28 Mei 2008

Tema PB HMI Periode 2007-2009

”Memperkokoh Basis Negara Menuju
Tamaddun Indonesia Baru dan Maju”

Latar Belakang
Grand Tema kepengurusan PB HMI periode 2007-2009 adalah “Memperkokoh basis negara menuju tamaddun Indonesia baru dan maju”. Tema ini merupakan kesinambungan dari tema kepengurusan sebelumnya yang mengangkat tema Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil Untuk pembelaan Kaum Lemah dan Terpinggirkan”. Perbedaannya hanyalah terletak pada penekanannya saja.
Apabila tema sebelumnya, menekankan pada positioning HMI sebagai gerakan tamaddun masyarakat sipil, maka pada periode kali ini melangkah lebih maju dan spesifik berupa upaya strategis HMI berupa memperkokoh basis negara di dalam rangka mewujudkan tamaddun (peradaban) Indonesia yang baru dan maju. Semangat yang dibangun di dalam kedua tema tetaplah serupa.
Dalam konteks ini, basis negara yang dimaknai oleh PB HMI adalah warga, yaitu sebagai basis struktur negara. Sedangkan suprastruktur berupa pandangan hidup kenegaraan, biasanya mengikuti perkembangan watak dominan yang terjadi di level basis struktur. Dalam pandangan PB HMI, warga sebagai basis negara mengalami pelemahan yang parah dalam berbagai aspek akibat kekeliruan kebijakan pemerintah yang menempuh jalan neoliberal untuk menuju negara pro pasar.
Negara yang digeser untuk berjalan di atas rel neoliberal tersebut telah menjauhkan cita-cita menuju Indonesia yang bertamaddun. Tamaddun yang muncul malah tamaddun yang berasas materialisme. Tamaddun materialisme ini anehnya telah lama berlaku dan nyaris menjadi disiplin hidup mainstream masyarakat Indonesia dewasa ini. Karena itu harus ada upaya gerakan konkret untuk mencapai tamaddun Indonesia baru dan maju. Gerakan itu dapatlah berbentuk pengggalangan dalam tujuan memperkokoh basis negara untuk mencapai tamaddun Indonesia yang diinginkan oleh HMI. Kriteria dari tamaddun Indonesia baru dan maju adalah apabila masyarakat berpola hidup religius, steril dari materialisme dan neoliberalisme, berdemokrasi yang konvergen dengan semangat Islam, yang menjadi jiwa masyarakat Indonesia.

Fakta Lapangan dan Alasan Pilihan Tema
Wacana memperkokoh basis negara berangkat dari keprihatinan terhadap fakta mutakhir. Fakta mutakhir adalah melemahnya negara akibat kebijakan pro pasar yang diambil secara sadar oleh rezim. Logika kebijakan pro pasar dilatari oleh semangat kapitalisme yang merengsek ke biro-biro pengambil kebijakan. Doktrin yang tersembunyi di balik logika ini adalah jika ingin maju, maka biarkanlah pasar mengatur sendiri mekanismenya. Negara cukup sebagai wasit dari persaingan yang alamiah antar perusahaan. Kepada perusahaan-perusahaan, berikanlah iklim yang bebas dan mudah bagi setiap aksi korporasi, agar perusahaan itu dapat berkembang sehingga dapat dengan sendirinya menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Jika tenaga kerja telah terserap, tentu pengangguran akan berkurang, jika pengangguran berkurang, maka angka kemiskinan juga akan menurun hingga muaranya kemakmuran sebagai tujuan negara pun akan tercapai. Walhasil, akibatnya perusahaan pun menempati kedudukan yang kuat, bahkan pada tingkat yang ekstrem, negara pun menjadi subordinasi dari perusahaan.

