Shofa Brayat Butuh
Mantan Sekum HMI Badko Inbagteng
CEO Warung Madu "UD AN-NAHL" di Sragen
'Bila kader HMI-MPO ditanya:
"Apakah HMI masih relevan untuk hidup?", Jawab saja: Ya karena sekarang saya suruh ngurusi HMI, ya sudah saya urusi saja HMI sekualifaid mungkin. Titik!.
(Ngapain ngurus mati-hidup, asal kerja maksimal kalaupun akhirnya harus mati Insya Allah khusnul khotimah)
Sekelebat Sayap Sejarah (Problem Setting)
Gerakan mahasiswa dalam memposisikan diri terhadap kekuasaan secara garis besar ada dua macam: patron-clien dan oposan/independen. Era Reformasi yang telah berjalan sepuluh tahun lebih dapat memberi gambaran akan hal itu. Era Orde Baru mahasiswa dipaksa apolitIa, sedemikian sehingga kejengkelan rriahasIawa memuncak dengan memaki kekuasaan dan meruntuhkannya di awal 1998. Pertanyaannya apakah mereka memaki kekuasaan karena memang dalam rangka sibghoh mahasiswa sebagai penjaga gawang moral, sebagai sang pengawas penguasa atau karena memang makin tidak kebagian kue kekuasaan?! Nampak jelas ujudnya ketika Reformasi.
Sejak Pemilu 1999 Organisasi Kemahasiswaan (Ormah) mayoritas gagap dalam berhadapan dengan kekuasaan. Secara nyinyir nampak jelas aktifis-aktifis yang dulu memaki penguasa berusaha berebut ke Senayan bahkan Istana. Ormah lupa diri bahwa reformasi amatlah rapuh, maka absurd bila diperebutkan. Ormah terjebak dalam patron-clien dengan parpol. Secara sederhana bisa saya sebut: PMII dengan PKB, IMM dengan PAN, HMI-DIPO dengan Golkar, KAMMI dengan PKS. Maka sangat wajar HMI-MPO dikunyo-kunyo saat itu, waktu era Gus Dur demo di berbagai kota dibubar paksa, gara-gara meneriakkan Cut Generation, Revolusi Sistemik, Reformasi Gagal Total yang benang merahnya hingga kini kita masih menolak sistem pemilu.
Ide Cut Generation bukanlah ide main-main saat itu. Prof. DR. Syafii Ma'rif yang kala itu masih Ketua Umum PP Muhammadiyah berujar, yang merusak negeri ini tidak lebih dari 3.000 orang yang kini tengah duduk di pos-pos urgen di negeri ini, orang itu perlu dihapus dan untuk masa transisi penyelenggaraan negeri bisa diberikan pada orang¬-orang pilihan dalam sebuah wadah dewan presidium, yang bertugas menyusun negeri ini dengan ideal. Jadi jalannya harus extra ordinary. Dan ide beliau pernah menjadi headline di harian Kedaulatan Rakyat tetapi selanjutnya pasti bisa kita duga, ide brilian beliau ini dengan segera dibungkam. Hanya tinggal HMI-MPO yang menyuarakannya, dan itupun lama-kelamaan juga hilang. Entah karena kadernya kehabisan nafas, tidak tahu sejarahnya sendiri karena mIakin silaturrahmi atau mungkin juga mulai pingin deket-deket yang berkuasa karena gak tahan dibilang kuper?!
Disingkirkannya HMI-MPO oleh ORBA dari kancah keindonesiaan adalah blessing in disquise, sedemikian sehingga para kader bisa lebih terarah menggarap sesuatu yang paling penting dalam merancang perubahan secara luar biasa suatu bangsa bahkan civilitation yakni paradigma. Maka tema-tema Epistemologi, Peradaban, Gerakan Intelektual menjadi makanan harian para kader. Efeknya cukup mengembirakan, bukti bahwa seseorang kader mampu berpikir epistemik adalah nyambungnya antara apa yang Ia pikir dengan apa yang Ia lakoni.
