ELAN VITAL KESADARAN KRITIS
MAHASISWA DAN GERAKAN MAHASISWA
Moh. Syafi’ie *
Mendialogkan peran elemen gerakan mahasiswa dalam menanggapi persoalan-persoalan pada ranah sosial utamanya yang terjadi ditingkatan kampus sangat sering kita melaksanakannya baik ketika minum kopi di angkringan, makan di pecel lele, bahkan pada tingkatan yang lebih serius pada acara simposium, seminar ataupun workshop gerakan yang substansinya, mempertanyakan ulang peran dan positioning gerakan mahasiswa kini. Namun ironisnya, perbincangan dalam diskusi baik serius ataupun tidak serius itu kerapkali cenderungnya berhenti pada dataran lidah, janji atau seringkali menjadi perbincangan seremonial an sich.
Indikasi tradisi cepat lupa dan seremonial an sich ini secara sosiologis merupakan pertanda satu krisis kemanusiaan kontemporer dimana menganggap perjumpaan, perbincangan, janji, kesepakatan, kekerabatan ataupun bentuk lainnya sekedar menjadi sesuatu yang dangkal, kurang bermakna, artifisial dan segalanya dihitung atas rasionalitas untung dan rugi (benefit cost ratio). Hal ini jugalah yang digelisahkan oleh tokoh revolusioner Ali Syari’ati tentang krisis manusia modern dimana dalam sistem hidup mereka terkonstruksi atas budaya yang instan, pragmatis dan praktis sehingga secara sadar kondisi tersebut akan menghancurkan terhadap proyeksi perwujudan tatanan yang berkeadilan kedepan. Dalam bahasa yang implisit dengan maksud yang serupa Hannah Arendt menyebutkan, krisis manusia modern ialah hilangnya nilai-nilai reflektif sehingga menyebabkan hilangnya identitas kediriannya, kesejatiannya dan mereka terkonstruksi atas provokasi kekuatan massa (eksternal) yang secara sadar mampu mengubah terhadap pemikiran, gaya hidup (life style) serta orentasi hidupnya yang material dalam lingkup sosial.
Persoalan besar elemen gerakan mahasiswa saat ini, terjadinya polarisasi, keberpisahan tujuan universal serta menguatnya budaya perbedaan yang cukup tajam baik disebabkan atas muatan ideologis, ras ataupun kelompok sosial sehingga menghilangkan terhadap visi utamanya menegakkan keadilan dan mewujudkan kerahmatan universal (rahmatan lil alamien). Di internal gerakan mahasiswa masih menguat budaya saling ‘memusuhi’ dan tidak hidup dalam tradisi kearifan, persaudaraan, saling bahu membahu dalam kebaikan dan bersama-sama melawan kelaliman dan keburukan. Kondisi semeraut intenal gerakan mahasiswa inilah yang kemudian memalingkan terhadap orentasi keberpihakan substantif sosialnya. Disadari atau tidak kondisi ini dimanfaatkan oleh kekuatan rezim dan birokrasi kampus dan efeknya semakin melegitimasi terhadap merajalelanya penindasan rezim pemerintah terhadap masyarakatnya dan kalau pada tingkatan kampus semakin melegitimasi kesewenangan birokrasi kampus terhadap areal sistem pendidikan; baik berupa pelayanan, pembayaran pendidikan, peridzinan, pengajaran ataupun lainnya yang jelas tidak berpihak pada keadilan mahasiswa.
Konteks demikian di atas sama halnya dengan sejarah politik kolonial belanda dahulu kala, dimana mereka untuk melanggengkan penjajahannya dan demi kepentingan ekonomi, agama dan kekuasaannya, mereka menggunakan taktik politik pecah belah (divide it impera) dikalangan masyarakat pribumi. Perbedaan lintas kelompok baik berdasarkan atas nama agama, ras, suku ataupun lainnya sengaja dipelihara dan disuburkan. Gerakan umat beragama bergerak masing-masing bahkan saling berbenturan, mahasiswa bergerak rata-rata menggunakan bendera kedaerahan masing dan seringnya bermusuhan, dan penduduk indonesia dipolarisasi dengan sistemik sesuai dengan kekuasaan dan kebangsaannya. Secara strategis kolonial Belanda memainkan taktik ini dengan sistematik bahkan untuk mendukung kerja penjajahannya mereka sengaja meng’anak-emas’kan kelompok-kelompok pribumi tertentu dan mendanainya sehingga penduduk pribumi ribut sendiri di internalnya karena ada penghianatan elit pribumi dan dalam keadaan sadar mereka melupakan terhadap musuh utamanya penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda.
