30 Oktober 2008

Gerakan Kaum Muda

Meretas Jalan Baru Gerakan Kaum Muda


PETA gerakan pemuda dan mahasiswa (baca: kaum muda), sebenarnya bisa diamati dalam dua-tiga dekade terakhir ini. Generasi-generasi dekade 1980-an hingga medio 1990, telah meletakkan dasar-dasar epistemologis, keilmuan, dan konsolidasi gerakan secara ”tersembunyi” (underground). Term ini terbukti berhasil memberikan ”ruh” untuk melakukan perlawanan intelektual terhadap represi politik yang hegemonik pada era rezim saat itu.
Pada akhir 1990-an, gerakan kaum muda menemukan pijakan aksiologisnya, yakni dalam visi menuntut perubahan (reformasi) yang pada gilirannya membuat pemimpin Orde Baru lengser dari tampuk kekuasaan Indonesia. Sukses gerakan kaum muda bersama seluruh elemen masyarakat inilah yang kemudian menandai telah masuknya babak era baru yang dipercaya lebih demokratis.
Lalu setelah disadari bahwa reformasi 1998 kurang menyentuh pada hal-hal yang fundamental, maka gerakan kaum muda era tahun 2000 merasa perlu menyusun strategi lain untuk mengawal dengan seksama jalan awal reformasi. Konsolidasi terus diperkuat sampai dengan momentum Pemilu 2004, dengan harapan bahwa Pemilu sanggup membawa angin baru, sebagai upaya menggusur sisasisa watak orba yang korup, yang telah mendarah daging terutama di tingkat penyelenggara negara.