Doktrin pro pasar yang mekanistik tersebut tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan alias ilusi belaka. Faktor kepentingan alamiah terhadap laba dan kepentingan ekslusif para penguasa-penguasa perusahaan sama sekali tidak diperhitungkan oleh pemerintah. Selama kepentingan alamiah untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya dan interes penguasa-penguasa pasar masih tetap melekat pada perusahaan, maka harapan untuk dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya tidak akan pernah tercapai. Yang terjadi adalah penggelembungan kekuasaan perusahaan di hadapan negara dan keterancaman rakyat yang menjadi tenaga kerja pada perusahaan-perusahaan tersebut berupa ketergantungan yang akut kepada perusahaan. Ketergantungan semacam ini tentu saja akan menimbulkan mudarat sosial yang besar.
Tetapi meskipun kenyataannya seperti itu, rezim tetap percaya dengan ilusi kemakmuran dan kemajuan yang dihasilkan oleh mekanisme pasar bebas. Rezim tetap bergeming dengan garis pro pasar dari kebijakannya.
Di antara bukti nyata dari kebijakan pro pasar tersebut adalah program penjualan (divestasi) aset-aset negara berupa BUMN-BUMN atas nama efesiensi dan pra kondisi menuju iklim yang kondusif bagi mengalirnya investasi asing lewat perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).
Para ekonom pembela rezim berargumen bahwa penjualan BUMN-BUMN baik yang strategis maupun yang dianggap tidak strategis merupakan langkah terbaik menuju efesiensi dan perbaikan kinerja BUMN-BUMN. Benarkah argumen mereka?
Pertanyaan sederhana dapat menggugat argumen mereka. Jika masalahnya adalah efesiensi dan perbaikan kinerja, lantas apakah solusinya dengan pengalihan kepemilikan? Bukankah efesiensi dan perbaikan kinerja merupakan masalah manajemen? Jika masalahnya adalah manajemen, bukankah bisa dengan menyewa manager-manager andal, baik dari luar maupun dalam negeri, untuk membenahi manajemen BUMN-BUMN tersebut tanpa harus mengalihkan kepemilikan dari negara?
Masalahnya adalah bahwa kebijakan divestasi tersebut berawal dari ketaatan buta pemerintah sebelumnya terhadap resep-resep racun yang diberikan oleh IMF lewat Letter of Intent (LOI). Resep racun IMF tersebut berupa panduan yang harus diikuti oleh pemerintah di dalam mengantarkan Indonesia ke dalam sistem pasar dengan otoritas negara yang minimal.
Di samping itu, tidak bisa dinafikan bahwa motif untuk meraup dana segar yang instan dan melimpah melatari aksi pemerintah menjual secara besar-besaran BUMN-BUMN tersebut. Jadi wajarlah jika kebijakan yang diasas oleh Presiden Soeharto tersebut diikuti pula oleh presiden-presiden setelahnya. Jika hal ini benar, aksi penjualan aset-aset negara tersebut dapat dikategorikan sebagai mega korupsi yang dilakukan oleh pemerintah.
Dengan kebijakan pro pasar, negara hanya dapat menjadi regulator dan wasit dari pertandingan dalam arena pasar. Otoritas negara di level operasional perekenomian seperti yang terwujud dalam misi BUMN-BUMN sudah dipangkas demi ketaatan terhadap rezim pasar.
Kebijakan pemerintah yang pro pasar tersebut nyatanya telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi rakyat. Kerugian tersebut tercermin dari data pengangguran dan kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS. Jumlah penganggur di Indonesia per Juni 2007 sebanyak 10,6 juta jiwa atau setara 9,8% dari total penduduk Indonesia, jauh lebih tinggi dari level sebelum yang krisis 1997 sebesar 4,7%.
Demikian juga angka kemiskinan per Juni 2007 sebesar 37,17 juta orang atau 17,75% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Data ini menunjukkan hingga hari ini angka kemiskinan dan pengangguran tidak menampakkan penurunan yang signifikan. Bahkan dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM mengikuti harga pasar dunia, jelas akan mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan. Angka pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2% yang dibangga-banggakan oleh pemerintah SBY-JK sama sekali tidak berkorelasi dengan penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Sebab pertumbuhan ekonomi lebih banyak disumbang oleh sektor non tradable yang relatif sedikit menyerap tenaga kerja (Lihat Detik Finance, Rabu, 31/10/2007 15:27 WIB).
Melihat kenyataan semacam itu, sebetulnya pemerintah hendak melayani rakyat dan kepentingan nasionalnya atau hendak melayani pihak asing. Jika pemerintah lebih memilih melayani pihak asing dengan bungkus kebijakan pro pasar, maka sudah sepatutnya pemerintah semacam itu dimakzulkan dan diganti dengan pemerintahan yang sepenuhnya melayani warganya, terutama warga yang lemah, tanpa bungkus politik yang manipulatif.
Tinjauan Islam Terhadap Sistem Pasar
Dalam sistem pasar, sudah barang tentu tidak berlaku prinsip keadilan dan ketuhanan. Yang berlaku adalah siapa yang kuat secara modal dialah yang akan memenangkan pertarungan di arena pasar. Inilah yang dimaksud dengan darwinisme sosial. Walhasil, stratifikasi sosial pun berubah menjadi berbasis material. Kemuliaan seseorang ditentukan oleh volume kepemilikannya terhadap benda tradeble, dan pada tingkat kesadaran masyarakat berubah menjadi materialisme sebagai pedoman hidup.
Tatanan semacam ini jelas bertentangan dengan kaidah-kaidah dan cita-cita Islam. Dalam pandangan Islam, tinggi rendahnya derajat manusia ditentukan oleh kualitas ilmu, amal salih, dan ketakwaannya. Allah berfirman: Allah meninggikan beberapa derajat orang yang beriman di antara kamu dan juga orang-orang yang dianugerahi ilmu pengetahuan; Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.
Fenomena materialisme yang berkembang di masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari akibat tren sistem pasar yang digalakkan oleh pemerintah. Lupakan saja misi negara untuk membela warganya yang lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Hemat kami, fakta inilah yang menjelaskan bagaimana dewasa ini para saudagar dapat bermetamorfosis menjadi penguasa-penguasa politik baru. Para saudagar itu, selain secara teknis lebih mudah untuk membiayai proses politik yang memakan banyak biaya, secara faktual masyarakat pun semakin materialistik dan irrasional di dalam menentukan preferensi pilihan politiknya. Ada adagium, ada uang, ada suara.
Pada saat yang sama gelombang demokratisasi liberal yang melanda Indonesia, berhasil melemahkan struktur politik yang sebelumnya berwatak terpusat menjadi desentralistik. Lalu kemudian semangat desentralisasi ini dilembagakan dalam paket undang-undang Otonomi Daerah.
Otonomi daerah dalam level praksis, lebih kerap membina potensi pelemahan negara secara nasional ketimbang memperkokohnya. Hal ini bukanlah karena faktor aturan yang keliru, tetapi lebih disebabkan oleh penerjemahan yang keliru dari elit-elit daerah yang rakus kekuasaan. Elit-elit daerah lebih ramai menerjemahkan otonomi daerah sebagai peluang untuk membangun kerajaan-kerajaan lokal. Daerah yang satu dengan daerah lainnya sama sekali tidak memikirkan bagaimana seharusnya mereka bekerja sama memberikan kontribusi bagi pembinaan negara nasional (nation state) yang semakin kuat. Daerah hanya berpikir, cukuplah upeti lewat perimbangan keuangan pusat dan daerah menjadi bentuk kontribusi daerah kepada negara nasional Indonesia.
Disebabkan oleh proses demokratisasi yang belum mapan dan haluan politik ekonomi yang pro pasar menjadikan basisstruktur turut melemah. Kedudukan pemerintah yang dihasilkan lewat pemilu yang tidak menang mutlak menjadikannya lemah di hadapan kekuatan modal. Apalagi setelah reformasi, kedudukan pemerintah bukan lagi sebagai mandataris MPR, tetapi merupakan mitra DPR di dalam membuat undang-undang. DPR hasil reformasi cukup kuat di dalam mengontrol pemerintahan. Kadang-kadang kekuasaan yang melekat pada DPR tersebut diselewengkan oleh anggota-anggotanya untuk melemahkan pemerintahan dan untuk alat tawar-menawar kekuasaan.
Di sisi lain, akibat mobilisasi dukungan politik, susunan masyarakat pun ikut terfragmentasi dan akhirnya melemahkan masyarakat. Satu-satunya kekuatan yang masih cukup solid, selain TNI/POLRI, adalah masyarakat agama. Masyarakat agama yang terwujud pada organisasi-organisasi semacam NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, Walubi, dan lain-lain merupakan modal sosial bersifat nasional yang masih dapat diharapkan di dalam memperkokoh basis negara nasional yang sesuai dengan cita-cita awal Indonesia didirikan.
Hal itu pun bukan berarti masyarakat agama tidak bisa sepenuhnya steril dari intervensi politik dan ekonomi. Isu aliran-aliran sesat yang merongrong masyarakat Muslim misalnya tidak bisa dilepaskan dari motif-motif ekonomi dan politik. Kecil sekali jika faktor penyebabnya adalah pergulatan di dalam mencari aqidah yang benar.
Betapa pun kondisinya demikian, masyarakat agama jauh lebih solid ketimbang masyarakat yang ditopang oleh sekularisme seperti komunitas-komunitas berbasis profesi, suku, patron, hobby, atau pun motif kekuasaan seperti partai.
Dalam gambaran tantangan semacam itu, dimanakah dan bagaimanakah HMI mengambil perannya? Pertanyaan ini berimplikasi pada masalah positioning dan strategi HMI.