Thomas Khun dalam memeri Revolusi Prancis dapat kita ambil pelajaran bahwa tidak sekedar orang-orang anti gereja yang mulai menguat secara ekonomi-politik maka revolusi bisa terujut, tapi lebih daripada itu masyarakat Prancis nyatalah telah bergeser cara pandangnya (shifting paradigm) dari teokrasi ke demokrasi. Khun memberi penjenjangan dalam pergeseran paradigma, dia katakan dari Paradigma I ke Paradigma II. Untuk I ke II, ceritanya kurang lebih adalah ketika Paradigma I establish maka pada satu titik masa tertentu akan mengalami "anomali", bila anomali ini terus berlanjutkan akan melahirkan "krisis", nah ujung dari krisis adalah berakhirnya Paradigma I dan berpindah ke Paradigma II. Kemudian anomali lagi, krisis lagi lahir Paradigma III, begitu seterusnya.
Pertanyaannya adalah jika saat ini status quo adalah Paradigma I maka siapa yang menyiapkan Paradigma II? Apakah selanjutnya ini juga blessing in disquise?!, Tentu konyol kalau berpikir seperti itu. Menurut Ali Syariati, orang-orang itu ialah Rausyan Fikr. Saya lebih cocok terjemahan Yudi Lathif, rausyan fikr adalah "kelompok yang menyimpang" (terjemahan yang umum dalam Indonesia: kelompok yang tercerahkan). la menyimpang, ketika khalayak masih hidup dengan Paradigma 1, Ia telah melakoni hidup dergan Paradigma II. Ini dekat dengan tesIa Arnold Toynbee bahwa mereka itulah "creative minority" .
Kelompok kecil yang kreatif, yang mampu mampu mendefinisikan apa itu hidup walau definisinya sungguh-sungguh berbeda dengan khalayak dan benar-benar dia lakoni dalam kehidupannya. Bukan berarti menyepi menyendiri, ada prinsip "keluar-kembali", Ia tetap keluar untuk mengkomunikasikan paradigmanya, dan bila ada benturan dan mulai ada kegoyahan maka Ia akan kembali guna lebih menyempurnakan kediriannya. Maka tunggulah ketika Ia tetap konsIaten dalam minoritas kreatif maka paradigmanya akan dianut pula oleh orang lain, dan bila itu berkembang terus dan menjadi paling besar maka akan muncul "creative majority", dalam bahasa Khun telah bergeser ke Paradigma II.
Dari uraian di atas demikianlah pesan Rasul: idba' binafsi! Lakoni paradigma yang unik itu dari diri walau sendiri! Modalnya: berani, dalam bahasa Khittah Perjuangan (yang entah saat ini ikut terhapus atau tidak): syaja'ah. Itulah yang merubah wajah dunia. Bukan penguasaan ekonomi, bukan pula politik. Ini bukan mengada-ada, Indonesia ini walau dipakai sIatem apapun, oleh penguasa ;iapapun kalau paradigma masyarakat masih seperti ini, ya akan sepertIaeperti ini juga. Ini bukan pula sikap apatIa, apriori. Bahkan sebaliknya, sebuah himmah untuk mengajak yang baru, dan itu tidak mungkin, sekali lagi tidak mungkin bila tidak kita lakoni secara confident dalam kehidupan pribadi kita. Sebuah hidup yang merdeka, hidup yang independen, tidak goyah pada hura-hura kekinian, seperti syair Muhammad lqbal "aku bukanlah seruling bagi telinga¬-telinga kini, tapi dendangan bagi telinga-telinga masa depan".
Kuntowijoyo secara apik dan gamblang memaparkan bagaimana peradaban Ialam tidak pernah ditegakkan karena penguasaan politik apalagi sekedar penguasaan ekonomi. Bahkan dengan rIaau beliau mengkritik bahwa sejarah yang sampai dan dikupas bukanlah Sejarah Ialam tapi Sejarah Politik Ialam, tentang jatuh bangun para Sultan, perluasan wilayah, tentang sejarah perjalanan Ialam sendiri amat dangkal. Ini menjadi salah satu sebab umat Ialam selanjutnya mengidentikkan Ialam dengan kekuasaan, tetapi sekali lagi, dalam banyak Iaaenya (salah satunya dalam Isae: "6 Alasan Menolak Partai Ialam") : Kuntowijoyo mampu memaparkan secara acceptable dan epistemic bahwa bukan karena kekuasaan Ialam mendunia, termasuk perkembangannya di Indonesia.