Beberapa saat menjelang pemilu tersebut, ternyata konsolidasi di basis gerakan kaum muda mengalami kebangkrutan, akibat banyaknya unsur yang larut dalam konstelasi politik kekuasaan. Gerakan kaum muda mengalami disorientasi, sehingga agenda-agenda pemberdayaan masyarakat justeru menjadi terbengkalai.
Belum lepas dari stagnasi konsolidasi, sebagian besar gerakan memandang, bahwa istilah ”reformasi” haruslah diubah menjadi ”revolusi”. Dengan revolusi yang sistemik diharapkan akan membawa perubahan yang lebih menyeluruh, yang diikuti oleh terbentuknya konstitusi baru yang lebih berpihak kepada rakyat, terbangunnya kesadaran sosial pada masyarakat, serta terjadi perubahan relasi kelas dalam struktur sosial. Untuk itu, konsolidasi seluruh gerakan menjadi sebuah keharusan.
Independensi
Ada nilai-nilai positif yang telah berkembang di era pascalengsernya Soeharto. Era reformasi ditandai dengan telah lebih terbukanya ruang publik ketimbang di zaman Orde Baru. Posisi-posisi publik yang lebih terbuka ini, dapat digunakan untuk ”membantu” negara dalam rangka keluar dari kemelut neoliberalisme yang sedang melakukan proses stateless.
Karena itu diperlukan perlawanan bersama dari negara dan rakyat terhadap kekuatan-kekuatan penyangga neoliberalistik. Artinya gerakan kaum muda saat ini memungkinkan untuk memilih suatu gerakan baru dalam pengertian yang tak hanya strategis, namun juga wilayah taktis, untuk memulai perlawanan terhadap musuh bersama (common enemys), yakni neoliberalisme yang berdimensi nasional maupun global.
Apakah ini tidak bertentangan dengan paradigma independensi gerakan yang selama ini dijunjung tinggi? Jawabannya amat relatif, sebab tergantung bagaimana gerakan kaum muda tetap mampu untuk tidak terjerumus pada watak praktisi serta kapitalistik.
Dan jika motifnya memang untuk melakukan perlawanan atas tirani neoliberalisme, baik itu di tingkat masyarakat sipil (rakyat) dan masyarakat negara (pemerintahan), maka independensi tetap bisa dipertahankan. Independensi gerakan harus dimaknai secara luas, yaitu untuk meng-independensi-kan bangsa dan negara dari hegemoni neoliberalisme.
Meretas gerakan baru
Gerakan baru kaum muda, bisa dirujuk dari pola civilizational movement, yakni suatu upaya besar yang hendak mendorong seluruh kekuatan tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep civilization. Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan ideologis yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat.
Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian tingkat keilmuan (literate society) serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan.
Ketiga, di tingkat struktur, civilizational movement mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan.
Istilah civilizational movement sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah kaum intelektual di Indonesia. Ia berasal dari kata civic, civil, atau citie, yang semua mempunyai arti ”kota” atau ”peradaban”. Dalam konteks peradaban, pengertian ini mengandung jiwa perkotaan (citizen) di mana ditandai oleh tingginya partisipasi masyarakat, maraknya inisiatif pemikiran, tercapainya kemandirian ekonomi, dan kemajuan teknologi. Maka tak salah bila kemudian konsep ”gerakan kota”, menurut Naquib al-Attas (1977:15), akan mengarahkan masyarakat pada ”suatu kehidupan manusia dalam ketinggian tata susila dan kebudayaan”.
Strategi gerakan
Gerakan kaum muda harus mampu menjadi martir dalam mengkonsolidasikan seluruh kekuatan civil yang berbasis sektor apa pun, dan pembangunan masyarakat yang berbasis lokal. Untuk itu, hal-hal yang berkenaan dengan lokalitas perlu diperhatikan.
Dengan demikian ada beberapa strategi gerakan yang seharusnya dilakukan oleh gerakan kaum muda.Pertama, penguatan visi lokal. Penguatan visi lokal berbanding lurus dengan keinginan untuk menemukan keistimewaan lokal (local uniqueness).
Di sinilah kaum muda harus bisa mencari strategi yang paling tepat, ketika berhubungan dengan pemerintahan lokal (local government). Apakah pola hubungannya dibangun secara konfliktual (vis a vis) atau dibangun di atas pondasi kemitraan (consensus), semuanya harus dipertimbangkan secara matang.
Kedua, peningkatan partisipasi lokal. Peningkatan partisipasi lokal berarti dua pengertian; pertama, partisipasi kritis, dan kedua, partisipasi kooperatif. Model partisipasi yang pertama dipakai untuk menghadapi pemerintah lokal yang korup, dan menghamba pada pemodal yang eksploitatif, sehingga dibutuhkan sikap oposisi kritis untuk mengubah struktur yang menindas tersebut. Model partisipasi yang kedua digunakan untuk menghadapi pemerintah lokal yang membutuhkan advokasi politik untuk melawan pemerintah pusat yang otoritarian atau pemodal yang eksploitatif.
Ketiga, pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal. Pengembangan kapasitas dan kompetensi mempunyai pengertian bahwa setiap sumberdaya manusia di tingkat lokal harus dapat diandalkan melalui pengelolaan yang baik atas semua sumberdaya di lokal tersebut.
Gerakan kaum muda yang berbasis intelektualisme serta concern pada pembelaannya atas kelompok ”terpinggirkan”, tampaknya memiliki peluang baru untuk merealisasikan karakter pola civilizational movement ini. Gerakan ini harus diarahkan pada upaya menghimpun seluruh potensi sosial dari berbagai elemen masyarakat untuk menggerakkan perlawanan sistemik atas tirani kekuatan global neoliberalistik.

Lukman Wibowo SPd T Guru dan Trainer Tinggal di Semarang

selengkapnya.....

Refleksi Sumpah Pemuda

Republik Kaum Muda
Yudi Latif *

Dalam sejarah Indonesia, ide tentang republik (res publica) pertama-tama diperjuangkan oleh kaum muda.
Ide sentral dari republikanisme adalah penemuan kerangka solidaritas politik yang mampu melayani kepentingan umum sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang mengalami ragam perbedaan. Proyek republikanisme berusaha mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam gelanggang republik.
Dalam konteks Indonesia, landas pacu (launchpad) cita-cita republikanisme ini adalah Sumpah Pemuda. Setelah aneka pergerakan etno-religius gagal menyatukan berbagai keragaman posisi, determinasi dan aliran ke front perjuangan bersama (historical bloc), terbitlah kesadaran baru di kalangan pemuda-pelajar dari berbagai daerah untuk mengakui komunitas impian bersama: bangsa Indonesia.


