Oleh : Sindi Setyadi (Ketua Umum HMI Cabang Semarang)
“ Agenda 100 hari presiden merupakan tradisi yang dijadikan parameter masyarakat
untuk mengetahui komitmen dalam menjalankan pemerintahan
demi kesejaheraan rakyat ”
(Moch. Nurhasim S.IP.,M.Si, Peneliti Pusat Penelitian LIPI)
Agenda 100 hari presiden di Indonesia dimulai sejak Reformasi 1998. Melalui deklarasi ini presiden, wakil presiden beserta kabinet Indonesia bersatu jilid 2 memberitahukan kepada khalayak umum tentang komitmennya menjalankan pemerintahan selama 5 tahun kedepan. Momentum ini tidak akan berlalu begitu saja karena bagi rakyat, ini adalah sesuatu yang sangat dinantikan. Hal ini sangat dinantikan karena akan mmperjelas orientasi pemerintah dalam hubungannya dengan kesejahteraan rakyat.
Dalam prioritas agendanya secara umum dapat dibagi menjadi menjadi 3 item yakni: kesejahteraan masyarakat, penguatan demokrasi, dan keadilan. Dari ketiga item itu kemudian di derivasikan kepada kabinet untuk membuat agenda dimasing-masing departemen yang merujuk kepada visi besar diatas. Kita dapat mengambil sebuah contoh langkah pemerintah, yakni tentang kenaikan gaji menteri yang telah dianggarkan pada APBN 2010, baru beberapa saat akan memimpin negara ini sudah membuat langkah yang sangat memperlihatkan inkonsistensi janji politik dengan kebijakan yang baru saja dilaksanakan. Hal ini sangat disayangkan karena bersamaan dengan kenaikan gaji tersebut, subsidi untuk rakyat diturunkan, maka menjadikan berkurangnya subsidi pangan dan pupuk, serta dihapuskannya bantuan langsung tunai untuk rakyat. Dari satu kebijakan di awal pemerintahan saja sudah langsung menyakitkan rakyat, lantas kesejahteraan siapa yang dimaksud dalam program pemerintah tentang kesejahteraan rakyat. Dengan dalih tidak pernah naik gaji dalam 5 tahun terakhir dan perbedan dengan gaji para pejabat BUMN, ini samasekali tidak relevan jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat yang sedang terkena banyak musibah. Jelas ini pengingkaran terhadap kesejahteraan rakyat sebagai prioritas agenda 100 hari.
Laju pemerintahan dihiasi dengan ketidakberesan, diantaranya adalah kenaikan gaji menteri, lamanya langkah presiden dalam menuntaskan kasus KPK (yang tidak merealisasikan seluruh rekomendasi Tim 8 yang notabene bentukan presiden sendiri), berkeliarannya mafia peradilan, persaingan para penegak hukum (read:KPK, POLIRI dan KEJAGUNG), skandal bank century yang melibatkan petinggi negara, kriminalisasi kaum miskin (read:mbah minah,khalil, bashor, dll), penandatanganan FTA disaat para pengusaha belum siap, pembatasan hak berekspresi (read:prita dan george aditjondro) pengadaan mobil mewah seharga 1,3 Milyar, dll. Ini menjadi pelajaran yang berharga untuk mengevaluasi program serta para pelaku program tersebut agar mampu mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemerintah. Namun rasanya hal ini sulit terjadi karena presiden sendiri mengtakan tidak akan ada resufffle meskipun ada ketimpangan didalamnya.
Dalam masa pemerintahan SBY jilid 2 ini belum terlihat adanya perubahan yang signifikan dari jilid 1. Ini terbukti dengan krisis yang di alami bangsa ini yakni krisis kebangsaan, krisis kenegaraan, krisis kesejahteraan, dan krisis moral pejabat. Penentuan visi besar bangsa menjadi sebuah keharusan yang diprioritaskan sebelum menapaki program yang mewakili pemikiran kepala negara sebagai pimpinan tertinggi yang hanya mengarah kepda kesejahteran rakat. Revolusi nurani pun rasanya perlu digalakkan di papan atas pemerintahan agar mampu “kembali” menempatkan sebagai wakil rakyat yang sebenar-benarnya, bukan megarah kepada kekuasaan serta harapan partai, karena ketika sudah duduk di papan atas tidak memakai almamater partai, melainkan berbicara atas nama nafas rakyat.
Realisasi program 100 hari SBY jilid 2 ini merupakan penentu “kredibilitas” nya dalam menjalankan pemerintah yang sarat dengan gejolak. Meskipun tidak ada peraturan hukum yang menyatakn bahwa gagalnya agenda 100 hari berarti kegagalan pemerintah, namun dalam pandangan rakyat, kelayakan presiden diuji dengan realisasi keseriusan komitmen program yang sudah digulirkan. Rakyat telah bermetamorfosa menjadi parlemen jalanan independen yang akan selalu
memekikkan perlawanan atas segala bentuk inkonsistensi pemerintah. Hal ini yang seharusnya benar-benar dipahami pemerintahu untuk tidak bermain api dalam sekam, karena rakyat selalu siap dengan air perlawanan yang akan mematikan api penindasan dan ketidakadilan.
Mendatang, 28 januari menjadi momentum besar-besaran aliansi masyarakat yang ingin melampiaskan kekecewaan atas apa yang telah diperlihatkan pemerintahan. Mahasiswa sebagai pioneer perjuangan telah merencanakan penguasaan gedung DPR-MPR dan Istana negara seraya meneriakkan tuntutan diantaranya SBY mundur yang kepanjangannya adalah Sri Mulyani, Budiono dan Yudhoyono mundur. Aliansi 30 kampus di Jakarta dan Petisi 28 adalah diantaranya yang akan meramaikan momentum itu dengan 20.000 massa aksi.
Melihat kondisi ini, maka HMI sebagai organisasi gerakan perjuangan juga mengemban misi penyadaran dan revolusi nurani untuk mengupayakan perbaikan konsepsi paradigma pemerintahan menuju peradaban yang di Ridloi Allah SWT. Dengan melihat sebuah realitas, tidak lantas terseret kedalam pandangan mayoritas yang menyesatkan, namun tetap memegang teguh kebenaran idealisme sebagai trendsetter paradigma keadilan. Dengan sebuah harapan yang salah satu diantaranya dengan mengadakan kajian straegis ini sebagai wujud partisipasi dan eksistensi perjuangan HMI. Dengan harapan supaya peserta akan dapat mengambil substansi materi diskusi yang kemudian menjadi manifesto aksiologi mahasiswa yang berdiri di garda terdepan perlawanan terhadap keidakadilan
0 komentar:
Posting Komentar