TesIa beliau tentang "Obyektifikasi" memberi gambaran dari Tema-tema Besar Ialam (seperti zakat, dsb) bisa diturunkan kedalam Filsafat Sosial, secara kedalam bermakna ibadah, keluar rahmatan lil'alamin -tidak sekedar dinikmati umat Ialam saja-. Dari Filsafat Sosial diturunkan dalam Teori Sosial, kemudian dari sinilah Pak Kunto mengenalkan Ilmu Sosial Profetik (ISP), dan beliau amat yakin ISP ini bakal menggeser Ilmu Sosial Kritis beserta turunannya yang masih status quo bahkan dalam dunia akdemik. Beliau berujar, kalau mulai sekarang ISP mulai dipakai maka tahun 2020 ketika dunia global, Indonesia sudah slap karena telah mempunyai paradigma sendiri, dan konon dua bulan sebelum Pak Kunto meninggal, beliau berujar bahwa tahun 2020 ISP telah menjadi paradigma Ilmu Sosial di Indonesia. (demikianlah keilmuan Pak Kunto yang mampu saya sadap dari Supardi-Abu Isa Semarang)
Dengan Strategi Gerakan: Mobilitas Sosial (peningkatan kualitas manusia melewati penyadaran -kultural- dan pemberdayaan -struktural-), Pak Kunto menawarkan perubahan. Ini sungguh-sungguh selaras bila HMI memakai strategi gerakannya: Mobilitas Sosial, agendanya: Gerakan Intelektual. Tidak masalah para orang tua kita dahulu memilih Gerakan Intelektual sebagai agendanya karena terpaksa, tapi kita sadari bahwa itulah rekayasa Tuhan (karena sudah terjadi) dimana mengandung kebenaran yang luar biasa, terpilihkan sebuah agenda yang ternyata terbukti paling efektif dalam merubah (bahwa bila pingin merubah suatu bangsa maka rubahlah paradigma masyarakatnya lebih dahulu, inilah content dari Gerakan Intelektual). Jadi kader kini bisa memilihnya dengan sadar. Dan Gerakan Intelektual bukanlah sekedar gerakan dIakusi dan baca buku, tapi intelek yang belum bergeser dari makna aslinya yakni tidak hanya sekedar "tahu" tapi juga "mau"
Maka menjadi cukup mengelikan, bila kita sebagai kader HMI-MPO masih mempunyai pola pikir: bila pingin eksIa, maka harus berkuasa atau banyak kenalan tokoh-tokoh yang sedang memegang pos-pos negara, harus popular, harus banyak kenal orang-orang kaya atau banyak founding yang bisa kasih proyek. Bila itu benar-benar menjadi ijtihad HMI-MPO maka menurut saya sama saja HMI sedang menegakkan tiang gantungan bagi dirinya sendiri. Kekuatan HMI tidak terletak pada seberapa banyak fasilitas -sarana maupun network- yang dia punya (dunia milik), tetapi pada seberapa kuat dan tercerahkan pribadi dia (dunia diri). Sungguh banyak sudah yang mengakui hal ini, tidak sekedar alumni yang masih Istiqomah tapi juga pengamat yang jujur.
Nah, disini kita bisa menyimpulkan kenapa dulu HMI-MPO bisa sedemikian eksis?! Karena independensi tidak sekedar jargon organisasi, tetapi juga dilakoni dalam hidup kadernya. Contoh paling vulgar, adalah dalam maisyah, dulu kader inti tidak akan terpikir untuk jadi PNS, Broker Proyek/Broker Politik ataupun jadi Caleg karena memang tidak memungkinkan, sedemikian sehingga dengan segala upaya memompa potensi diri hingga lahirlah independensi, jiwa merdeka. Kemudian datanglah Reformasi, maka akan makin terlihat siapa kader inti sebenarnya?!!!
Selemparan Kemungkinan (Problem Solving)
Perbedaan mendasar antara manusia dengan makhluk Allah yang lain adalah karena manusia mempunyai "kemungkinan", makhluk lain tidak akan mampu mencipta kemungkinan hatta itu malaikat. Ketika masalah telah terpapar maka pertanyaan standar yang akan muncul adalah: what's next? Kita mau mengambil makna yang positif dari pertanyaan ini, bahwa pertanyaan itu muncul dari azzam yang ingin menyelesaikan problem seakurat mungkin.
