Tema Kepengurusan HMI Badko Inbagteng 2007-2009
Pembangkitan Kesadaran Kritis
Upaya Konsolidasi Perlawanan
Terhadap Hegemoni Liberal Neo Liberalisme
Berpuluh dasawarsa sudah terlewati dari deklarasi kemerdekaan bangsa Indonesia tapi sampai saat ini kita masih belum mampu melepaskan dari hegemoni sistem kolonial, Begitu banyak tata aturan dan kultural sosial yang masih berpijak pada prinsip-prinsip kolonial sehingga menjadi sangat wajar bangsa ini tidak mampu melepaskan diri dari jerat-jerat penjajahan yang sangat sistemik dan semakin menggurita era kekinian. Wujud penjajah di era globalisasi yang kapitalis liberal saat ini cenderungnya menjadi simbolik yang ada dalam "teks buku sejarah" dan sangat susah diidentifikasi di dunia realitas.
Memang semenjak kejatuhan Soviet pada perang dingin 1991 dan dimenangkan blok barat Amerika Serikat merupakan pertanda bahwa tata dunia telah terhegemoni oleh rezim kapitalis. Walaupun ide serta ideologi sangat kompleks dan beragam yang muncul dari berbagai kawasan, namun kerja-kerja sistem kapitalisme liberal telah merasuki dan menjadi sistem struktrual dunia secara global sehingga yang terjadi semuanya kemudian merumpun pada satu kekuatan yang padu mendukung atas prinsip-prinsip kapatalisme, dan inilah yang disebut Francis Fukuyama sebagai The End of History.
Hegemonikya sistem kapitalis liberal yang saat ini dikenal dengan liberal neo liberalisme berhasil menjebakkan pada instanisasi pemikiran dan prinsip-prinsip pragmatisme. Sehingga dalam realitasnya neo liberalisme mampu mengkonstruksikan positioning masyarakat pada satu arus "ideologi tertutup" dan "kebenaran tunggal" sebagaimana ada dalam "kelompok" dan tidak mau melakukan dialog dengan lainnya, tradisi klaim kebenaran (truth claim) dan melihat yang lain sebagai sumber malapetaka semakin menguat di internal masyarakat. Internal umat Islam saat ini terpetakan pada dua kutub besar. Pertama, kelompok masyarakat yang fundamentalis konservatif, yang meyakini secara tertutup bahwa kemaslahatan dapatlah an sich diwujudkan dengan keyakinannya dan tanpa memandang yang lain juga sebagai mitra kemaslahatan. Sedangkan kelompok yang kedua merupakan representasi dari kelompok masyarakat yang mengabdi kepada kepentingan pasar dan membenarkan apapun yang ada dalam arus pemikiran globalisasi.
Secara umum bangunan sistem neo liberalisme mengarahkan pada prinsip kedangkalan, praktis, instan, pragmatis dan menghilangkan positioning manusia sebagai subyek sosial. Semuanya dibentuk pada pradigma materialistik, untung rugi dan diperdagangkan. Liberal neo liberalisme sesungguhnya mengkonstruksikan pada penuhanan "uang" sehingga siapapun yang mempunyai modal uang maka posisinya dipastikan akan menjadi penguasa dan mengendalikan terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, baik pusat ataupun daerah. Disinilah kesusahannya untuk mengidentifikasi terhadap penindas itu sendiri, apakah sebetulnya penindas itu semata dari "kolonial asing" atau penindas itu sesungguhnya bergentayangan di negeri ini bahkan mereka yang mengatur kebijakan?
Kalaupun secara deklare rakyat Indonesia saat ini menyepakati bahwa Indonesia merupakan sebuah negara merdeka dan merayakannya secara ritual agustus-an, tentunya kita bertanya terus, sejauhmana negara ini sudah bertanggungjawab terhadap warga negaranya berupa pendidikan gratis, kesejahteraan sosial dan keamanan dari intervensi-intervensi pihak negara lain. Terdapat pergeseran yang cukup tajam untuk menemu kembali negara ini dan bisa disebut sebagai negara yang independen dan merdeka. Dalam beberapa dasawarsa ini kita melihat dengan mata yang sangat telanjang bahwa negara ini sudah tidak lagi dimiliki oleh rakyat (demos) sebagaimana dalam negara demokrasi. Melainkan dimiliki oleh para elit borjuasi yang secara terang-terangan membeli representasi rakyat lewat partai politik. Dan perlu disadari bahwa mereka sesungguhnya digerakkan oleh para pemilik modal baik yang ada dalam negeri ataupun jejaring pemodal luar negeri.
