(Menuju) Revolusi Paradigmatik Gerakan Mahasiswa
Oleh : Suryo Albar *
Oleh : Suryo Albar *
Pada level kenegaraan, gerakan mahasiswa telah memposisikan diri secara jelas yaitu yang pertama sebagai social control, yang kedua sebagai pressure group dan yang ketiga produser elemen civil society sejati. Social control dan pressure group merupakan bagian dari aktualisasi ide dan gagasan perubahan yang yang diusung gerakan mahasiswa. Dimana aras idealita dibenturkan dengan realitas kontemporer, maka dengan kekritisannya melahirkan gerakan perlawanan. Sedangkan posisi gerakan mahasiswa sebagai produser elemen civil society sejati merupakan kerja-kerja peradaban yang abadi, kerja kaderisasi, membentuk sebanyak mungkin pejuang se ide se aliran untuk menguatkan perlawanan. Pada konteks ini, gerakan mahasiswa adalah penyumbang masyarakat kelas menengah keatas yang pada kenyataannya menjadi kelompok paling berpengaruh di seluruh elemen kehidupan masyarakat.
Peran gerakan mahasiswa diatas bisa tercapai apabila gerakan mahasiswa mampu melakukan dua hal dibawah ini. Yang pertama: mampu merumuskan visi kebangsaan yang universal. Visi universal ini akan menjadi elan vital gerakan bersama. Dalam gerakan bersama ini, visi kebangsaan universal ini menjadi ruh gerak yang menyatukan seluruh kepentingan dan perbedaan eksisting gerakan mahasiswa itu sendiri. Tanpa visi kebangsaan universal ini, masifikasi gerakan mahasiswa bersifat prematur. Yang kedua: mampu melakukan konsolidasi secara masif dan ditindak lanjuti dengan membangun aliansi strategis dengan elemen civil society lainnya seperti kelompok agama, buruh dan petani dan lain-lain. Konsolidasi ini penting dilakukan mengingat kekuatan tiran adalah kekuatan besar yang bersimbiosis dengan kapitalisme global. Perlawanan parsial gerakan mahasiswa hanya akan menjadi bentuk bunuh diri tanpa arti.
Tetapi sebelum terlalu jauh merumuskan arah gerak gerakan mahasiswa, kita refleksi dulu, kita lihat realitas apa yang sekarang berlangsung. Bukankah narasi dan konsep gerakan mahasiswa diatas merupakan wacana klasik, sudah ada sejak dulu. Kita juga tidak boleh munafik, kondisi hari ini yang telah mengalami pembusukan sistem juga buah karya gerakan mahasiswa.
Kita bisa membaca realitas kekinian dimana hampir di setiap lini kehidupan terdapat pragmatisme dan materialisme yang sangat mendominasi. Baik bidang politik, budaya maupun ekonomi digerakkan oleh paradigma dan ilmu yang cacat epistemologi dan sangat jauh dari spiritualitas dan etika profetik. Bagaimana tidak, setiap hari kita diberi tontonan tentang kasus-kasus permisivisme terhadap pelanggaran hukum, birokrasi korup, demoralisasi politisi dan seabrek masalah lainnya yang tak kunjung henti. Politik menjadi begitu kanibal. Virtual assasination digerakkan dengan gencar, hanya untuk mengangkat image building partai melalui serangan bertubi-tubi iklan televisi. Realitas semu sengaja di create oleh production house partai, seolah-olah merupakan realitas obyektif. Deviasi, eksentrisitas, penggelapan makna, pengaburan realita terlihat begitu jelas. Seolah partai politik adalah hero. Tentu, virtual assasination ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Praktis, pemberdayaan riil masyarakat terabaikan karena anggaran tersedot pada pembuatan iklan ini. Lagi-lagi masyarakat hanya menjadi komoditas politik, tidak diperhatikan kesejahteraannya, hanya dimanfaatkan suaranya untuk mendulang pemilu, merebut kursi empuk kekuasaan. Melihat kondisi ini, seolah tak ada lagi peluang yang memberi ekspektasi yang meyakinkan akan kondisi futuristik negeri ini yang lebih beradab dan memakmurkan rakyat.