Salah satu dasar dari problem solving yang harus dipegang disini, bahwa pemikiran kita harus besar dalam artian paradigma yang utuh dan selanjutnya tetap menjalankannya dari hal-hal yang menurut kasat mata mungkin kecil¬kecil, walau di Hadirat Rabbani tetap dinilai besar (think big-do small). Karena kalau ujuk-ujuk dari pemikiran besar kemudian kita harus berbuat yang besar pula, jelas sunatullahnya tidak begitu, walau sekali lagi besar-kecil itu masih dari ukuran manusia.
Dergan memohon perlindungan Allah dari sabetan nafs, saya ingin memulai bahasan bab ini dari ayat-ayat.
"Sesungguhnya Amrullah (perintah Allah) ketika Dia punya Irodah (kehendak) sesuatu, Dia tinggal mengatakan 'Kun' (Jadilah), inaka mereka pun menjadi." (QS. Yasin: 82)
"Pada hari itu kalian menyaksikan ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya lupa akan bayinya (kelembutan moral hancur) dan ibu-ibu yang sedang haruil rnengalami keguguran (kekuatan fisik sirna) dan kamu akan melihat manusia dalam kondIai mabuk sedangkan mereka tidak sedang mabuk (ketajaman intelektual/akal tidak berjalan), akan tetapi (bila hal itu tidak terjadi, sebab seseorang tidak sanggup merespon Amr Allah) sungguh azab Allah itu sangat pedih." (QS. Al-Hajj: 2)
Ayat yang kesatu ada 3 tiga kata kunci: Amr, Irodah dan Kun. Sedang ayat kedua ada tiga kata kunci pula: Moral, Fisik dan Akal. Allah menciptakan alam seisinya, termasuk jasad manusia cukup hanya dengan KUN. KUN adalah Kaaf dan Nun, hanya dengan dua huruf ini maka terpaparlah jagad raya yang sedemikian luas ini. Pertanyaannya kemudian apakah kita hanya ingin sekedar menggapai dua huruf dari Allah itu saja, padahal masih puluhan atau mungkin ketakterhinggaan huruf-huruf Allah yang lain? Jawaban gamblang tersurat pula dalam ayat pertama di atas, bahwa kita musti masuk fase sebelum Kun yakni Irodah. Kun sampai ke kita dalam bentuk fenomena. Maka dibalik segala fenomena pasti ada Kehendak Allah, dan ketika kondIai itu hadir dihadapan kita Amr-lah ujudnya. (Ini menarik, sebagai intermeso, bila dilanjutkan untuk membahas para kader yang berkehendak memupus masa lajang)
Lalu bagaimana kita meraba kriteria Amr? Tiap persona sebenarnya akan ditawari Amr yang agung disamping amr-amr saban hari. Selama berani melatih diri keluar dari Kun dengan tidak menolak amr-amr kecil yarg hadir. Gampangnya, bagaimana kita bisa mengetahui Amrullah yang besar, kalau amr-amr yang kecil saja tidak mau ditempuh?!
Ayat kedua adalah dari surah al-Hajj. Haji adalah napak tilas perjalanan Ibrahim. Bagaimana kita bisa memahami surah tentang Haji kok dibuka tentang kiamat? Pertama harus kita pahami bahwa arti sesungguhnya kiamat tidak lepas dari arti dari akar katanya: qiyam (kebangkitan), dan memang tiap kebangkitan yang baru musti diawali dengan kehancuran-kehancuran lebih dulu (dekontruksi-rekontruksi). Maka Haji adalah gambaran kiamat sugro, dimana Ia telah tahu dan mau menerima apapun Amr Allah, dengan kesediaan menanggalkan segala sesuatu potensi diri dan milik yang dianggap agung selama ini. Jadi, pergi haji ke Mekkah tidak sekedar karena mampu secara dhahir.
Untuk lebih gamblangnya saya nukilkan transkrip ceramah Bapak Muhammad Zuhri tentang napak tilas Ibrahim bahwa tidak ada artinya segala potensi manusia ketika berhadapan dengan Amrullan. Tiga malam berturut-turut Ibrahim bermimpi disuruh membantai anaknya sendiri. Inilah masalah manusia. Manusia memiliki tiga kekuatan besar dari Rabb al¬ 'Alami n:
1)Ketajaman akal
2)Kelembutan moral
3)Kekuatan fisik.
