20 Mei 2009

Membedah “Cacat Bawaan” Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

Judul : Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Jejak Langkah dan Pemikiran Hukum Hakim Konstitusi
Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M
Pengarang : Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M
Tahun : 2008
Tebal : 728 hlm


Cacat bawaan hasil amedemen UUD 1945 sebaiknya diperbaiki kemudian UUD 1945 disempurnakan dengan membuat konsep dasar (grand design) yang utuh dan komprehensif dengan tujuan dan arah yang jelas baik dalam konteks sistem maupun bentuk pemerintahan

Amandemen UUD 1945 yang dilakukan secara bertahap pada rentang waktu 1999-2002 tak ubahnya bagaikan sinetron melalui episode demi episode, perubahan tersebut terkesan hanya untuk kepentingan politik sesaat yang tidak mempunyai dan tidak mempunyai grand design mau kemana negara dan bangsa ini dibawa.

Buku yang berisi pemikiran hukum ini disusun dengan asas konsisten dalam pemikiran dan konsekuen dalam tindakan dengan sepuluh pegangan dasar yang dijabarkan dalam berbagai Putusan MK atau pendapat berbeda (DO), khususnya yang menyangkut pelaksanaan sistem peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (het beginselen van behoorlijke regelgeving). Buku ini diharapkan menjadi bahan untuk menyusun kembali atau menata ulang sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang didasarkan kepada UUD 1945 hasil amendemen dan berbagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan UUD 1945 dengan tetap berlandaskan kepada falsafah Pancasila sebagai way of life bangsa dan negara Indonesia.
Apabila dikaji secara mendalam, bentuk negara dan sistem pemerintahan menjadi tidak jelas, demikian pula sistem otonomi daerah yang bernuansa federal sehingga menimbulkan pertentangan yang berkepanjangan baik secara vertikal maupun horizontal. Kecarutmarutan hasil amandemen UUD 1945 tersebut menimbulkan pelaksanaan pemerintah di Pusat maupun di daerah menjadi tidak efektif, karena masing-masing lembaga mau menang dan benar sendiri. Hasil amandemen atau perubahan UUD 1945 yang tidak mempunyai konsep besar dan tidak didasarkan pada suatu sistem yang komprehensif dan jelas, berakibat menimbulkan ‘cacat bawaan’ pada hasil perubahan tersebut.
Bila dicermati dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD”. Norma dasar tersebut menimbulkan berbagai penafsiran yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum. Dari sekian banyak lembaga negara di dalam UUD 1945 hasil amendemen menjadi pertanyaan kita bersama, lembaga manakah yang menjadi pelaksana kedaulatan rakyat?. Apakah semua lembaga negara yang disebutkan secara eksplisit di UUD 1945 atau hanya anggotanya/pejabatnya yang dipilih langsung oleh rakyat? Kemudian bagaimana kedudukan MPR yang anggotanya adalah lembaga negara (DPR dan DPD)?. Bila dibandingkan dengan KRIS 1949, UUDS 1950 ini merupakan cacat bawaan yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat dan demokrasi kerakyatan.
Cacat bawaan lainnya yang juga melekat dalam UUD 1945 hasil perubahan adalah tidak jelasnya sistem presidensiil dalam proses pembentukan Undang-Undang. Dalam sistem Presidensiil murni seharusnya DPR dalam membentuk Undang-Undang tanpa harus melibatkan Presiden secara langsung. Presiden hanya mempunyai hak veto terhadap RUU (UU) yang dibentuk oleh DPR. Pelibatan Presiden sebagai pembentuk UU serta (wede wetgever) di samping DPR sebagai pembentuk UU yang utama (primaire wetgever) Lihat Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 UUD 1945 mencerminkan sistem Presidensill yang tidak sepenuhnya. Walhasil yang terbentuk adalam sistem Presidensiil ‘setengah hati’.
Selain sistem pemerintahan, desain lembaga negara juga terdapat kerancuan. Dalam konteks negara kesatuan, pada dasarnya tidak dikenal adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau Senat. Keberadaan DPD menurut risalah pembahasan Perubahan UUD 1945, merupakan pengganti Utusan Daerah namun dilembagakan dan kemudian anggotanya dipilih langsung melalui Pemilu. Keberadaan DPD dalam UUD 1945 akan semakin menjadi kacau ketika DPD sekarang meminta dilakukan amendemen kembali terhadap UUD 1945 dan DPD disamakan kedudukan dan kewenangannya dengan DPR baik dalam bidang legislasi, pengawasan maupun penganggaran.
Lebih jauh Prof. Natabaya menguraikan beberapa rumusan yang cukup pelik dalam kontroversial dalam UUD 1945 hasil amendemen. Kekuasaan kehakiman yang dimuat dalam Bab IX yang sebelumnya hanya Mahkamah Agung (MA) sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sekarang menjadi dua yaitu ditambah Mahkamah Konstitusi (MK). Di samping itu ada pula lembaga negara yang bernama Komisi Yudisial (KY) yang diberi kewenangan merekrut calon hakim agung dan menjadi martabat dan kehormatan hakim.
Penempatan KY dalam Bab Kekuasaan Kehakiman menimbulkan kontroversi karena KY bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun ada kaitannya. Penempatan KY secara eksplisit di dalam UUD 1945 membuat rancu apakah KY merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman atau tidak. Seharusnya Pasal 24B UUD1945 itu hanya menyebutkan bahwa rekrutmen calon hakim agung dan penegakan kehormatan dan keluruhan martabat hakim dilaksanakan oleh sebuah komisi. Selajutnya dalam ayat berikutnya ditentukan, tata cara rekrutmen calon hakim agung, tugas dan dan fungsi, serta kewenangan lain dari komisi tersebut diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam UU. Dengan konstruksi rumusan semacam ini maka tidak akan menimbulkan bias, tidak menimbulkan multi tafsir bahwa KY merupakan lembaga negara yang sejajar dengan MA dan MK. Bila dibandingkan dengan Afrika Selatan, Komisi Yudisial ditempatkan diluar Bab Kekuasaan Kehakiman.
Masih seputar kekuasaan kehakiman, terkait judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1), Prof Nata menegaskan bahwa seharusnya dimasukkan gugatan konstitusional (constitutional complaint). Dengan membedakan antara judicial review atau constitutional review dengan constitutional complaint tidak menimbulkan silang pendapat atau kontroversi mengenai MK dalam pengujian UU tersebut. Kemudian dalam UU No. 24/2003 tentang MK sebagai pelaksanaan dari Pasal 24C UUD 1945 juga harus direvisi dimana ketentuan Pasal 51 huruf a dihapus, karena menjadi tidak adil dan menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat apakah perorangan itu bisa membatalkan suatu UU yang mengingkat umum. Sebagai perbandingan, di Jerman yang dapat mengajukan judicial review adalah Bundestag dan Bundesrat dan land, artinya lembaga bukan perorangan. Adapun perorangan dapat mengajukan gugatan konstitusional apabila ada kebijakan individual (interpartes) tidak bersifat umum atau ergaomnes.
Kedepan, perlu dipertimbangkan dalam perubahan UUD 1945 berikutnya agar kewenangan MK pada Pasal 24C ayat (1) ditambah dengan gugatan konstitusional (constitutional complaint) serta tidak menutup pula ditampung constitutional question.
M. Mahrus Ali, Pengurus HMI Badko Inbagteng.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Konstitusi No.27 Maret 2009 yang terbitkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

0 komentar:

Designed by - alexis 2008 | ICM