Secara terus terang mereka (elit negara dan pemodal) berkonspirasi dan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan terhadap kepentingan mereka. Konteks ini memperjelas bahwa negera Indonesia ini merupakan negara dagang dan dikuasai oleh para pemodal baik yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri. Seorang Richard Robinson pernah melakukan penelitian di era orde baru tentang negara dagang ini, Indonesia pada tahun 1980-an bermunculan pengusaha-pengusaha yang mendapatkan fasilitas-fasilitas strategis negara, semisal konglomerat Sudono Salim, Bob Hasan, dan para keluarga cendana yang rame-rame berbisnis. Saat ini bermunculan pengusaha lokal semisal Abu Rizal Bakri, Jusuf Kalla, dan lainnya dan mendapatkan kelimpahan proyek dari negara. Sedangkan di luar negeri bermunculan pemodal besar seperti CGI, IBRD, investor AS, investor Taiwan dan investor Hongkong.
konfigurasi negara dagang masih berjalan sangat sistemik sampai detik ini dan menggangu terhadap prosesi penyelenggaran negara rakyat sebagaimana dalam amanah konstitusi UUD 1945. Pemerintahan SBY-JK yang saat ini berkuasa sebenarnya tidak lain merupakan representasi dari negara dagang, yang memperuntukkan kebijakan-kebijakannya hanyalah untuk para elit borjuis pemilik modal ditingkat lokal yang banyak bercokol di partai Golkar ataupun pemilik modal ditingkat internasional baik IMF, World Bank, Asean Development Bank dan Pengusaha-pengusaha korporasi multi nasional.
Yang paling menyakitkan, pemerintah Indonesia kekinian telah merumuskan dan akan memberlakukan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), dimana produk Undang-undang ini merupakan konsekwensi dari rumusan pasal 53 ayat (1) UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. RUU BHP ini tinggal menunggu amanat dari Presiden untuk diberlakukan, DPR sudah memasukkannya menjadi program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2007 ini. Substasi dari Undang-Undang ini bahwa negara berkeinginan melepaskan tanggungjawabnya untuk mensubsidi pendidikan dan menyerahkan pendanaannya secara total terhadap pengelolanya. Dengan pemberlakuan Undang-Undang ini kedepan maka tidak akan ada lagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) karena semuanya akan dikelola dengan model privatisasi.
Ketika semuanya sudah terkhianati dan menghamba pada poros kapital "uang", kemana kemudian kita berharap terhadap perubahan ini? Kondisi ini seringkali menjebakkan pada anomali-anomali dan kebingungan yang tidak menentu. Kaum cendikiawan cenderungnya terjebak pada alienasi dan frustasi, ilmuan mayoritas menjadi pelegitimasi rezim dan membiarkan keluh tangis rakyat, politisi jelas hanyalah berfikir kekuasaannya, pemodal semakin menjadi raja dan berkuasa sedangkan rakyat semakin menderita, menangis dan tradisi "kufur" semakin meningkat dan membesar. Perihal ini tergambar secara faktual dari mulai kasus PKL yang digusur, pendidikan yang selangit, rumah prostitusi yang semakin tidak menampung, HIV yang menguat, pencurian yang semakin sadis, narkoba, kemiskinan yang tidak membesar dan lain sebagainya yang melambangkan era jahiliyyah modern.
Untuk melepas dari jerat-jerat jahiliyyah modern kekinian haruslah ada perlawanan yang total dari rakyat. Semestinya ada konsolidasi yang lebih massif untuk merebut negara dan kembali menempatkannya sebagai medan publik yang kebijakan-kebijakannya berpijak pada landasan publik bukan medan privat yang sekedar dikuasai oleh segelintir orang yang mempunyai modal. Dengan demikian pilihan cut generation dan berevolusi haruslah didesakkan secara terus menerus, dan dalam Islam tidaklah cukup dengan kekuatan ‘massa’ tapi kering secara intelektual. Melainkan lebih dari itu, proyek cut generation dan berevolusi itu ialah proyek penguatan-penguatan kapasitas kesadara kritis (iqra’) dan pentradisian untuk menciptaptakan madzhab intelektualisme. Konteks ini merupakan salah satu ijtihad kita bersama untuk menemukan kembali "Perjuangan" HMI khususnya HMI Badko Indonesia bagian tengah sebagai penanggungjawab koordinasi yang seringkali berhadap-hadapan dengan komparador liberal neo liberalisme di tingkat lokal. (red)