Konteks persoalan gerakan kemahasiswaan yang terjebak pada ego subyektif kelompok, polarisasi ideologis dan terjebak pada taktik elit borjuis rezim meniscayakan untuk sharing bersama, menjernihkan ulang terkait komitmen perubahan, visi-misi perubahan serta sentral isu perubahan pada aras gerakan kemahasiswaan sehingga eksistensinya semakin dirasakan oleh masyarakat secara umum. Disinilah letak pentingnya gerakan mahasiswa sebagai komunitas intelektual tercerahkan, dimana mampu merumuskan cita-cita bersama, senantiasa bersekutu dalam membela kebenaran walaupun berbeda warnanya serta bekerjasama menumpaskan kejahatan dan keburukan walaupun terpolarisasi atas lintas kelompok dan golongan.
Pendidikan Dehumanistik
Disadari atau tidak, kematian gerakan mahasiswa dalam melakukan kritik sosial keummatan disebabkan sudah terbunuhnya paradigma pendidikan yang mencerahkan dan memerdekakan. Secara teoritik Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dan pendidikan adalah proses membangkitkan kesadaran kritis. Sehingga dalam konteks ini mahasiswa memang diciptakan sebagai komunitas yang dipandang sebagai kekuatan intelektual dan berkesadaran kritis. Label dan positioning mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang dari dulu senantiasa dilekatkan sebagai kelompok agen of change karena mahasiswa dan gerakan mahasiswa dipahami sebagai gerakan kritis, obyektif, berani menanggung resiko dan merdeka dari kepentingan penetrasi golongan elit, rezim ataupun kepentingan kepartaian. Idealisme, pada diri mahasiswa berkobar sebagaimana bara api yang siap menghanguskan terhadap musuh yang mengganggu terhadap keyakinan yang mereka teriakkan.
Mahasiswa dipandang sebagai kekuatan pemuda yang masih netral, lugu, bersih dan terbebaskan dari kepentingan-kepentingan kekuasan. Makanya sangat wajar ungkapan yang dikemukakan Soekarno, "berikan aku sepuluh pemuda, maka saya akan merubah dunia!. Sedemikian percayanya Soekarno atas kekuatan pemuda dan mahasiswa sehingga kalau kita membaca teks-teks pidato revolusionernya, terlihat jelas bahwa Soekarno merupakan pribadi yang paling akrab dengan pemuda. Pesan pidatonya mendukung jiwa-jiwa perlawanan mahasiwa, dan konon akhir karir politiknya juga karena kekuatan para kelompok kritis demonstran mahasiswa. Idealisme dan Jargon-jargon perubahan inilah yang membanggakan kita sebagai mahasiswa bahkan seringkali sampai detik ini kita elu-elukan secara heroik untuk menyambut kedatangan mahasiswa baru.
Menjadi pertanyaan yang sangat mendasar ketika mahasiswa dan gerakan mahasiswa saat ini menjadi komunitas penakut, tidak bisa berteriak lantang, atau membiarkan kelaliman-kelaliman oleh rezim dan birokrasi terus menerus terjadi. Bahkan yang tragis lagi, mahasiswa dan gerakan mahasiswa saat ini semakin jauh dari kerja-kerja advokasi sosial, keberpihakan sosial serta ironisnya mereka kini lebih banyak menjadi corong dari kepentingan-kepentingan elit. Sehingga suara kritis dan perlawanan mahasiswa menjadi sumbang dan serak karena positioningnya sudah terbeli dan tergadaikan pada kepentingan para elit rezim. Menurut saya, inilah titik kehancuran mahasiswa dan gerakan mahasiswa dimana sudah tidak terbangun atas idealisme kritis pemihakan keadilan dan kemanusiaan universal kecuali atas kepentingan material kekuasaan dan menjadi pembenar terhadap kepentingan elit rezim. Suara kritis dan perlawanan total mahasiswa yang dulu diharapkan masyarakat, saat ini cenderungnya menjadi tawa geli karena gerakan mahasiswa dalam pola kritis perjuangan sosialnya tidak lagi membumi dan sesuai dengan denyut suara hati masyarakanya.