Dalam kerangka kebangsaan Indonesia ini, solidaritas kewargaan tidak didasarkan kesamaan etnis atau keagamaan, tetapi pengakuan hak yang sama atas dasar kesatuan tumpah darah (territorial conception of citizenship): tanah air Indonesia.
Untuk memperkuat solidaritas kewargaan di antara berbagai gugus kebangsaan itu, diperlukan sarana komunikasi politik. Suatu trajektori baru dalam kesadaran nasional memerlukan penarikan batas antara dunia penjajah dan yang terjajah dalam dunia simbolik. Dalam hal ini, para pemuda-pelajar yang terbiasa bertutur dalam bahasa ibunya (bahasa daerah) dan bahasa intelektualnya (Belanda) berkomitmen untuk menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.
Maka, Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun, datang dengan etos kreatif. Seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind, etos kreatif bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik (Margaret Boden, 1962).
Demikianlah, khitah pergerakan politik kaum muda terletak pada etos kreatifnya. Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada ”kejumudan” dan ”ego sektoral”, kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme. Etos kreatif kaum muda inilah yang mengantar Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.
Elan kreatif kaum muda
Setelah 80 puluh tahun Sumpah Pemuda dicetuskan, krisis nasional dan global yang ditimbulkan elemen-elemen kemapanan, sekali lagi memanggil elan kreatif kaum muda. Sejauh menyangkut pemulihan ekonomi, Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class telah melukiskan secara baik peran esensial kreativitas. Bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidak seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), tetapi bersandarkan intelegensia, pengetahuan, dan kreativitas. Kreativitas manusialah satu-satunya sumber daya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.
Isu utamanya di sini, bukan human capital dalam arti konvensional yang hanya diukur berdasarkan pendidikan formal, tetapi pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan teknologi, talenta, dan toleransi (3T)—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.
Adapun pelaku utama ekonomi kreatif (the creative economy) tak lain adalah anak- anak muda dengan etos kreatif yang kuat. Itu sebabnya mengapa dalam perekonomian global hari ini, banyak pengusaha sukses yang tumbuh dari orang-orang berusia muda.
Pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia terhambat ekosistem yang tidak kondusif akibat kebijakan dan perilaku politik yang bertentangan dengan prinsip kemaslahatan umum republikanisme. Hal ini bermula saat jagat politik yang dikuasai kaum tua lebih dikendalikan logika kemapanan yang melanggengkan kejumudan ketimbang logika pembaruan yang menumbuhkan kreativitas.
Pemblokiran elan-kreatif kaum muda sebagai pengawal cita-cita republikanisme membuat kekayaan dan keindahan negeri tak sebanding martabat bangsa: kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagaman tak mendorong keinsafan berbudi.
Pelopor politik Indonesia
Karena itu, jagat politik Indonesia harus mengalami kembali proses creative destruction lewat kepemimpinan kaum muda. Kaum muda adalah pelopor politik Indonesia. Mereka pula yang memiliki otentisitas untuk mengembalikan ke rel yang benar. Kaum muda dituntut merobohkan kelaziman politik yang merasionalisasi kepentingan individu untuk dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik harus kembali ditempatkan sebagai usaha resolusi atas problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif.
Pada peristiwa Sumpah Pemuda, creative destruction itu didorong semangat nasionalisme negatif-defensif dalam rangka menghadapi musuh dari luar. Creative destruction hari ini harus didorong semangat nasionalisme positif-progresif dalam rangka mengaktualisasikan potensi dan talenta-talenta terbaik bangsa.
Hanya dengan memuliakan potensi kreatif kaum mudalah, Indonesia bisa meraih kejayaannya.

* Pengasuh Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (Pekik) Indonesia

selengkapnya.....