Positioning dan Strategi HMI
Sebelum menjawab kedua pertanyaan mendasar itu, ada baiknya terlebih dahulu perlu menoleh siapa HMI sebenarnya. Merujuk kepada Anggaran Dasar Himpunan Mahasiswa Islam, HMI merupakan organisasi kemahasiswaan yang independen berasaskan Islam dengan tujuan rangkap dan simultan: menjadi insan ulil albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala (Lihat AD HMI pasal 4).
Terma ulil albab berakar dari Alquran (Lihat Q.S. Ali Imran: 190). Ulil albab merupakan pencitraan tentang kualitas manusia paripurna yang tidak saja mempunyai daya nalar yang kuat, tetapi juga memiliki jiwa ketundukan kepada Allah yang tidak tergantung kepada perubahan ruang dan waktu. Kualitas inilah yang didambakan oleh HMI melalui serangkaian usaha perkaderannya yang terancang.
Namun tidak berhenti pada pembinaan kualitas personal saja, dalam usahanya HMI juga memproyeksikan kader-kadernya yang telah ditansformasikan menjadi insan ulil albab, juga harus terlibat di dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang diridlai oleh Allah. Untuk mewujudkan frase yang terakhir ini, tentulah meniscayakan gerakan sosial yang terencana. Maka demikianlah HMI tidak bisa dilepaskan dari setiap aspek aktivitas perkaderannya, terpantul pula aktivitas sosial politik yang kental. Malah aktivitas sosial politik ini begitu kuat mewarnai gerakan HMI.
Dihadapkan dengan tantangan yang sudah diuraikan sebelumnya, dengan performa HMI seperti yang diproyeksikan dalam dokumen-dokumen organisasi, bagaimanakah HMI sebaiknya meletakkan dirinya secara tepat dan strategis?
Ketepatan HMI memosisikan dirinya dalam konstalasi dewasa ini, tergantung ketepatan pandangannya terhadap perkembangan situasi dan kondisi eksternalnya. Seperti yang telah diuraikan di paragraf-paragraf sebelumnya, akibat garis kebijakan yang pro pasar dan demokratisasi yang dikangkangi elit yang rakus, tatanan masyarakat sudah jauh cita-cita kemasyarakatan HMI. Tatanan yang hadir dewasa ini adalah tatanan yang zalim berdasarkan darwinisme sosial. Tatanan yang hadir hari ini tidak saja bertentangan secara filosofis dengan Islam, tetapi juga bertentangan dengan moralitas Pancasila sebagai acuan dasar negara nasional Indonesia.
Dengan demikian, HMI sudah barang tentu harus meletakkan dirinya di seberang tatanan mainstream materialisme hari ini. Secara inhrent, HMI merupakan anti tesa dari mainstream materialisme yang hadir hari ini. Tetapi HMI tidak cukup berjuang sendiri untuk merombak tatanan yang ada. Untuk itu, ia harus membangun strategi kerjasama dengan basis-basis se-group strategis untuk mencapai tujuan kemasyarakatannya. Upaya inilah yang dimaksud dengan memperkokoh basis negara menuju tamaddun Indonesia baru dan maju seperti tema yang diambil oleh PB HMI. Sebab dalam pandangan PB HMI, masih terdapat basis negara yang menolak jalan neoliberalisme, terutama basis negara yang masih berpegang teguh kepada misi luhur agama. Basis negara semacam inilah yang mesti dirangkul oleh HMI di dalam upaya menghapus jalan neoliberalisme dan materialisme dari Indonesia demi menggapai cita-cita yang dikemas dalam istilah tamaddun Indonesia baru dan maju.
Bentuk-bentuk upayanya dapatlah diterjemahkan dalam berbagai program yang variatif sesuai tantangan lokal dan nasional yang terus berkembang. [ ]

selengkapnya.....