Ketiga kekuatan itu tidak sanggup menerima Amr Allah yang berupa "sembelihlah anakmu". Akal mana yang membenarkan seorang ayah menyembelih anak yang dicintai? Moral mana yang merelakan seorang ayah membantai anak yang dicintai? "Salah!", kata akal. "Itu kekejian yang luar biasa," kata moral. Begitu pula kekuatan fisik; tangan akan gemetar tak sanggup mengangkat pedang atau mengayunkan kapak bila untuk membunuh anak yang dicintai. Tetapi, itulah Amr Allah. Tiga kekuatan manusia hancur menghadapi Amr Allah. Saat itu, bila seseorang berbuat sesuatu (merespon Amr Allah), bukan dia yang berbuat sebab dia hakikatnya telah mati; telah meninggalkan akalnya, moralnya dan fisiknya.
Demikianlah perintah dari Yang Mutlak. Jika Amr Allah hadir pada seseorang, Ia disebut "mengalami kiamat" (kiamat sugra). Itulah saat perubahan besar pada diri manusia. Bukan kiamat kubra (hancurnya alam semesta) melainkan kiamat kehidupan seseorang yang berdimensi waktu. Saat matinya kehidupan individu dan lahirnya kehidupan individu baru. Bukan kehidupan fisikal, bukan kehidupan intelektual dan bukan kehidupan moral tetapi kehidupan spiritual; kehidupan AbdAllah, lahir sebagai Ahl Allah (keluarga Allah).
"Wahai manusia, bertagwalah kepada Tuhann-ur. Sesungguhnya goncangan hadirnya sa'at (kiamat sugra, hancurnya individu kecil menjadi individu besar, Abd Allah) adalah suatu kejadian yang sangat dahsyat." (QS. AI-Haj: 1)
Lalu bagaimana konsep diatas implementasinya dalam HMI supaya jawaban dari pertanyaan what's next diatas bisa applicable?. Ajaklah para kader dari lingkar yang paling kecil dari yang ia genggam. Ini mungkin generative, tetapi tidak apa-apa guna rcadmap-nya lebih jelas. Genggaman lingkar pertama yang dipunyai kader adalah dirinya dengan waktu, uang/harta dan tenaga yang Ia punyai. Tawarkan sebuah pencerahan, ketika jamaah membutuhkannya apa Ia rela melepaskannya. Berikan sebuah pemahaman, menurut Ia Tuhan ada dimana, sedang ada didirinya sendiri atau di jamaah yang sedang butuh. Berikan kebebasan sepenuhnya kepadanya untuk mengambil keputusan, dimakan sendiri atau dIaumbangkan, sesuai keyakinannya tentang posIai Tuhan ada dimana tadi.
Lingkar kedua adalah dirinya antara HMI dan Kampus. Nah, ketika lingkar kedua ini bisa dilampaui biasanya Ia akan diuji oleh lingkar ketiga yakni antara dirinya dengan kuliah dan orang tua. Tetap suntikkan jiwa saja'ah, tangguh dalam mengambil keputusan karena berani menanggung segala resikonya. Pahamkan tentang amr. Percayalah orang bodoh yang pemberani bakal mampu menyalip orang pintar yang penakut. Selama ada kemantapan bahwa keputusannya karena keyakinannya akan Tuhan, pasti ada jalan keluar. Tuh, benarkan do small dulu walau dari pemikiran yang big. Dan ibda' binafsi.
Saudara.. ujung dari Gerakan Intelektual tetaplah spiritual. Yang melatari gerakan kitapun relegiusitas. Kita, HMI, tidak bisa hanya berhenti pada idealIame, idealIame harus diantarkan pada yang lebih tinggi. IdealIa mungkin sudah tidak akan terjebak pada keruangan, tapi dia pasti tidak akan lepas dari kewaktuan. Sedang spriritual sudahlah diluar ruang dan waktu karena spirit kita, ruh kita tidaklah berada dalam wadak fisik kita, Ia berada di luar ruang dan waktu. Wallaahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar