03 Februari 2009

MUI : Fatwa & Suap

Menjaga Reputasi Ahli Waris Nabi


Majelis Ulama Indonesia dipersepsikan bisa disuap dalam proses sertifikasi halal. Jika benar, berarti mereka mengkhianati fatwanya sendiri.

SEMOGA saja anggapan ini tidak benar alias jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Majelis Ulama Indonesia masuk daftar lembaga yang dipersepsikan bisa disuap dalam soal sertifikasi halal. Ini bukan asal mencela, tapi menurut hasil survei Indeks Persepsi Korupsi 2008 yang baru saja diterbitkan Transparency International Indonesia.

Apa boleh buat, begitulah persepsi yang timbul. Padahal, pada 2000, MUI telah mengeluarkan fatwa haram atas suap (risywah), korupsi (ghulul), dan hadiah kepada pejabat. Nah, jika benar terjadi praktek suap dalam proses sertifikasi halal, MUI telah mengkhianati fatwanya sendiri. Lalu, bagaimana bisa lembaga ini mengharapkan fatwanya dipatuhi masyarakat luas?

Sejak didirikan pada 1975 ketika Soeharto masih berkuasa, MUI telah menghasilkan setidaknya 90 fatwa yang berfungsi sebagai panduan umat Islam. Fatwa ini tidak bersifat mengikat dan penerapannya diserahkan kepada pilihan individu. Sebagai waratsatul anbiya alias ”ahli waris para nabi”, para ulama di lembaga itu mengemban beban berat. Tugasnya, antara lain, memberikan fatwa, menyerukan kebajikan, dan mencegah kemungkaran.
Pentingnya posisi ini tentu menuntut kredibilitas tinggi, sehingga fatwa yang diputuskan benar-benar berkualitas, dan pada akhirnya dipercaya umat. Mau tak mau, reputasi para ulama yang ada di dalam organisasi itu harus bisa diandalkan. Mereka tak hanya dituntut cakap dalam menggali hukum agama dengan kemampuan fikih yang andal, tapi juga saleh, punya integritas—tak bisa disogok—sehingga patut dijadikan panutan masyarakat.
Faktanya, riwayat fatwa mereka banyak dinilai kurang didasari pemahaman menyeluruh terhadap perkara yang difatwakan. Lihatlah, misalnya, fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank konvensional, bahkan mengharamkan pluralisme dan sekularisme. Begitu pula dengan fatwa haram bagi golongan putih atau golput. MUI dinilai masih terjebak pada peranan kuno, yakni sebagai instrumen pro-kekuasaan. Dulu, di masa Orde Baru, MUI kerap digunakan untuk melegitimasi tindakan pemerintah.
Fatwa golput haram juga menampilkan kesan gagap, kewalahan menerjemahkan dinamika demokrasi. Benar, demokrasi adalah barang yang relatif baru bagi Indonesia dan bagi umat Islam khususnya. Namun demokrasi memberi warga ruang untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu dengan menjadi golput. Tapi ruang ini diminimalisasi oleh MUI dengan fatwa golput haram. Para ulama tampak masih tergoda untuk masuk ke ranah pribadi dan hak asasi yang justru dijamin konstitusi.
Negeri ini tengah berjuang memberantas korupsi yang telah berurat berakar. Alangkah elok, dan memang seharusnya, MUI justru berperan aktif dengan menunjukkan perilaku bersih dan kredibel, dimulai dari diri sendiri. Karena itu, proses sertifikasi halal harus dilakukan dengan cara halal pula. Adanya kontaminasi sama saja dengan mencederai keabsahan label halal itu sendiri.
Memang, survei indeks persepsi korupsi tadi tidak serta-merta membuktikan adanya praktek suap di dalam tubuh MUI. Biaya yang dikenakan pada proses sertifikasi, Rp 200 ribu hingga Rp 5 juta, adalah ongkos pengujian laboratorium yang memang dibutuhkan. Boleh jadi, telah terjadi miskomunikasi yang membuat orang harus membayar di luar keharusan. Maka, MUI harus menegaskan aturan mainnya secara transparan, sehingga tertutup celah untuk melakukan perbuatan tercela.
sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/02/OPI/mbm.20090202.OPI129427.id.html

selengkapnya.....
Designed by - alexis 2008 | ICM