20 Oktober 2008

Artikel Gerakan

(Menuju) Revolusi Paradigmatik Gerakan Mahasiswa
Oleh : Suryo Albar *

Pada level kenegaraan, gerakan mahasiswa telah memposisikan diri secara jelas yaitu yang pertama sebagai social control, yang kedua sebagai pressure group dan yang ketiga produser elemen civil society sejati. Social control dan pressure group merupakan bagian dari aktualisasi ide dan gagasan perubahan yang yang diusung gerakan mahasiswa. Dimana aras idealita dibenturkan dengan realitas kontemporer, maka dengan kekritisannya melahirkan gerakan perlawanan. Sedangkan posisi gerakan mahasiswa sebagai produser elemen civil society sejati merupakan kerja-kerja peradaban yang abadi, kerja kaderisasi, membentuk sebanyak mungkin pejuang se ide se aliran untuk menguatkan perlawanan. Pada konteks ini, gerakan mahasiswa adalah penyumbang masyarakat kelas menengah keatas yang pada kenyataannya menjadi kelompok paling berpengaruh di seluruh elemen kehidupan masyarakat.
Peran gerakan mahasiswa diatas bisa tercapai apabila gerakan mahasiswa mampu melakukan dua hal dibawah ini. Yang pertama: mampu merumuskan visi kebangsaan yang universal. Visi universal ini akan menjadi elan vital gerakan bersama. Dalam gerakan bersama ini, visi kebangsaan universal ini menjadi ruh gerak yang menyatukan seluruh kepentingan dan perbedaan eksisting gerakan mahasiswa itu sendiri. Tanpa visi kebangsaan universal ini, masifikasi gerakan mahasiswa bersifat prematur. Yang kedua: mampu melakukan konsolidasi secara masif dan ditindak lanjuti dengan membangun aliansi strategis dengan elemen civil society lainnya seperti kelompok agama, buruh dan petani dan lain-lain. Konsolidasi ini penting dilakukan mengingat kekuatan tiran adalah kekuatan besar yang bersimbiosis dengan kapitalisme global. Perlawanan parsial gerakan mahasiswa hanya akan menjadi bentuk bunuh diri tanpa arti.

Tetapi sebelum terlalu jauh merumuskan arah gerak gerakan mahasiswa, kita refleksi dulu, kita lihat realitas apa yang sekarang berlangsung. Bukankah narasi dan konsep gerakan mahasiswa diatas merupakan wacana klasik, sudah ada sejak dulu. Kita juga tidak boleh munafik, kondisi hari ini yang telah mengalami pembusukan sistem juga buah karya gerakan mahasiswa.

Kita bisa membaca realitas kekinian dimana hampir di setiap lini kehidupan terdapat pragmatisme dan materialisme yang sangat mendominasi. Baik bidang politik, budaya maupun ekonomi digerakkan oleh paradigma dan ilmu yang cacat epistemologi dan sangat jauh dari spiritualitas dan etika profetik. Bagaimana tidak, setiap hari kita diberi tontonan tentang kasus-kasus permisivisme terhadap pelanggaran hukum, birokrasi korup, demoralisasi politisi dan seabrek masalah lainnya yang tak kunjung henti. Politik menjadi begitu kanibal. Virtual assasination digerakkan dengan gencar, hanya untuk mengangkat image building partai melalui serangan bertubi-tubi iklan televisi. Realitas semu sengaja di create oleh production house partai, seolah-olah merupakan realitas obyektif. Deviasi, eksentrisitas, penggelapan makna, pengaburan realita terlihat begitu jelas. Seolah partai politik adalah hero. Tentu, virtual assasination ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Praktis, pemberdayaan riil masyarakat terabaikan karena anggaran tersedot pada pembuatan iklan ini. Lagi-lagi masyarakat hanya menjadi komoditas politik, tidak diperhatikan kesejahteraannya, hanya dimanfaatkan suaranya untuk mendulang pemilu, merebut kursi empuk kekuasaan. Melihat kondisi ini, seolah tak ada lagi peluang yang memberi ekspektasi yang meyakinkan akan kondisi futuristik negeri ini yang lebih beradab dan memakmurkan rakyat.

