekomomian kita, bahwa semuanya telah berpijak kepada paradigma, mindset dan ideologi neo liberalisme. Sehingga mata kita selalu terperangah setiap saat dari mulai pencabutan subsidi terhadap kebutuhan publik, menyebabkan kebutuhan publik memahal tinggi, krisis pangan karena kebijakan pangannya impor terus, menyebabkan tempe mahal, beras mahal dan lain sebagainya. Kebijakan ini berlangsung karena secara politik dan struktural kita telah terhegemoni oleh jejaring kapitalisme global. Penulis seringkali sangat miris dengan pernyataan-pernyataan pemegang kebijakan publik sebutlah Jusuf Kalla yang seringkali mempermainkan kemiskinan dan kemelaratan publik dengan tarian poco-poco, disco, antrean nonton film dan lain sebagainya.

Saat ini kita membutuhkan perubahan yang berpihak kepada rakyat dan mengangkat derajat mereka dari keterpurukan dan kemiskinan yang semakin merajalela. Maka di hari yang ke-40 dari meninggalnya Soeharto ini, kita tentunya dapat belajar dan mengingat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dari rezim otoritarian orde baru.

Allahu A`lam Bisshowab

* Ketua HMI Badko Inbagteng 2007-2009



selengkapnya.....

06 Maret 2008

Otoritarianisme Orde Baru
(Mengenang 40 hari Kematian Soeharto)

Moh. Syafi`ie*

Malam ini Rabu, 5 Maret 2008 saya menyaksikan liputan media televisi terkait doa bersama 40 hari kematian Presiden Soeharto, bahkan saya mendengarkan pidato Dr. Quraish Shihab di sela-sela masyarakat yang berkerumun memadati rumah keluarga Cendana. Sama halnya pada 40 hari yang lalu sewaktu Presiden Soeharto meninggal, ratusan masyarakat juga berkumpul memadati rumah besar keluarga Cendana, termasuk di tempat pemakamannya di Solo.

Ketika menyaksikan pemberitaan dari kemarin sampai malam ini dengan begitu banyak masyarakat yang berkumpul, dan begitu kencangnya media meliputnya, saya terus berfikir, ada apa dengan Soeharto? Dan juga apa dengan masyarakat? Sebagai seorang muslim dan telah membaca beberapa literatur terkait kepemimpinan Soeharto, dengan hati yang gelisah saya turut juga membacakan doa untuk Soeharto, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, amien.

Tanpa maksud menghilangkan penghormatan terhadap meninggalnya Soeharto, penulis bermaksud mengungkapkan beberapa hal terkait kepemimpinannya selama rezim orde baru dan sekaligus refleksi untuk Indonesia kekinian.

Pertama, pergantian kepemimpinan dari Soekarno kepada Soeharto pada tahun 1966 sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pergolakan politik yang diwarnai oleh berbagai tindakan kekerasan tahun 1965-1966. Kekacaun politik itulah maka awal kepempimpinannya Soeharto agenda pertamanya ialah konsolidasi aparat keamanan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dari yang dianggapnya akan mengacaukan wilayah Indonesia. Gaya kepemimpinan di era Seohartopun berubah, jargon-jargon revolusi dan perlawanan terhadap imprealisme oleh Soekarno diganti dengan jargon dan janji-janji untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, sekaligus berjanji akan melaksanakan pembangunan dalam kepemimpinannya. Di awal periondenya, begitu banyak apresiasi dari tokoh-tokoh publik utamanya mereka yang kecewa terhadap sikap Soekarno di akhir kepemimpinannya yang berubah otoriter.

Kedua, kondisi menggembirakan di awal orde baru ini tidak berlangsung lama. Semenjak diadakannya pemilihan umum pada tahun 1971, politik Indonesia bergerak menuju peta pemerintahan yang berbeda dan penuh pertanyaan. Hal ini dapat dilihat dari kemenangan partai “Golkar” yang sangat kuat setelah terjadinya perayasaan politik. Dimana Golkar menjadi sangat kuat setelah mendapatkan dukungan penuh dari militer, birokrasi sipil, teknokrat dan kelompok fungsional. Perihal inilah yang menjadi mula dari matinya demokrasi di Indonesia, karena Golkar selamanya pasti menang dalam pemilihan umum dan posisi legislatif baik di daerah ataupun di pusat dipastikan mengabdi kepada Golkar dan melegitimasi terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, mirip seperti paduan suara dan tidak ada check and balance.