Perubahan mendasar orentasi mahasiswa dan trend gerakan mahasiwa saat ini, menurut saya disebabkan sudah terkonstruksinya sistem kehidupan sosial mahasiswa pada kebudayaan material kapitalisme global. Dimana kapitalisme global dengan kekuatan modernisasi dan globalisasi mendesakkan spirit atas proyek instanisasi, kompetisi kekuasaan ekonomi serta mendesakkan atas arus sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Kehidupan sosial kemudian menjelma menjadi kekuatan kepentingan ekonomi (cost and benefit) an sich sehingga konstruksi sosialnya melahirkan manusia ekonomi (homo economicus) dan cenderungnya menghalalkan segala cara termasuk menjual belikan terhadap idealisme demi kepentingan-kepentingan materialnya . Dalam istilah ilmu hukum produk sistem yang demikian akan melahirkan manusia-manusia serigala (homo homini lupus) yang dalam kehidupannya hanyalah terbangun atas paradigma kepentingan praktis, individual, paragamatis dan melupakan aspek-aspek tanggungjawab lingkungan sosialnya.
Sebenarnya kita sangat berharap bahwa pendidikanlah yang akan memberikan pencerahan dan kesadaran kritis terhadap mahasiswa dan gerakan mahasiswa, terkait peran dan tanggungjawab sosialnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syafi’i Ma’arif, bahwa hakekat pendidikan bukanlah sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang ditanamkan pendidikan tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial, budaya dan ekonomi. Dalam konteks perubahan sosial pendidikan merupakan muara dari percepatan perwujudan cita-cita keummatan karena pendidikan merupakan media tranformasi kritis pencerdasan dan pencerahan sosial. Makanya sangat cocok awalnya menempatkan mahasiswa dan gerakan mahasiswa menjadi kekuatan dinamisator yang mampu mendorong secara radikal perubahan-perubahan sosialnya baik pada tingkatan negara ataupun pada tingkatan kampus.
Kalaupun kita membaca ulang teks-teks sejarah betapa perubahan bangsa ini tidak bisa melepaskan sama sekali dari peran dan positioning mahasiswa dan gerakan mahasiswa, misalkan awal perjuangan kemerdekaan dari kolonial dimana letupan perlawanan diteriakkan oleh mahasiswa dan kaum terpelajar meliputi Soekarno, Hatta, Syahrir Wahid Hasyim dan kawan-kawan, Penurunan Soekarno sendiri yang diteriakkan mahasiswa, peristiwa Malari tahun 1974, Perlawanan terhadap NKK/BKK tahun 1978, Penentangan terhadap pemaksaan asas tunggal pancasila tahun 1983-1985, dan masih hangat diingatan kita peristiwa reformasi 1997-1998 yang juga merupakan puncak letupan kegelisahan dan perlawanan mahasiswa terhadap rezim yang diktator, otoritarian dan tidak memanusiakan manusia. Elemen mahasiswa dan gerakan mahasiswa harus kita sadari merupakan poros perubahan karena keberadaannya merupakan elit intelektual yang dunianya dipenuhi dengan pengetahuan, keilmuan, buku-buku ataupun tradisi diskusi kritis yang secara sadar atau tidak mempengaruhi terhadap bangunan karakter (character building) keterpanggilannya untuk melakukan perubahan sosial.