Belum lagi kita dipertontonkan pada parodi politik aktivis 98. Reformasi yang tidak menyentuh substansi ini diperkuat dengan manuver aktivis 98 yang sangat tipis memberi harapan. Reformasi beserta eksponen yang terlibat di dalamnya ternyata hanya sebatas fenomena politik. Tidak lebih dari itu. Alih-alih menumbangkan rezim tiran orde baru, kini malah menciptakan sistem korup baru. Masuknya aktivis 98 pada pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang akan datang membuktikan bahwa mereka tidak memiliki visi bersama terkait perbaikan bangsa. Gerakan ekstra parlementer 98 dilanjutkan dengan gerakan parlementer yang cacat metodologi. Tentu ini bencana bagi gerakan mahasiswa. Tentu boleh, aktivis 98 masuk politik dan mengubah strategi gerakan dari ekstra ke intra parlementer, tetapi gerakan ini mesti terkoordinasi dan tidak cacat prosedur apalagi mengingkari idealisme yang diyakini. Kondisi dengan seluruh partai politik eksisting bermasalah, partai baru yang tidak lain adalah jelmaan dan bentuk konsolidasi orde baru Suharto, mestinya menjadi pertimbangan untuk menentukan timing kapan melanjutkan perjuangan melalui intra parlementer. Yang ada sekarang adalah ketidaktahanan dan ketidak sabaran, sehingga aktivis 98 masuk parlemen secara parsial, lupa merumuskan visi bersama, mengabaikan impian dan cita-cita besar akan perbaikan sistem ke-Indoonesiaan. Masuknya aktivis 98 pada partai politik bermasalah hanya akan mereduksi idealisme, mereka mau tidak mau, suka tidak suka, harus akomodatif, toleran dan kompromi dengan sistem partai. Ternyata aktivis 98 dibutakan matanya dari sejarah. Mereka tidak belajar dari aktivis 66 yang ketika masuk partai dengan pola pice meal (tambal sulam) ternyata tidak efektif, malah ikut dalam proses pembusukan sistem sampai pada akhirnya melahirkan rezim tiran Suharto.
Lebih jauh lagi tentang refleksi kita. Adalah keserakahan kapitalisme global, kekejian neoliberalime yang digawangi Amerika dan negara-negara kaya Eropa, yang ternyata berpengaruh sangat signifikan terhadap grand design bangsa kita. Keterjebakan-keterjebakan Indonesia, semakin lama semakin diamini oleh elit kita, atau calon elit kita. Negara ogah memberi subsidi pendidikan, pemerintah hobi menjual asset negeri atas nama privatisasi dan investasi, kontrak-kontrak minyak dan energi antara Indonesia dan TNC/MNC penuh manipulasi, kebijakan moneter Indonesia di dikte dan dikebiri dengan dibuatkan modulnya oleh negara donor dan disiapkan orangnya oleh IMF, produk regulasi dibuat atas request pemodal asing, SEMUANYA itu tidak lain dan tidak bukan adalah fenomena penghambaan Indonesia pada kekuatan kapitalisme neoliberalisme. Concensus Washington secara tidak langsung seperti menjadi buku panduan pengelolaan kebijakan di negeri ini. Posisi dan daya tawar negara menjadi sangat lemah di hadapan pemilik modal, di hadapan asing, di hadapan Amerika, Eropa, termasuk negara tetangga kita Jepang dan Singapura.
Lalu, bagaimana dengan ummat Islam Indonesia? Sebagai mayoritas penduduk negeri ini, ummat Islam Indonesia perlu dipertanyakan signifikansi perannya. Mengapa tidak ada korelasi yang positif antara posisi sebagai mayoritas penduduk dengan perbaikan sistem ke-Indonesiaan? Yang ada, kondisi ummat Islam Indoonesia enjoy dengan perpecahan. Tidak pernah berfikir bagaimana menyatukan potensi yang berserak, merumuskan agenda bersama keummatan dan ke-Indonesiaan. Justru mereka lebih suka menonjolkan perbedaan. Atas nama agama kekerasan diperbolehkan, berebut kuota haji, tetangga sendiri malah lupa disuapi sehingga busung lapar dan mati.