Belum lagi kita dipertontonkan pada parodi politik aktivis 98. Reformasi yang tidak menyentuh substansi ini diperkuat dengan manuver aktivis 98 yang sangat tipis memberi harapan. Reformasi beserta eksponen yang terlibat di dalamnya ternyata hanya sebatas fenomena politik. Tidak lebih dari itu. Alih-alih menumbangkan rezim tiran orde baru, kini malah menciptakan sistem korup baru. Masuknya aktivis 98 pada pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang akan datang membuktikan bahwa mereka tidak memiliki visi bersama terkait perbaikan bangsa. Gerakan ekstra parlementer 98 dilanjutkan dengan gerakan parlementer yang cacat metodologi. Tentu ini bencana bagi gerakan mahasiswa. Tentu boleh, aktivis 98 masuk politik dan mengubah strategi gerakan dari ekstra ke intra parlementer, tetapi gerakan ini mesti terkoordinasi dan tidak cacat prosedur apalagi mengingkari idealisme yang diyakini. Kondisi dengan seluruh partai politik eksisting bermasalah, partai baru yang tidak lain adalah jelmaan dan bentuk konsolidasi orde baru Suharto, mestinya menjadi pertimbangan untuk menentukan timing kapan melanjutkan perjuangan melalui intra parlementer. Yang ada sekarang adalah ketidaktahanan dan ketidak sabaran, sehingga aktivis 98 masuk parlemen secara parsial, lupa merumuskan visi bersama, mengabaikan impian dan cita-cita besar akan perbaikan sistem ke-Indoonesiaan. Masuknya aktivis 98 pada partai politik bermasalah hanya akan mereduksi idealisme, mereka mau tidak mau, suka tidak suka, harus akomodatif, toleran dan kompromi dengan sistem partai. Ternyata aktivis 98 dibutakan matanya dari sejarah. Mereka tidak belajar dari aktivis 66 yang ketika masuk partai dengan pola pice meal (tambal sulam) ternyata tidak efektif, malah ikut dalam proses pembusukan sistem sampai pada akhirnya melahirkan rezim tiran Suharto.

Lebih jauh lagi tentang refleksi kita. Adalah keserakahan kapitalisme global, kekejian neoliberalime yang digawangi Amerika dan negara-negara kaya Eropa, yang ternyata berpengaruh sangat signifikan terhadap grand design bangsa kita. Keterjebakan-keterjebakan Indonesia, semakin lama semakin diamini oleh elit kita, atau calon elit kita. Negara ogah memberi subsidi pendidikan, pemerintah hobi menjual asset negeri atas nama privatisasi dan investasi, kontrak-kontrak minyak dan energi antara Indonesia dan TNC/MNC penuh manipulasi, kebijakan moneter Indonesia di dikte dan dikebiri dengan dibuatkan modulnya oleh negara donor dan disiapkan orangnya oleh IMF, produk regulasi dibuat atas request pemodal asing, SEMUANYA itu tidak lain dan tidak bukan adalah fenomena penghambaan Indonesia pada kekuatan kapitalisme neoliberalisme. Concensus Washington secara tidak langsung seperti menjadi buku panduan pengelolaan kebijakan di negeri ini. Posisi dan daya tawar negara menjadi sangat lemah di hadapan pemilik modal, di hadapan asing, di hadapan Amerika, Eropa, termasuk negara tetangga kita Jepang dan Singapura.

Lalu, bagaimana dengan ummat Islam Indonesia? Sebagai mayoritas penduduk negeri ini, ummat Islam Indonesia perlu dipertanyakan signifikansi perannya. Mengapa tidak ada korelasi yang positif antara posisi sebagai mayoritas penduduk dengan perbaikan sistem ke-Indonesiaan? Yang ada, kondisi ummat Islam Indoonesia enjoy dengan perpecahan. Tidak pernah berfikir bagaimana menyatukan potensi yang berserak, merumuskan agenda bersama keummatan dan ke-Indonesiaan. Justru mereka lebih suka menonjolkan perbedaan. Atas nama agama kekerasan diperbolehkan, berebut kuota haji, tetangga sendiri malah lupa disuapi sehingga busung lapar dan mati.

Kembali ke awal membincang peran gerakan mahasiswa dalam konteks kenegaraan. Melihat arus yang begitu besar, maka tentu dibutuhkan cara-cara yang tidak biasa, bukan cara-cara reguler. Fungsi social control, presure group, produser civil society sejati bisa dilaksanakan asalkan ada konsolidasi gerakan. Secara garis besar, busuknya sistem digerakkan oleh produk gerakan mahasiswa tahun 80-an. Aktivis 80-an jelas lebih fasih bicara, fasih agama, tapi tidak terbukti nyata. Idealisme, niatan menjadi mujahid, pejuang, negarawan, luntur fungsi waktu. Apakah ini hukum alam yang akan terjadi pada kita juga? Kalau saja iya, tentu ini, teriakan idealisme, hanya sebatas parodi saja. Tak lebih dari itu. Maka tidak ada pilihan lain, aktivis mahasiswa sekarang harus melakukan rethingking, harus berani melakukan revolusi paradigmatik terkait komitmennya pada kebenaran, pembelaan pada kaum lemah dan marginal, dan melakukan paling tidak dua hal yang telah disebutkan di depan yaitu bersama dengan gerakan lain merumuskan visi universal dan melakukan konsolidasi yang masif. Langkah kongkrit ini mesti segera dilakukan. Jangan menunggu, bergeraklah sekarang juga, buktikan gerakan mahasiswa adalah subyek sejarah dan peradaban yang menentukan kemana arah bangsa.
* Penulis adalah Ketua formatur HMI MPO Cabang Sleman, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM

selengkapnya.....

17 Oktober 2008

Sikap PB HMI Terhadap RUU P

PB HMI MPO Desak DPR Sahkan RUU Pornografi

Jakarta, Inbagteng Cyber Media


Pengurus Besar (PB) HMI MPO dalam press release-nya mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Pornografi (RUU-P) yang saat ini masih dalam proses uji publik dan terus diwarnai pro dan kontra dalam pembahasannya. Press release yang dikirim via e-mail Kamis (16/10) itu berjudul Agenda mendesak menyelamatkan generasi penerus bangsa.

Ada tujuh poin penting dalam keterangan pers tersebut, pertama mendesak DPR melalui pansus segera mengesahkan RUU – P menjadi Undang – Undang. Kedua, RUU – P harus lebih mengedepankan kepentingan perbaikan moral bangsa serta menyelamatkan kepentingan masyarakat umum dari jerat pornografi. Ketiga, seluruh muatan RUU-P harus lebih menekankan nilai pembinaan serta pendidikan terhadap masyarakat. Keempat, menyerukan pada segenap komponen masyarakat untuk terlibat mengurangi pengaruh pornografi melalui cara – cara yang mendidik. Kelima, menekankan serta pengusulkan pada pansus bahwa RUU-P tidak ada kepentingan ingin menghancurkan budaya, selama budaya tersebut memberikan nilai positif bagi masyarakat setempat. Keenam, menyerukan kepada kelompok yang menyikapi penolakan terhadap RUU-P dengan jalan memberikan pernyataan akan keluar dari NKRI adalah cara yang kurang dewasa dan akan sangat merugikan kita sebagai bangsa. Ketujuh, bahwa RUU-P tidak ada muatan untuk mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, apalagi dibawa pada kepentingan agama tertentu, karena sesungguhnya RUU-P murni harus dilihat dalam kacamata kepentingan bangsa.

selengkapnya.....

Dukung RUU P

PB HMI MPO Serukan Aksi Dukung RUU Pornografi

Jakarta- Inbagteng Cyber Media

Pengurus Besar HMI serukan seluruh elemen HMI untuk melakukan aksi mendukung RUU Pornografi. Dalam surat yang dilayangkan kepada redaksi, terdapat juga press release seputar dukungan PB HMI terhadap pengesahan RUU tersebut. Berikut kutipan suratnya.
Sehubungan dengan adanya pro dan kontra tentang pembahasan dan pengesahan Rancangan undang – undang pornografi oleh pansus DPR – RI yang akan dilakukan pada akhir oktober ini , maka kami menyerukan pada pengurus HMI cabang se- Indonesia untuk memberi dukungan agar segera mengesahkan RUU – P menjadi undang – undang. Bentuk dukungan pada tiap-tiap cabang bisa dilakukan dalam bentuk : demonstrasi, galang koalisi berbagai elemen, Publik hearing serta aksi – aksi yang sejenisnya dalam mendukung sikap tersebut

selengkapnya.....
Designed by - alexis 2008 | ICM