21 Mei 2008

POSITION PAPER DAN SIKAP POLITIK HMI BADKO INBAGTENG
TERHADAP CALON GUBERNUR DAN CALON WAKIL GUBERNUR

DALAM PILKADA JAWA TENGAH 2008


PENDAHULUAN

Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang menyebutkan bahwa “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan“. Selanjutnya dalam Pasal 56 dijelaskan bahwa “ Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil “. UU Pemda mengamanahkan suatu perhelatan akbar adanya pemilihan kepada daerah secara langsung (Pilkada), dimana rakyat dapat menetukan pilihan kepala calon-calon yang akan memimpin daerahnya masing-masing. Pesta demokrasi lokal ini tentunya bukan tidak mungkin memiliki persoalan mendasar, oleh karenanya UU Pemda dengan tegas mengarahkan agar seluruh rangkaian proses Pilkada itu dapat berjalan dengan demokratis dan jurdil (jujur-adil).
Otonomi daerah telah membawa perubahan cukup signifikan dalam sistem tata pemerintahan daerah. Pemda memang lebih leluasa dalam menata alur kerja dan pengembangan pemerintahan. Akan tetapi di sisi lain otonomi daerah menyisakan permasalahan yang cukup komplek terutama dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada). Arena pentas demokrasi lokal itu membuahkan konflik yang berkepanjangan bahkan ikut menyeret elit-elit di pusat. Beberapa Pilkada kontroversial seperti Maluku Utara, Sulawesi, Sumatera dan beberapa daerah lainnya yang berujung pada tindakan anarkisme dan menimbulkan instabilitas daerah. Pilkada tak ubahnya seperti pisau bermata dua, satu sisi sebagai upaya demokratisasi sedang sisi lain bisa menjelma politik anarki (kekerasan dan konflik) jika tidak dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Beberapa minggu kedepan, Jawa Tengah juga akan menyongsong pemilihan kepala daerah, yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur yang nantinya akan menata pemerintahannya di wilayah hukum Jawa Tengah. Berbagai persiapan telah dilakukan termasuk kampanye masing-masing calon yang dengan gencar melakukan upaya untuk menarik simpati para pemilih. Yang pasti masyarakat Jawa Tengah saat ini dihadapkan pada pilihan beberapa kandidat Cagub-Cawagub yang memiliki masing visi dan misi untuk memimpin Jawa Tengah Kedepan.
Dalam konteks inilah Himpunan Mahasiswa Islam Badan Koordinasi Indonesia Bagian Tengah (HMI Badko Inbagteng) beserta HMI Cabang yang di wilayah Indonesia bagian tengah akan senantiasa mengawal prosesi Pilkada Cagub-Cawagub Jawa Tengah serta memberikan catatan-catatan kritis terhadap semua persoalan di Jawa Tengah, idealita-realitas Pilkada kekinian, sikap politik yang tertuang dalam position paper ini. HMI Badko Inbagteng berharap bahwa Pilkada Cagub-Cawagub Jawa Tengah akan menjadi tonggak proses demokratisasi di Jawa Tengah bukan hanya sekedar ajang pentas elit-elit lokal tanpa adanya strategic plan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Jawa Tengah di masa mendatang.


REALITAS PILKADA JAWA TENGAH

Idealita Pilkada
  • Pilkada merupakan pengejawantahan cita-cita otonomi daerah, yang harapannya mengangkat derajat masyarakat lokal dengan berbagai kebijakan pemerintah daerah yang bervisi kedaerahan.
  • Pilkada merupakan metodologi penjaringan kepemipimpinan, dari rakyat daerah untuk rakyat daerah
  • Mendorong good Governance pemerintah daerah, antara pemerintah, sektor privat dan civil society yang bersinergi dengan baik dan tidak saling menghianati

Realitas Pilkada Kekinian
  • Membutuhkan pendanaan yang teramat besar dari APBD
  • Mendorong lahirnya konflik sosial-agama masyarakat daerah, dan berlanjut setelah pilkada selesai
  • Menggunakan cara-cara lama, politik uang (money politic) dan preman
  • Tidak terbangunnya partisipasi publik (transparansi calon pemimpin, peraturan yang berpihak publik, sosialisasi, dan fit and proper test calon pemimpin daerah)
  • Kuatnya intervensi partai politik dalam pilkada, termasuk kontrak politik parpol dengan calon pemimpin daerah
  • Kuatnya jejaring calon pemimpin daerah dengan pemegang modal yang berkepentingan dengan proyek daerah
  • Meniadanya kontrak politik calon pemimpin daerah dengan masyarakat sipil (civil society)
  • Saat ini menguat kembali mempertanyakan kualitas pilkada (Kompas, 26 Januari 2008)