Ketiga, yang paling terkenal juga dalam era kepempimpinan Soeharto ialah dia dikenal dengan bapak pembangunan. Sebuah analogi untuk mengatakan bahwa atas nama pembangunan semua harus direlakan dan dilaksanakan, sehingga pada akhirnya jargon pembangunan ini lebih populer disebut sebagai “Asal Bapak Senang”. Karena atas nama pembangunan tadi kebohongan publik dilakukan, terbukti telah dikuasainya aset-aset negara oleh keluarga Cendana, Para punggawanya dan oleh teman bisnisnya baik di tingkat nasional ataupun di level internasional.

Konfigurasi Politik Orde Baru Yang Menunggal

Konfigurasi politik orde baru secara umum bersifat tunggal (homogen) dan monolitik. Menurut teori pembagian entitas dalam bentuk-bentuk negara modern sebagaimana diungkapakan Alfred Stepan, karakter yang menunggal dan monolitik tersebut terjadi pada level negara (state) dan masyarakat (society).

Pada level negara terlihat dari relatif solidnya semua unsur yang ada di dalam entitas negara, baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Sedangkan pada level masyarakat dengan karakter negara yang monolitik dan menunggal dapat dipastikan negara menjadi pengendali dan masyarakat dapat ditundukkan, diarahkan dan dikendalikan secara sistemik. Sehingga kondisi politik ini pada tahap berikutnya mendorong atas bentuk dan format ketunggalan dan monolitik dalam masyarakat, baik dalam kerangka hubungan masyarakat (society) dengan masyarakat (society), ataupun hubungan masyarakat (society) dengan negara (state).

Konfigurasi politik orde baru yang menunggal dan monolitik itu terbangun lewat soliditas elemen-elemen negara baik vertikal ataupun horizontal. Secara horizontal negara terkonsolidasi dengan kuat oleh dukungan militer, birokrasi dan partai Golkar. Sedangkan secara vertikal, negara melakukan perekayasaan secara sistemik dengan membangun sentralisasi dan dominasi pemerintah pusat dalam kerangka hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Konteks ini mempertegas bahwa negara di era rezim orde baru merupakan personifikasi dari militer (angkatan darat), birokrasi, Golkar dan pemerintahan pusat (sentralistik).

Pertama, walaupun friksi dan kesenjangan antar perwira sudah muncul di era orde baru, namun selama orde baru keberadaan militer telah menjadi sentrum dari kekuasaan orde baru. dimotori oleh angkatan darat, dominasi militer dalam wilayah politik menyandarkan pada konsep dwifungsi ABRI. Hal ini merupakaan penjelmaan dari dominasi militer diwujudkan dengan hadirnya struktur militer yang paralel dengan struktur pemerintahan sipil, kerangka ini merupakan perekayasaan untuk pengendalian dan penundukan kepada masyarakat. Selain itu, dalam kancah percaturan politik, personel militer mendapatkan tempat dengan melakukan penyebaran di semua institusi kekuasaan yang ada seperti lembaga perwakilan rakyat (legislatif), birokrasi dan partai politik. Mikanisme pengangkatan militer untuk lembaga perwakilan rakyat telah terjamin keberadaannya, sedangkan dalam birokrasi nampak personel militer dalam jabatan-jabatan strategis seperti Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri dan lainnya, hal yang sama juga terjadi dalam tubuh partai Golkar.

Kedua, Politisasi juga terjadi dalam tubuh birokrasi. Birokrasi dijadikan istrumen penting kekuasaan Soeharto sehingga melegitimasi hegemoni rezim Seoharto dan tak terkalahkan selama pemerintahannya. Kerangka kerjanya minimal dapat dilihat dalam dua hal, pertama, kebijaksanaan sentralisasi manajemen birokrasi seperti jenjang karir, gaji, pengangkatan, pemberhentian dan lain sebagainya. Pada akhirnya kebijakan ini mengantarkan pada homogennya struktur birokrasi baik dari pusat sampai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Kedua, kebijaksanaan monoloyalitas tunggal, dimana semua birokrat harus berafiliasi dengan partai Golkar dan tidak boleh berafiliasi dengan partai lainnya. Hal ini menyebabkan menyatunya suara birokrasi untuk Golkar, dan pastinya Soeharto pasti menang dalam pemilihan umum.

Ketiga, kekuatan politik orde baru juga disokong oleh partai Golkar, dan merupakan satu-satunya partai politik yang hegemonik ketimbang partai yang lain PPP dan PDI setelah pemfusian. Keberadaan Golkar dengan kekuatan militer yang penuh dan birokrasi yang taat, tidak pernah terkalahkan oleh partai-partai yang lain, bahkan Yusril Ihza Mahendra pernah mengungkapkan dalam sebuah tulisannya bahwa yang namanya Golkar tidak akan pernah terkalahkan seumur hidup selama sistem kepartaian masih seperti orde baru. Hal ini menyebabkan kemandulan suara-suara kritis dari legislatif terhadap eksekutif, bahkan lembaga yudikatif-pun menjadi lembaga yang tidak independen karena keputusannya mengabdi dan membenarkan prilaku orde baru. Dipastikan mereka semua mendukung semua kebijakan-kebijakan orde baru walaupun tidak bersesuaian dengan keadilan, kemanusiaan dan kebenaran.

Keempat, Hegemoni orde baru juga telihat jelas dari sentralisasi kebijakan di Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa pada tahun 1950-an dan 1960-an membulatkan tekad orde baru untuk menggunakan asas sentralisasi dalam negara. Konsepsi ini pada dasarnya disandarkan pada pengamanan dan ketertiban sehingga di daerah-daerah kerapkali terjadi pemaksaan, kekerasan dan intimidasi, semisal di Aceh, Papua dan daerah-daerah lainnya.

Untuk menunjukkan hegemoni rezim Soeharto baik vertikal ataupun horisontal dapat dilihat dari perwujudan lembaga Muspida yang anggotanya terdiri dari pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, Muspika yang anggotanya terdiri dari Camat, Koramil dan Komando Sektor, sedangkan di Desa terdiri dari LMD, LKMD dan Babinsa dari militer. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut sangat berfungsi pada politik pengendalian, penundukan, serta rekayasa politik dan kebijakan selama rezim orde baru. Secara horisontal lembaga-lembaga tersebut diisi oleh militer, kepolisian dan kejaksaan. Sendangkan secara vertikal lembaga-lembaga itu diisi oleh personal Gubernur dan Walikota/Bupati.

Dalam konteks masyarakat sipil fenomena sentralistik, tunggal dan monolitik sangat berpengaruh pada tertib, ketundukan dan kekerasan sosial, baik hubungannya masyarakat (society) dengan masyarakat (society) ataupun hubungannya masyarakat (society) dengan negara (state). Hal ini merupakan akibat dari telah bekerjanya perekayasaan politik Soeharto dalam pengendalian dan penundukan negara kepada masyarakat, baik lewat institusi-institusi tersebut ataupun pada level wacana (discourse).

Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Mas`oed bahwa pada dataran institusi mikanisme pengendalian dan penundukan oleh negara kepada masyarakat diwujudkan dengan mikanisme korporatisme. Dimana negara pada rezim orde baru menggambarkan hubungan masyarakat dengan masyarakat yang termobilisasi, terkontrol, tertib dan sikap politik yang menunggal. Sedangkan pada wilayah wacana juga terjadi pengendalian, kontroling dan pengarahan pada wacana tunggal dengan alasan-alasan SARA, harmoni sosial, integrasi bangsa, ketertiban, pembangunan dan lain sebagainya, bahkan seringkali menurut Anderson memanfaatkan instrumen budaya.

Akibatnya ialah Negara Penuh Kekerasan dan KKN

Prilaku politik rekayasa rezim Soeharto pada akhirnya menciderai terhadap tatanan sosial kebangsaan dan kenegaraan. Dan mengantarkannya pada sebutan pemerintahan dan rezim yang tiranik, otoriter, manipulatif dan anti hak asasi manusia (HAM). Hal ini terbukti dari beberapa hal, meliputi :

Pertama, negara menjelma menjadi kekuasaan teror (state terorisme). Negara telah terbukti melakukan penundukan secara paksa dan represif yang bersifat fisik, dan tentunya juga melakukan kekerasan terhadap perasaan yang nota bene menghendaki kemerdekaan dan kebebasan ekspresi. Di antara kekerasan yang dilakukan rezim Soeharto ialah pembunuhan besar-besaran yang dituduh PKI tahun 1965, penembakan Misterius (Petrus), Haur Koneng tahun 1993, Marsinah, Penculikan aktifis, kasus Waduk Kedungombo, Nipah Sampang Madura, pemberedelan terhadap beberapa majalah semisal Tempo, majalah Abadi, majalah Indonesia Raya, majalah Pedoman, dan masih banyak majalah lainnya, kasus DOM di Aceh, kasus Tanjung Priok, Kasus Komando Jihad, Kasus Timor-Timur, tragedi 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI di Jalan Dipenegoro, Tragedi Makasar Berdarah, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Trasakti, kasus Semanggi I&II dan masih sangat banyak lainnya.

Selain itu, muncul produk kebijakan dan perundang-undangan yang anti kemanusiaan, semisal, kebijakan NKK/BKK tahun 1978, Pembekuan Kegiatan Kemahasiswaan oleh Komkamtib 1978, UU No 8 tahun 1985 tentang Asas Tunggal, UU Subversi, Instruksi Presiden No 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina, Kep. Presidium No 127/U/Kep/12/1966 mengenai Ganti nama bagi WNI memakai nama Cina, UU No 11/PNPS/1963 tentang Menentang Pemerintah dan Dasar Negara Pancasila, dan masih banyak produk hukum dan kebijakan lainnya yang sama sekali menciderai kemanusiaan, keadilan dan keadaban.

Kedua, negara menjelma menjadi korporasi (state corporatisme). Dalam konteks ini negara tidak hanya melakukan penundukan lewat kekerasan fisik sebagaimana di atas, tetapi juga melalui jejaring institusi yang tujuannya memperkuat, mengamankan dan mengokohkan negara dalam mengeksekusi kebijakan dan hasrat politiknya. Pada tingkat nasional korporasi negara terwujud melalui PWI untuk kalangan jurnalis, SPSI untuk kalangan pekerja buruh Indonesia, MUI untuk kalangan Ulama`, KNPI untuk pemuda, IDI untuk kalangan Dokter, KORPRI untuk kalangan Pegawai Negeri, PGI untuk Kristen, KWI untuk Katolik, PHDI untuk Hindu, dan masih banyak lainnya. Sedangkan pada tingkat lokal muncul organisasi korporasi semisal Karang Taruna, PKK, Kolampencapir, dan lainnya.

Ketiga, negara menjelma menjadi penguasa opini publik yang dikenal dengan state discours. Untuk memperkokoh dan mengamankan kekuasaannya negara di era rezim Soeharto mempraktekkan strategi penguasaan opini publik dengan cara memobilisasi instrumen opini dan sikap publik. Cara ini digunakan untuk membunuh dan mematikan demonstrasi, pengkritik, oposan dan para pihak yang dianggap menentang keputusan dan kebijakan pemerintah. Penguasaan ini terlihat dari penggunaan istilah demokrasi pancasila, cap ekstrim kanan, ekstrim kiri, anti pancasila, anti pembangunan, prilaku subversi dan istilah-istilah lainnya.

Salah satu instrumen yang cukup massif ialah pelaksanaan dan penerapan P4 dalam pendidikan dan birokrasi. Dimana P4 ini dijadikan persyaratan untuk keluar negeri, daftar PNS, dan lain sebagainya. Termasuk untuk penguatan-penguatan lembaga penguasa opini publik, pemerintah berupaya membentuk kantong-kantong studi semisal keberadaan lembaga CSIS yang dibentuk oleh Ali Murtopo, seorang Mantan kepala Operasi Khusus (Opsus) dan Mantan ketua BAKIN, melalui lembaga ini kebijakan dan penerapan P4 ditelurkan dan diterapkan dalam ranah publik.

Keempat, negara menjelma menjadi State Clientilisme, dimana dalam konteks ini negara awalnya berusaha melakukan penundukan terhadap pasar. Hal ini diwujudkan dengan upaya negara mendominasi kehidupan perekonomian yang menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi semisal proteksi, subsidi dan lainnya. Namun, pada perkembangannya praktek negara ini menghasilkan pola hubungan patron-client, dimana negara tidak jarang bertindak sebagai patron, sedangkan pengusaha-pengusaha tertentu yang dekat dengan kekuasaan bertindak sebagai client-nya. Pola dari hubungan ini kemudian mendorong terjadinya praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini terlihat dari munculnya pengusaha nasional yang dekat dengan Soeharto bahkan dari keluarganya sendiri, semisal Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan pada level internasional muncul pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan masih banyak lainnya.