Menurut pengamatan saya, dalam sejarah kebangsaan dari dulu sampai era modern ini, mahasiswa merupakan salah komunitas yang sangat ditakuti oleh rezim sehingga dengan berbagai upaya dan strategi, rezim mencoba melakukan penetrasi terhadap mahasiswa dan gerakan mahasiswa. Misalkan peristiwa munculnya kebijakan NKK/BKK tahun 1978 dan kewajiban menggunakan asas tunggal pancasila tahun 1985 tidak lain merupakan fenomena pembunuhan rezim terhadap perlawanan dan kekritisan gerakan mahasiswa yang terus menerus menggerogoti terhadap kelaliman-kelaliman kebijakan rezim. Dan kita tahu pada waktu itu, rezim orde baru untuk membunuh kekritisan mahasiswa dan gerakan mahasiswa melakukan intervensi terhadap birokrasi kampus dengan menjadikan lembaga pendidikan berada di bawah koordinasi Menteri Pendidikan pemerintah dan sengaja membuat bidang kantong dalam birokrasi kampus untuk mengawasi gerak-gerik mahasiswa, seperti kalau di setingkat universitas dibentuk rektoriat bagian kemahasiswaan dan ranah fakultas dibentuk bagian Dekanat urusan kemahasiswaan. Bidang-bidang inilah dahulu yang mengangkangi kekritisan mahasiswa dan gerakan mahasiswa sehingga sangat mudah pada waktu itu rezim orde baru meminta informasi dan melakukan pemantauan. Untuk memenuhi keinginan pemerintah, birokrasi kampus kerapkali memperingatkan sangat keras bagi aktifis mahasiswa yang seringnya berdemonstrasi, melawan terhadap otoriterianisme pemerintah dan salah satu strategi jitu orde baru dibuatlah kebijakan yang mencoba memperketat perkuliahan dan kewajiban-kewajiban yang memaksa mahasiswa untuk tidak terlibat dalam ranah gerakan sosial. Secara otomatis totalitas aktifis mahasiswa melakukan perjuangan dan tranformasi keummatan terbunuh secara lambat laun.
Mahasiswa yang kritis dan kreatif dipaksa untuk menjadi robot yang pekerjaannya mendengar ceramah di kelas, kost, belajar, ikut ujian, cepat selesai dan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Sistem pendidikan yang seperti ini tidak lain merupakan proyek instanisasi dan pragmatisasi yang sengaja didesakkan oleh negara kapitalis global, dimana mereka sangat berkepentingan untuk menjadikan individu-individu dalam negara-negara berkembang sebagai buruh dan budak. Karenanya, disadari atau tidak inilah dunia pendidikan yang dehumanistik dan membunuh terhadap proyeksi perwujudan peradaban universal (rahmatan lil alamien) kedepan. Serta pendidikan yang tidak orentatif pencerahan ini hanyalah mengantarkan peserta didik pada pengusaan pengetahuan an sich dan melepaskan dari aspek-aspek etika sosialnya berupa tanggungjawab untuk mewujudkan tatanan yang berkeadilan dan berkamanusiaan.
Perihal ini juga yang digelisahkan oleh Ali Syariati bahwa cita-cita Islam bukanlah mencetak manusia ilmuan sebagaimana dalam tradisi barat yang sekuler dan memisahkan keberadan agama dan ilmu tetapi menegaskan mencetak manusia intelektual yang mampu menempatkan pengetahuannnya sebagai pembebasan sosial masyarakat dari segala bentuk tirani dan diktatorian. Seorang intelektual dalam konteks pemikiran Ali Syariati merupakan komunitas yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Menangkap aspirasi masyarakatnya dan memberikan solusi pemecahan terhadap permasalahan yang berkembang. Pada dasarnya kegiatannya tidak didasarkan pada tujuan dan kepentingan praktis kekuasaan tetapi mereka dalam kapasitas intelektualnya membantu masyarakat menemukan kepuasan dalam mempraktikkan seni atau ilmu pengetahuan.
Berharap Lahirnya Kesadaran Kritis
Mengharapkan perubahan dalam sistem ke Indonesiaan ataupun birokrasi kampus memerlukan ke-istiqamahan dan total memegang teguh idealisme. Satu fondasi kekuatan keyakinan yang tahan diterpa dengan berbagai rintangan dan cobaan baik itu cobaan material kekuasaan, harta, wanita, ataupun cobaan lainnya yang terus berkonstelasi dalam arus modernisasi dan globalisasi yang kapitalistik.
Tantangan terbesar saat ini utamanya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Telah hilangnya tanggungjawab elit pemerintah untuk memahami kondisi kemiskinan masyarakatnya dan di lain pihak pemerintah terus berkonspirasi dengan para pemodal besar seperti IMF, World Bank, Asean Development Bank, WTO serta perusahan-perusahan multi nasional dan transnasional (MNC/TNC), serta blok-blok ekonomi regional APEC, NAFTA dan lain sebagainya untuk melakukan upaya pendesakan pasar bebas dan mengkampanyekan liberalisasi dalam berbagai aspek utamanya dalam areal kepentingan strategis mereka untuk mendominasi kekuatan ekonomi melalui liberalisasi keuangan, perdagangan serta penguasaan total terhadap badan-badan usaha milik negara.