Kembali ke awal membincang peran gerakan mahasiswa dalam konteks kenegaraan. Melihat arus yang begitu besar, maka tentu dibutuhkan cara-cara yang tidak biasa, bukan cara-cara reguler. Fungsi social control, presure group, produser civil society sejati bisa dilaksanakan asalkan ada konsolidasi gerakan. Secara garis besar, busuknya sistem digerakkan oleh produk gerakan mahasiswa tahun 80-an. Aktivis 80-an jelas lebih fasih bicara, fasih agama, tapi tidak terbukti nyata. Idealisme, niatan menjadi mujahid, pejuang, negarawan, luntur fungsi waktu. Apakah ini hukum alam yang akan terjadi pada kita juga? Kalau saja iya, tentu ini, teriakan idealisme, hanya sebatas parodi saja. Tak lebih dari itu. Maka tidak ada pilihan lain, aktivis mahasiswa sekarang harus melakukan rethingking, harus berani melakukan revolusi paradigmatik terkait komitmennya pada kebenaran, pembelaan pada kaum lemah dan marginal, dan melakukan paling tidak dua hal yang telah disebutkan di depan yaitu bersama dengan gerakan lain merumuskan visi universal dan melakukan konsolidasi yang masif. Langkah kongkrit ini mesti segera dilakukan. Jangan menunggu, bergeraklah sekarang juga, buktikan gerakan mahasiswa adalah subyek sejarah dan peradaban yang menentukan kemana arah bangsa.
* Penulis adalah Ketua formatur HMI MPO Cabang Sleman, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM
Tetapi sebelum terlalu jauh merumuskan arah gerak gerakan mahasiswa, kita refleksi dulu, kita lihat realitas apa yang sekarang berlangsung. Bukankah narasi dan konsep gerakan mahasiswa diatas merupakan wacana klasik, sudah ada sejak dulu. Kita juga tidak boleh munafik, kondisi hari ini yang telah mengalami pembusukan sistem juga buah karya gerakan mahasiswa.
Kita bisa membaca realitas kekinian dimana hampir di setiap lini kehidupan terdapat pragmatisme dan materialisme yang sangat mendominasi. Baik bidang politik, budaya maupun ekonomi digerakkan oleh paradigma dan ilmu yang cacat epistemologi dan sangat jauh dari spiritualitas dan etika profetik. Bagaimana tidak, setiap hari kita diberi tontonan tentang kasus-kasus permisivisme terhadap pelanggaran hukum, birokrasi korup, demoralisasi politisi dan seabrek masalah lainnya yang tak kunjung henti. Politik menjadi begitu kanibal. Virtual assasination digerakkan dengan gencar, hanya untuk mengangkat image building partai melalui serangan bertubi-tubi iklan televisi. Realitas semu sengaja di create oleh production house partai, seolah-olah merupakan realitas obyektif. Deviasi, eksentrisitas, penggelapan makna, pengaburan realita terlihat begitu jelas. Seolah partai politik adalah hero. Tentu, virtual assasination ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Praktis, pemberdayaan riil masyarakat terabaikan karena anggaran tersedot pada pembuatan iklan ini. Lagi-lagi masyarakat hanya menjadi komoditas politik, tidak diperhatikan kesejahteraannya, hanya dimanfaatkan suaranya untuk mendulang pemilu, merebut kursi empuk kekuasaan. Melihat kondisi ini, seolah tak ada lagi peluang yang memberi ekspektasi yang meyakinkan akan kondisi futuristik negeri ini yang lebih beradab dan memakmurkan rakyat.
Belum lagi kita dipertontonkan pada parodi politik aktivis 98. Reformasi yang tidak menyentuh substansi ini diperkuat dengan manuver aktivis 98 yang sangat tipis memberi harapan. Reformasi beserta eksponen yang terlibat di dalamnya ternyata hanya sebatas fenomena politik. Tidak lebih dari itu. Alih-alih menumbangkan rezim tiran orde baru, kini malah menciptakan sistem korup baru. Masuknya aktivis 98 pada pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang akan datang membuktikan bahwa mereka tidak memiliki visi bersama terkait perbaikan bangsa. Gerakan ekstra parlementer 98 dilanjutkan dengan gerakan parlementer yang cacat metodologi. Tentu ini bencana bagi gerakan mahasiswa. Tentu boleh, aktivis 98 masuk politik dan mengubah strategi gerakan dari ekstra ke intra parlementer, tetapi gerakan ini mesti terkoordinasi dan tidak cacat prosedur apalagi mengingkari idealisme yang diyakini. Kondisi dengan seluruh partai politik eksisting bermasalah, partai baru yang tidak lain adalah jelmaan dan bentuk konsolidasi orde baru Suharto, mestinya menjadi pertimbangan untuk menentukan timing kapan melanjutkan perjuangan melalui intra parlementer. Yang ada sekarang adalah ketidaktahanan dan ketidak sabaran, sehingga aktivis 98 masuk parlemen secara parsial, lupa merumuskan visi bersama, mengabaikan impian dan cita-cita besar akan perbaikan sistem ke-Indoonesiaan. Masuknya aktivis 98 pada partai politik bermasalah hanya akan mereduksi idealisme, mereka mau tidak mau, suka tidak suka, harus akomodatif, toleran dan kompromi dengan sistem partai. Ternyata aktivis 98 dibutakan matanya dari sejarah. Mereka tidak belajar dari aktivis 66 yang ketika masuk partai dengan pola pice meal (tambal sulam) ternyata tidak efektif, malah ikut dalam proses pembusukan sistem sampai pada akhirnya melahirkan rezim tiran Suharto.
Lebih jauh lagi tentang refleksi kita. Adalah keserakahan kapitalisme global, kekejian neoliberalime yang digawangi Amerika dan negara-negara kaya Eropa, yang ternyata berpengaruh sangat signifikan terhadap grand design bangsa kita. Keterjebakan-keterjebakan Indonesia, semakin lama semakin diamini oleh elit kita, atau calon elit kita. Negara ogah memberi subsidi pendidikan, pemerintah hobi menjual asset negeri atas nama privatisasi dan investasi, kontrak-kontrak minyak dan energi antara Indonesia dan TNC/MNC penuh manipulasi, kebijakan moneter Indonesia di dikte dan dikebiri dengan dibuatkan modulnya oleh negara donor dan disiapkan orangnya oleh IMF, produk regulasi dibuat atas request pemodal asing, SEMUANYA itu tidak lain dan tidak bukan adalah fenomena penghambaan Indonesia pada kekuatan kapitalisme neoliberalisme. Concensus Washington secara tidak langsung seperti menjadi buku panduan pengelolaan kebijakan di negeri ini. Posisi dan daya tawar negara menjadi sangat lemah di hadapan pemilik modal, di hadapan asing, di hadapan Amerika, Eropa, termasuk negara tetangga kita Jepang dan Singapura.
Lalu, bagaimana dengan ummat Islam Indonesia? Sebagai mayoritas penduduk negeri ini, ummat Islam Indonesia perlu dipertanyakan signifikansi perannya. Mengapa tidak ada korelasi yang positif antara posisi sebagai mayoritas penduduk dengan perbaikan sistem ke-Indonesiaan? Yang ada, kondisi ummat Islam Indoonesia enjoy dengan perpecahan. Tidak pernah berfikir bagaimana menyatukan potensi yang berserak, merumuskan agenda bersama keummatan dan ke-Indonesiaan. Justru mereka lebih suka menonjolkan perbedaan. Atas nama agama kekerasan diperbolehkan, berebut kuota haji, tetangga sendiri malah lupa disuapi sehingga busung lapar dan mati.
Kembali ke awal membincang peran gerakan mahasiswa dalam konteks kenegaraan. Melihat arus yang begitu besar, maka tentu dibutuhkan cara-cara yang tidak biasa, bukan cara-cara reguler. Fungsi social control, presure group, produser civil society sejati bisa dilaksanakan asalkan ada konsolidasi gerakan. Secara garis besar, busuknya sistem digerakkan oleh produk gerakan mahasiswa tahun 80-an. Aktivis 80-an jelas lebih fasih bicara, fasih agama, tapi tidak terbukti nyata. Idealisme, niatan menjadi mujahid, pejuang, negarawan, luntur fungsi waktu. Apakah ini hukum alam yang akan terjadi pada kita juga? Kalau saja iya, tentu ini, teriakan idealisme, hanya sebatas parodi saja. Tak lebih dari itu. Maka tidak ada pilihan lain, aktivis mahasiswa sekarang harus melakukan rethingking, harus berani melakukan revolusi paradigmatik terkait komitmennya pada kebenaran, pembelaan pada kaum lemah dan marginal, dan melakukan paling tidak dua hal yang telah disebutkan di depan yaitu bersama dengan gerakan lain merumuskan visi universal dan melakukan konsolidasi yang masif. Langkah kongkrit ini mesti segera dilakukan. Jangan menunggu, bergeraklah sekarang juga, buktikan gerakan mahasiswa adalah subyek sejarah dan peradaban yang menentukan kemana arah bangsa.
* Penulis adalah Ketua formatur HMI MPO Cabang Sleman, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM
0 komentar:
Posting Komentar