Penulis hingga hari ini meyakini penyebab berkuasanya komparador neo liberalisme dalam kebijakan publik Indonesia dan menyebabkan krisis ekonomi sampai hari ini ialah disebabkan kongkalikong dan konspirasi ini. Terutama dengan dilakukannya Letter Of Intens (LOI) dengan IMF yang nota bene lembaga ini selama tiga dekade bersama World Bank menjadi mitra strategis rezim Soeharto. Apalagi penandatanganan LOI ini sesungguhnya merupakan perintah Soeharto untuk meminta bantuan IMF pada tanggal, 8 oktober 1997. Penandatanganannya kemudian dilakukan oleh Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan, dengan IMF dalam sebuah LOI, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah kontrak dan penegasan bahwa IMF akan menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani krisis ekonomi Indonesia yang memuncak tahun 1997. Peristiwa ini menyebakan hutang yang cukup tinggi terhadap IMF dan berakibat pada dipertaruhkannya independesinya Indonesia dalam pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam soal-soal kebijakan perekonomian. Diakui ataupun tidak, IMF bersama kroninya kekinian telah berhasil mendesakkan format, bentuk dan positioning kebijakan struktural Indonesia untuk mendasarkan pada sistem ekonomi politik neo liberalisme.

Sekilas Indonesia Kekinian

Melihat konfigurasi politik orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang monolitik, sentralistik dan militeristik di atas, sedikit banyak bagi kita menjadi peta untuk melihat secara jernih Indonesia kekinian, utamanya perubahan sikap masyarakat dan prilaku politik pemerintah.

Pasca tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998 dan awal era reformasi terlihat secara jelas betapa kekerasan demi kekerasan lahir, seakan kekerasan yang dilakukan oleh negara selama 32 tahun oleh orde baru telah menjelma menjadi prilaku perseorangan masyarakat. Prilaku premanisme, pengeroyokan, menghakimi tanpa landasan hukum yang jelas, serta penjarahan yang tanpa ampun. Demikianlah awal reformasi dimana seakan semuanya menjadi hukum rimba, dan saat inipun masih terjadi dan sangat marak.

Secara teoritik hal ini juga pernah diungkapkan dalam penelitian Hannah Arendt di era rezim otoriter Nazi, Hitler (Jerman) dalam sebuah peristiwa Holocaust, dimana seorang kepala arsitek Eichmann berani menjadi eksekutor pada final solution dalam pembantaian massal terhadap kaum Yahudi. Dalam perspektif yang sama, ideologi negara rezim orde baru yang monolitik, sentralistik dan militeristik selama 32 tahun berpengaruh secara signifikan terhadap semua kejadian, pendekatan dan prilaku masyarakat Indonesia kekinian. Karena eksistensi ideologi tersebut diakui atau tidak, telah merasuk dalam psikologi, kultur dan struktur publik dan masyarakat. Menegaskan bahwa prilaku kekerasan negara orde baru telah berpengaruh secara serius terhadap prilaku kekerasan yang terjadi dalam masyarakat.

Selanjutnya, untuk Indonesia kekinian orde baru telah mewariskan sistem kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, sebutlah semisal kebijakan ekonomi politik neo liberalisme. Penulis sangat menyadari bahwa keterpurukan ekonomi kekinian disebabkan karena rapuhnya sistem perekonomian Indonesia, mengutip pendapat Awalil Rizki sistem perekonomian kita telah terintegrasi dalam sistem kapitalisme global. Apalagi awal kepemimpinan Soeharto, positioning dan kebijakan perekonomian telah diubah, salah satunya terlihat dari penempatan ekonom-ekonom lulusan barat dalam struktur pemerintahan yang menangani urusan-urusan ekonomi.

Di era kepemimpinan SBY-JK kini semakin jelas watak dan ideologi perekomomian kita, bahwa semuanya telah berpijak kepada paradigma, mindset dan ideologi neo liberalisme. Sehingga mata kita selalu terperangah setiap saat dari mulai pencabutan subsidi terhadap kebutuhan publik, menyebabkan kebutuhan publik memahal tinggi, krisis pangan karena kebijakan pangannya impor terus, menyebabkan tempe mahal, beras mahal dan lain sebagainya. Kebijakan ini berlangsung karena secara politik dan struktural kita telah terhegemoni oleh jejaring kapitalisme global. Penulis seringkali sangat miris dengan pernyataan-pernyataan pemegang kebijakan publik sebutlah Jusuf Kalla yang seringkali mempermainkan kemiskinan dan kemelaratan publik dengan tarian poco-poco, disco, antrean nonton film dan lain sebagainya.

Saat ini kita membutuhkan perubahan yang berpihak kepada rakyat dan mengangkat derajat mereka dari keterpurukan dan kemiskinan yang semakin merajalela. Maka di hari yang ke-40 dari meninggalnya Soeharto ini, kita tentunya dapat belajar dan mengingat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dari rezim otoritarian orde baru.

Allahu A`lam Bisshowab

* Ketua HMI Badko Inbagteng 2007-2009

selengkapnya.....
Designed by - alexis 2008 | ICM