Semenjak Indonesia mengalami krisisi moneter dan memuncak pada pertengahan tahun 1997, elit rezim pada waktu secara resmi mengundang kehadiran IMF memulihkan krisis moniter bangsa Indonesia dan berhutang sebesar US$ 41 Milyar untuk cadangan devisa di Bank Indonesia. Secara prosedural IMF meminjamkan hutang kepada Indonesia dan secara licik IMF mensyaratkan kepada pemerintah Indonesia untuk menandatangani Letter Of Intens (LOI) untuk mengubah sistem perekonomian keindonesiaan menjadi sistem ekonomi liberalisme neo liberal dan IMF mensyaratkan bahwa semua program ekonomi dan langkah-langkah reformasi, mesti atas persetujuan lembaga itu. Beberapa tuntutannya membuka total terhadap kepentingan pasar, memberikan peluang total terhadap para pemodal besar di negara-negara kolonial untuk hidup dan berkembang secara leluasa di bumi Indonesia dan bahkan mengeksplorasi sumber-sumber usaha yang dikuasai negara.
Dampak langsung yang masyarakat Indonesia rasakan kini adalah sistemiknya penindasan karena dicabutnya subsidi terhadap kepentingan publik sehingga Bahan Bakar Minyak naik melambung tinggi, Tarif Dasar Listrik yang terus menerus mau dinaikkan, Beras yang tidak terkontrol harganya di pasaran, Pendidikan tinggi negeri yang diprivatisasi melalui BHP, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang semestinya dikelola demi kepentingan masyarakat dan tetap terjaga efek lingkungannya tetapi tanpa berdosa pemerintah rame-rame menjualnya kepada pemodal asing, seperti Newmont, Blok Cepu, Natuna, Freport, BHP dan tahun 2007 ini sekitar 17 BUMN akan dijual oleh pemerintah Indonesia, kebijakan liberalisasi keuangan dan perdagangan yang berimbas secara langsung terhadap eksistensi usaha-usaha masyarakat Indonesia dan sangat menguntungkan pemodal asing. Dan saat ini pemerintah lagi menggarap RUU Penanaman Modal dan pada tanggal, 13 Maret 2007 kemarin rencana mau disahkan, dimana isinya jelas menambah daftar kekejaman yang dilakukan oleh elit rezim negara, dimana muatannya tidak berpihak sama sekali kepada kepentingan sosial ekonomi masyarakat utamanya mereka yang bekerja menjadi buruh pabrik serta memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pemodal asing.
Krisis kritisisme mahasiswa dan gerakan mahasiswa kontemporer menurut pengamatan saya disebabkan, pertama, tidak lain merupakan akibat dari skenario elit negara yang berkonspirasi dengan para pemodal besar IMF, World Bank, Asean Development Bank, WTO serta kolonial global lainnya untuk membunuh masyarakat dan khususnya kaum terdidik mahasiswa sehingga tidak berfikir kritis lagi dan terus menerus disibukkan dengan persoalan-persoalan individual yang lebih bersifat penindasan secara ekonomi. Terbukti masyarakat sekarang sudah terjebak pada kepentingan individual masing-masing dan bahkan mengarah pada anarkisme sosial berupa menguatnya budaya pencurian, penculikan, pembunuhan ataupun kekerasan lainnya yang kalau ditelaah lebih jauh motifnya adalah karena kepentingan keuangan.
Dalam konteks mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang seringkali diharapkan menjadi katalisator perubahan saat ini juga terjebak pada penindasan secara ekonomi; biaya pendidikan setinggi langit, kebutuhan hidup mahalnya luar biasa, dan kebutuhan berjuang untuk konsolidasi internal dan lintas gerakan sangat susah disebabkan biaya BBM, komunikasi, dan transportasi cenderungnya tidak terjangkau sehingga semakin menjauhkan areal silaturahmi, keakraban, persaudaraan dan soliditas gerakan mahasiswa.
Penyebab kedua, pendidikan sudah tidak lagi menjadi medium transformasi pencerahan, pemerdekaan dan mengantarkan pada kesadaran kritis. Indikasi utamanya ternyata produk pendidikan saat ini lebih banyak diam, hura-hura, happy, pasif dan tidak terbangun tanggungjawab sosialnya bahkan jeritan masyarakat karena penindasan yang rata-rata dilakukan rezim dan pemodal mengalir begitu saja. Ironisnya lagi, dosa yang dilakukan birokrasi kampus; memenjarakan mahasiswa sehingga tidak bisa beraktifitas secara merdeka dan berkembang secara kreatif diluar kampus. Kebijakan-kebijakan kampus lebih banyak berorentasi bangunan proyek ‘instan’ untuk menghasilkan produk-produk robot yang nantinya diperjualbelikan sesuai selera pabrik. Secara paradigmatik konsepsi yang dibangun oleh kampus saat ini jelas bertentangan secara filosofis dengan keberadaan pendidikan yang diharapkan mampu menjadi pembebas dari kemiskinan, kebodohan dan kekerasan yang terus menerus merajalela. Pendidikan yang hanya menghasilkan ilmuan instan dan produk mahasiswa yang tidak kreatif akan memunculkan krisis kemanusiaan kontemporer.
Sedangkan yang ketiga, disebabkan atas positioning personal mahasiswanya yang tidak mempunyai identitas kedirian dan kesejatian yang matang. Sehingga identitasnya lemah dan masih terombang-ambing oleh pengaruh arus besar global yang kapitalistik. Serta faktor-faktor lainnya baik yang timbul dari aras internal maupun eksternal karena bagaimanapun membincangkan komitmen perubahan sosial banyak aspek yang mempengaruhi dan mendorong atas akselarasi pencapaian tujuan perubahan sosial tersebut- baik itu keyakinan agama, prinsip hidup, lingkungan sosial, ataupun lainnya.
Untuk mengembalikan ruh perjuangan dan idealisme gerakan mahasiswa yang sudah mulai menghilang, meniscayakan untuk melakukan pembacaan ulang, refleksi kritis dan dari mana kita akan memulai perubahan dari kondisi sistem tirani yang menggurita ini? Yang jelas kondisi organisasi sudah kurang diminanti, perjuangan demonstrasi sudah tidak trend lagi, forum-forum diskusi intelektual sepi peminat, kelompok studi kritis tidak membudaya, perpustakaan sepi pengunjung dan ironisnya mahasiswa lebih senang happy-happy, Cafee, diskotik, dan menjadikan kampus sekedar tempat bertamasya. Tradisi intelektual yang biasa melekat pada kultur kemahasiswaan sudah menghilang dengan sedemikian rupa. Kondisi ini merupakan suasana yang sangat memprihatinkan dan semakin memburamkan perwujudan cita-cita peradaban universal yang secara sadar kita harapkan muncul dari lembaga-lembaga pendidikan.
Dalam perspektif yang lain, sebenarnya saya ingin menegaskan bahwa kita perlu mengubah wajah bangsa ini yang khianat menjadi bangsa yang adil, bijaksana dan berpihak pada kemanusiaan universal. Juga mengganti kebijakan dan tradisi pendidikan yang buram dengan mendesakkan perubahan kebijakan pendidikan yang mencerahkan dan menghidupkan tradisi intelektual dangan kembali menghidupkan ruang-ruang publik untuk dijadikan tempat diskusi kritis, dialog peradaban dan perbincangan konstelasi keummatan kontemporer. Dalam perspektif ini, saya masih berkeyakinan bahwa mahasiswa dan gerakan mahasiswa akan bangkit, bergerak, lantang dan mampu menjadi kekuatan transformator kesadaran kritis masyarakat sehingga mampu mengganjar terhadap kelaliman dan penghianatan elit. Namun, persoalannya kalau mahasiswa dan gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi kekuatan intelektual yang kritis saya sangat meragukan bahwa keberadaan mereka akan menjadi solusi alternatif dari kejumudan, kesemarautan, dan diktatorian sistem yang terus menerus terjadi sampai detik ini, kecuali malah menjadi penghianat yang serupa?Naudzubillah Min Dzalik!
* Penulis adalah Ketua Umum HMI Badko Inbagteng 2007-2009
selengkapnya.....