Problem Spesifik Pilkada Jawa Tengah
  • Tidak adanya partisipasi publik, mulai dari perumusan peraturan, transparansi, sosialisasi sampai dengan fit and proper test calon cagub dan cawagub Jawa Tengah.
  • Kuatnya Intervensi partai politik dalam pencalonan cagub dan cawagub, (tentunya pemegang modal lokal yang berkepentingan dengan misi proyek kedaerahan di Jawa Tengah).
  • Indikasi politik uang menguat (Suara Merdeka, 29 April 2008)
  • Salah satu survei menyatakan bahwa mayoritas pemilih Pilkada Jawa Tengah mendasarkan pilihan politiknya atas kepentingan pragmatis.
  • Rata-rata calon cagub cawagub merupakan representari dari kelompok status quo, dan tercatat ada calon yang sudah menjadi tersangka korupsi.
  • Tidak jelasnya visi-misi calon cagub-cawagub Jawa Tengah, menyebabkan partisipasi aktif masyarakat yang lemah
  • Kekuatan tawar masyarakat lemah dibandingkan daya tawar partai politik dan para pemegang modal
LANDASAN SIKAP POLITIK HMI BADKO INBAGTENG TERHADAP CALON GUBERNUR DAN CALON WAKIL GUBERNUR DALAM PILKADA JAWA TENGAH

LANDASAN KONSTITUSIONAL

A. Pedoman Kerja Nasional (PKN) HMI Kongres ke-26
Bab. III Dimensi Struktur Organisasi No. 3
Melakukan Penguatan Jaringan Kenegaraan Diseluruh Struktur Pimpinan Hmi Dalam Meningkatkan Kualitas Peran Kelembagaan

Perlu dipahami satu hal oleh organisasi HMI bahwa “Negara” bukanlah “Entitas Haram”. Keberpihakan kepada kehidupan manusia tidak bisa dilahirkan dengan mengesampingkan peran negara yang secara nyata memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan kualitas hidup. Ikut berperan dalam pembentukan negara harus juga dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga kenegaraan. Bahwa lembaga kenegaraan menjadi entitas yang harus diarahkan, menuntut HMI tidak bisa menjauhkan dirinya. Kerjasama dan pengendalian yang baik dapat dilakukan dengan menjaga kemandirian dan independensi organisasi. Nilai tambah dalam kerjasama dengan entitas negara dalam pembentukan masyarakatpun akhirnya dapat diperoleh.

Bab. V Wilayah Kebijakan dalam Politik dan Pemerintahan

1. Memperkuat Sistem Demokrasi
  • Membuka pintu akan adanya calon independen dalam sistem kepemimpinan negara.
  • Mendukung penguatan lembaga legislatif dari perwakilan daerah dalam sistem demokrasi negara.
  • Berperan dalam aktifitas yang memperkuat sistem demokrasi di negara Indonesia.

2. Memperkuat Desentralisasi Ke Daerah
  • Menjalankan desentralisasi aparatur negara sehingga sistem aparatur negara tidak ditangan pusat.
  • Meningkatkan partisipasi masyarakat daerah untuk penguatan sistem kedaerahan

B. Petikan Hasil Simposium Gerakan HMI
“Menuju Pemilu yang Demokratis, Bermartabat dan Menyejahterakan” (Semarang, 12 April 2008)

Latar Belakang :
  • Adanya kemajuan sistem dan kultur demokrasi di Indonesia.
  • Transisi demokrasi yang menuntut HMI untuk mengambil peran-peran yang lebih strategis-konstruktif dalam konteks development of democracy.
  • Pemilu kini menjadi satu “medan kontestasi” yang paling rasional, memungkinkan dan signifikan bagi artikulasi kepentingan civil society.
  • Tuntutan agar Pemilu tidak hanya berlangsung secara demokratis, sehat, bermartabat, tetapi juga memiliki korelasi yang erat dengan proses pensejahteraan rakyat

Tujuan :
  • Melakukan political education kepada publik.
  • Mengoptimalkan partisipasi dan artikulasi kepentingan politik elemen civil society.
  • Memastikan proses politik pada Pemilu 2009 berjalan secara demokratis, bermartabat dan memberikan real effect terhadap pensejahteraan rakyat.

Positioning ; Politik Strategis :
1. Tidak terjebak lagi dalam opsi MENOLAK atau MENERIMA.
2. Tidak ikut dalam proses dukung-mendukung figur.
3. Mendorong penguatan institusi pemilu dan peran (pendidikan politik) partai.
4. Memainstreaming aprroach (pilihan politik) masyarakat yang berbasis program, kompetensi dan kapabilitas, bukan “figuritas”.


SIKAP POLITIK GERAKAN HMI INBAGTENG TERHADAP CALON GUBERNUR DAN CALON WAKIL GUBERNUR DALAM PILKADA JAWA TENGAH 2008

Hasil Rapat Pimpinan Cabang HMI Inbagteng, Wonosobo, 13 Mei 2008

1. Menolak Cagub-Cawagub yang terindikasi dan atau terbukti korup
2. Menolak Cagub-Cawagub yang menjadi bagian dan atau pro status quo
3. Mendesak Cagub-Cawagub untuk turun kepada masyarakat
4. Mendesak transparansi track record Cagub-Cawagub dan dipublikasi
5. Ikut mengupayakan dan terlibat dalam kontrak politik Cagub-Cawagub
6. Melakukan edukasi politik kepada masyarakat
7. Mengawal Pilkada Damai, dengan pendekatan tokoh-tokoh masyarakat
8. Menjaga independensi organisasi HMI dengan tidak terlibat dalam dukung-mendukung Cagub-Cawagub dan atau terlibat dalam partai politik.
9. Menegur secara struktural konstituonal apabila terdapat pengurus ataupun kader yang terbukti terlibat dalam dukung mendukung Cagub-Cawagub dan atau terlibat dalam partai politik.
10. Bentuk perjuangan dibenarkan konfliktual ataupun kemitraan sesuai konteks kondisi dan situasi lokal HMI Cabang-cabang. Sedangkan strateginya lewat aliansi lintas gerakan, media, kontrak politik, dialog, dan komunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat.

selengkapnya.....

Rapimcab Badko : Dari Pilkada Jateng Sampai Kodifikasi Konstitusi HMI

Oleh Hani Nur Cahyo

Wonosobo, (Inbagteng Cyber Media)
Beberapa hari yang lalu, tepatnya Selasa (13/05), Himpunan Mahasiswa Islam Badan Koordinasi Indonesia Bagian Tengah (HMI Badko Inbagteng) mengadakan agenda Rapat Pimpinan Cabang (Rapimcab) di Wonosobo. Walaupun agenda Rapimcap ini diadakan di kota dingin, tetapi tetap saja dingin itu tidak membekukan semangat, ide dan gagasan cabang-cabang yang hadir. Hadir dalam Rapimcab Cabang Wonosobo, Cabang Purworejo, dan Cabang Purwokerto.

Dalam Rapimcab ini ada tiga agenda yang dilaksanakan. Pertama, Diskusi Pilkada Jateng tentang Tema : “Pilkada; Antara Harapan dan Realitas”. Kedua, Konsolidasi tentang penyikapan HMI dalam Pilkada Jateng. Ketiga, Sharing Perkaderan dan Laporan Cabang-cabang.
Dalam Diskusi Pilkada ini, Badko menghadirkan pembicara tunggal yaitu Heri Setiawan (Komisi Politik PB HMI) yang sebelumnya akan dipanelkan dengan Tokoh Politik dari Wonosobo Bapak Mubarid yang ternyata beliau terlambat hadir. Dalam diskusi dengan 20-an peserta, Heri Setiawan menyampaikan bahwa Pilkada adalah sebagai salah satu amanah reformasi maka perlu ada pengawalan serius dari masyarakat. Pilkada harusnya menjadi harapan perubahan yang lebih baik terhadap masyarakat. Pilkada juga memerlukan cost yang sangat tinggi, sehingga justru sarat akan menyengsarakan rakyat. Beliau juga menyampaikan langkah-langkah alternatif yang bisa diambil HMI dalam penyikapan terhadap Pilkada disamping melakukan dorongan untuk melakukan kontrak politik juga melakukan political education untuk masyarakat supaya tidak terjebak pada pemanfaatan kepentingan kekuasaan semata. Dalam kesempatan ini beliau juga menyampaikan pesan dari PB HMI untuk cabang-cabang di wilayah Inbagteng, yaitu: Pertama, mendorong Pilkada menjadi politik yang mensejahterakan masyarakat, dan Kedua, berpartisipasi aktif positif dalam pilkada (misal kontrak politik dan political education terhadap masyarakat). Diskusi ini juga sebagai acuan sebelum melakukan konsolidasi penyikapan terhadap Pilkada.

Konsolidasi penyikapan HMI terhadap Pilkada Jateng yang dilakukan cabang-cabang dengan Badko menghasilkan beberapa point, antara lain melakukan kampanye tolak pemimpin korup, tolak pemimpin pro status quo, pencarian data calon pemimpin, mendorong para calon pemimpin untuk turun ke masyarakat, mendorong terjadinya kontrak politik, melakukan political education kepada masyarakat, dan kampanye pilkada damai. Hasil-hasil ini diharapkan dibawa ke masing-masing cabang, di sosialisasikan, dan memerlukan follow up yang serius.

Kodifikasi Konstitusi dan Temu Pengader
Dalam sharing perkaderan dan Laporan Kondisi Cabang, ada beberapa hasil kesepakatan dari cabang-cabang yaitu perlu adanya forum konsolidasi antar cabang yang membahas tentang masalah perkaderan HMI khususnya di wilayah Inbagteng, dan perlunya kerjasama yang apik antar cabang dalam masalah perkaderan. Insya Allah dalam waktu dekat ini akan diadakan forum temu KPC atau Bidang Perkaderan. Penyampaian laporan kondisi cabang juga dilakukan untuk melaporkan kondisi internal dan eksternal masing-masing cabang.

Dalam forum Rapimcab kali ini disepakati beberapa poin penting, diantaranya ; Meminta cabang-cabang untuk mengirimkan nama kepada pengurus Badko Inbagteng untuk diusulkan menjadi tim kodifikasi resmi konstitusi PB HMI dan secepatnya akan dilegalisasi. Di samping itu, Meminta cabang-cabang untuk melakukan identifikasi persoalan-persoalan perkaderan, untuk secepatnya akan diadakan temu pengader di HMI Inbagteng. Yang pertemuan tersebut sebagai usaha mensharingkan amanah PKN HMI Kongres ke-26, Bab III Dimensi Struktur Lembaga no 5 yang berbunyi “Mendorong kemandiran pengelolaan perkaderan ditingkat cabang-cabang dengan arah peningkatan kapasitas anggota dalam peran strategis kemasayarakatan”. Beberapa indikatornya meliputi : Pertama, mampu melaksanakan Senior Course setiap tahunnya. Kedua, mampu melakukan kerjasama pengader antar cabang. Ketiga, mampu melakukan evaluasi pengader secara berkala dan dapat terukur. Keempat, memiliki komisariat sehat diatas 50 persen. Kelima, memiliki forum atau lembaga yang mampu meningkatkan mutu perkaderan.

selengkapnya.....

05 Mei 2008

May Day Purwokerto ; Polisi Gebugi Demonstran

Oleh Teguh Priyoko

Purwokerto, (Inbangteng Cyber Media)
Aksi hari buruh di Purwokerto yang diikuti oleh HMI (MPO) dan FMN (1/5) yang menamakan Persaudaraan Rakyat Banyumas untuk Solidaritas Perjuangan Buruh (PRB-SPB), disikapi secara represif oleh polisi dan berakhir rusuh. Puluhan mahasiswa yang mengikuti aksi dipukuli, ditarik dan kemudian didorong paksa polisi masuk ke truk polisi untuk di bawa ke Kapolres Banyumas.

Tercatat ada dua peserta aksi yang mengalami cidera serius, David dari FMN mengalami luka memar karena dipukuli secara keroyokan oleh polisi saat dipaksa masuk ke truk, arif Budiman (ketua HMI (MPO) Cabang Purwokerto) mengalami cedara pada lengan tangan kirinya, karena ditarik secara keras oleh polisi dan beberapa peserta lain juga mengalami perlakuan sama namun tidak mendapatkan luka serius.

Di kapolres, semua peserta aksi dipaksa untuk melakukan pemeriksaan yang memerlukan lebih dari dua jam setiap orang. Semuanya diperiksa sebagai saksi telah mengikuti unjuk rasa secara ilegal, dan diharuskan menandatangani berita acara. Sementara kordinator lapangan, Ahmad Taqitudin (FMN) naik statusnya sebagai tersangka.
Dari demonstran menyatakan kekecewaannya terhadap sikap represif oleh polisi yang secara paksa dan memukuli para demontran. ”Kami turun ke jalan bukan untuk berkelahi dengan polisi, namun kami mencoba menyuarakan aspirasi buruh yang tertindas sampai saat ini” kata Wakorlap aksi, Nasrulloh, kader HMI.
Pihak polisi menyatakan, pemaksaan secara paksa terhadap demontran untuk menghentikan aksi tersebut, dikarenakan aksi tersebut tidak memenuhi perizinan tentang UU menyatakan pendapat, dan dilakukan pada hari libur, dan dapat dikenakan sangsi karena melanggar UU 1998 ayat 9 pasal a dan b, tentang menyatakan pendapat publik tanpa izin.
Setelah menjalankan pemeriksaan lebih dari tiga jam, demontran diharuskan mengikuti pengarahan dari Kapolres. ”Aksi boleh, yang penting izin dulu sama Polres, kita nanti bisa mengawal” kata Kapolres Banyumas, AKBP Heru Prasodjo.
Setelah mendapatkan pengarahan dari kapolres, demontran diperbolehkan pulang. Sementara Korlap, Taqiyudin harus menungggu keputusan dari kapolres, dan menjalani status percobaan sebagai tersangka selama dua minggu.

selengkapnya.....

Aksi Hari Buruh Selalu Disikapi Represif

Oleh Nasrulloh

Purwokerto, (Inbangteng Cyber Media)

Puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan Persaudaraan Rakyat Banyumas untuk Solidaritas Perjuangan Buruh (PRB-SPB) akhirnya mengurungkan niatnya untuk minta RRI Purwokerto untuk menyiarkan tuntutannya dalam pembelaan buruh (1/5). Ketika tiba di depan RRI, demonstran dipukul, diseret dan dimasukkan secara paksa ke truk polisi oleh puluhan polisi (jumlah polisi lebih banyak dari demonstran, lebih dari satu peleton) yang sudah menunggu.

Awalnya, aksi yang hanya diikuti oleh FMN dan HMI (MPO) dan start dari kampus Unsoed berjalan lancar. Teriakan ”Sembako mahal siapa tanggungjawab” dijawab kompak oleh peserta ”SBY-Kalla harus tanggungjawab” ”Naikan UMK” ”Sekarang juga”, dan nyanyian perjuangan; buruh tani, bergerak dan bersatu dikumandangkan dengan fasih oleh peserta aksi.

Namun, aksi yang menuntut menghapus sistem kontrak pada buruh kemudian menjadi tegang, setelah satu truk berisi satu peleton pasukan polisi, satu mobil polisi, dan mobil pick up polisi menghadang demonstran di Jl Ovista Isdiman dan meminta supaya aksi tidak teruskan. Percekcokan muncul antara Korlap, Ahmad Taqiyudin, ketua FMN kota Purwokerto dengan salah satu pimpinan polisi.

”Aksi ini tidak mempunyai izin, dan juga diadakan pada hari libur. Sebaiknya jangan teruskan aksi ini, kalau tidak mau kami bubarkan paksa” kata pimpinan polisi, yang tercantum nama Pujiono pada dada kirinya, dengan satu peleton pasukan polisi dengan wajah tidak cooperative dibelakangnya mendesak demonstran untuk mengentikan aksi saat itu juga.

”Pasal UUD 45 ayat 28 menyatakan kebebasan berpendapat. Kenapa ketika kami mencoba mengaspirasikan suara untuk solidaritas buruh, demi kesejahteraan buruh, tidak diperbolehkan bapak?” balas Taqi.

Sementara aksi terhenti, dan negosiasi dengan polisi berlangsung sengit. Para demonsrtan ”panas”, sementara untuk mengatur massa yang marah karena aksinya dicegah, wakorlap aksi mengambil alih posisi korlap yang sedang negosiasi ”Bagaimana rakyat Indonesia akan pintar, kalau mengaspirasikan dengan turun jalan saja dihalang-halangi seperti ini” sindir wakorlap dengan keras dihadapan massa dan polisi, yang kemudian dibalas suara ”huuuuu” oleh massa.

”Indonesia gagal sebagai negara, kalau berpendapat saja tidak boleh” wakorlap meneruskan, dan mendapat dukungan para demonstran. Sementara wartawan, baik cetak maupun elektronik tidak lama kemudian muncul, dan mengambil gambar.

Negosiasi berjalan alot, lebih dari tiga puluh menit akhirnya polisi mengalah, dan memperbolehkan demonstran untuk meneruskan perjalanan menuju RRI Purwokerto.

Tidak lebih dari tigapuluh meter dari pengadangan polisi sebelumnya, tepatnya di perempatan kebondalem, persolan baru muncul, ketika polisi mengarahkan aksi untuk berbelok ke arah kanan Jl Gatot Soebroto. Demontrstran menolak, demontsran tetap bersikeras untuk jalan lurus. Hal itu menyebabkan demonstran berhenti tepat di perempatan, dan menyebabkan kemacetan kendaraan sejauh 50 meter. Melihat kemacetan semakin mengggangu, untuk kedua kalinya akhirnya polisi mengalah kembali dan membolehkan demonstran untuk lurus melewati Jl Ahmad Yani.

Meneruskan perjalanan, massa yang sudah berjalan sekilar 1 km belum terlihat lelah, teriakan pimpinan aksi ”Minyak goreng mahal, siapa tanggung jawab?” dengan semangat dibalas oleh massa ”SBY-Kalla”. Setelah melewati Jl Ahmad Yani, Massa kemudian berbelok ke arah Jl Jenderal Soedirman menuju RRI Purwokerto.

Massa kaget, ketika mulai mendekat ke RRI, puluhan polisi dengan peralatan lengkap, yang telah menghadang sebelumnya sudah berada di depan pintu gedung RRI yang tertutup. Massa terus maju menuju RRI yang sudah dikawal puluhan polisi.
Sekitar lima meter jarak demonstran dengan polisi, demonstran berhenti untuk merapatkan barisan. ”Satu komando satu barisan, maju tiga langkah untuk Indonesia sejahtera” Korlap memberi komando.
Seorang polisi, yang ternyata lebih tinggi pangkatnya dengan pemimpin polisi sebelumnya mengambil alih, dengan lebih keras polisi tersebut bersuara ”Jangan lanjutkan aksi ini sekarang juga, atau kami bubarkan paksa” katanya.Tidak menjadi takut, demonstran malah terus mencoba tetap menembus pintu yang dihalangi polisi ”Dua langkah maju kawan-kawan” kata wakorlap berganti.

Tidak lebih dari lima menit setelah polisi tersebut mengeluarkan ancamannya, tindakan nyata muncul. Tanpa menunggu komando, puluhan polisi muda yang berada di depan pintu RRI, dengan semangat, dan buas mengejar Korlap yang berada di tengah-tengah. Sementara wakorlap yang berada paling depan demonstran dan paling dekat dengan puluhan polisi digeret dan didorong tiga polisi dan memaksanya masuk ke truk polisi yang tepat di sebelah kiri demonstran.

Kekacauan terjadi, ketika pimpinan aksi menjadi target utama polisi, menyebabkan massa tidak teratur dan dengan mudah diseret paksa untuk masuk ke truk. Pukulan, keroyokan dan pentungan tidak ragu polisi lakukan. Demonstran mencoba melawan dan tidak mau diangkut ke truk, namun sia-sia, demonstran yang hampir semuanya mahasiswa dengan tubuh kurus tidak mampu menghindari pukulan, pentungan, bahkan keroyokan dan melemparnya ke truk polisi.

Tercatat, dua demontsran mendapat perlakuan keras dari polisi. Pertama; David ’FMN’, yang mencoba berontak ketika diangkut, mendapat kepungan lebih dari enam polisi dan menjadi bulan-bulan polisi yang memukul ke arah mukanya. Akibat pukulan-pukulan tersebut, david mendapatkan luka serius di bagian muka dan matanya memerah. Kemudian Arif Budiman, Ketua HMI (MPO) Cabang Purwokerto, yang sedang membawa bendera, tangannya dipukuli dengan tongkat, dan terjadi tarik-menarik antara polisi,yang menyebabkan lengan tangannya mengalami cedera serius.

Tidak kurang dari tigapuluh menit, semua demonstran berhasil dimasukkan ke truk polisi, yang kemudian dibawa ke Polres Banyumas di Karang Jambu. Di Polres, percekcokan antara polisi dan demonstran kembali muncul ketika demonstran langsung diminta untuk menjalani pemeriksaan. ”Kami tidak melakukan tindak kriminal, jadi anda (polisi) tidak berhak memaksa kami untuk menjalani pemeriksaan” kata Taqi.

Polisi kemudian menarik Taqi masuk ke sebuah ruangan untuk diperiksa. Kemudian wakorlap, dan semua demonstran dipaksa menjalani pemeriksaan. Lebih dari empat jam pemeriksaan berlangsung, baru sekitar pukul 16.00, demonstran diperbolehkan pulang, dengan menyisakan Taqi, yang dipaksa menandatangani berita acara sebagai tersangka.

Aksi yang dimaksudkan untuk menyuarakan aspirasi solidaritasnya untuk perjuangan buruh, akhirnya disikapi represif oleh polisi. ”Represifitas polisi tidak berarti apa-apa. Tapi esensi aksi hari buruh untuk pembelaan terhadap buruh supaya lebih sejahtera ini menjadi sia-sia karena ulah polisi yang tidak memperkenankan kami untuk menyuarakannya, dan berujung rusuh” kata Arif Budiman.

Desakan PRB-SPB pada pemerintah daerah Banyumas dan pemerintah pusat :

1. Naikkan UMK/UMR sesuai dengan kebutuhan hidup layak
2. Hapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing
3. Kebebasan Berserikat bagi Buruh
4. Turunkan Harga Sembako
5. Ciptakan lapangan kerja seluas-luasnya
6. Pembebasan lahan untuk rakyat

selengkapnya.....
Designed by - alexis 2008 | ICM