29 Maret 2009

Menyikapi Gejala-Gejala Perkaderan

Dan Pemikiran Menuju Pelatihan Efektif

M. Mahlani
(artikel ini dapat diunduh gratis di e-book perkaderan)
Perkaderan bagi HMI sebagai organisasi yang concern dengan pengembangan potensi kreatif mahasiswa, merupakan proses dinamis yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi dinamika organisasi. Karena itu, seberapa jauh efektifitas perkaderan yang berlangsung di dalamnya, akan mejadi penentu terhadap kinerja organisasi dan proses transformasi (termasuk regenerasi) kader secara struktural maupun kultural (khususnya dalam aspek perilaku organisasi). Dengan demikian, maka proses perkaderan bisa diposisikan sebagai faktor utama bagi produktifitas organisasi dalam menghasilkan karya-karya yang signifikan bagi eksistensi organisasi itu sendiri maupun yang bermanfaat bagi lingkungannya.
Dalam sejarahnya, HMI dipandang sebagai organisasi yang memiliki sistem perkaderan cukup baik - di samping Pelajar Islam Indonesia (PII) - khususnya di kalangan organisasi kepemudaan-kepelajaran dan kemahasiswaan. Hal ini bisa dilihat dari tetap terpeliharanya kontinuitas kepemimpinan (secara struktural dan kultural) organisasi, peran-peran kader HMI (termasuk para alumninya) dalam berbagai sektor; pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dll.

Namun demikian, baik tidaknya perkaderan di sini, memang tidak hanya bisa dilihat dari kontinuitas kepemimpinan organisasi. Di samping itu, karya-karya produktifnya, baik dalam bentuk perilaku organisasi yang solid, dinamis dan elegan, maupun dalam bentuk pribadi kader-kadernya yang berdisiplin tinggi, berkomitmen terhadap perjuangan organisasi, dan kreatif-inovatif, juga dalam hal efektifitas perkaderan yang dilakukannya. Artinya bahwa tatkala HMI secara kelembagaan tidak lagi memiliki efektifitas untuk menggerakkan potensi organisasi ataupun potensi kader yang dimilikinya, ini menjadi alamat bahwa perkaderan HMI telah mengalami kejumudan atau dapat dikatakan memasuki wilawah “persolaan serius”.

Gejala-gejala dalam proses perkaderan
Beberapa gejala umum yang sering terjadi dalam proses perkaderan, antara lain sebagi berikut :
a. Dalam sisi wajah kepengurusan organisasi; sebagian pengurus seringkali tidak berusaha membina hubungan baik dengan seluruh anggotanya. Mereka mengira dapat berpura-pura baik di depan umum (khalayak) kader-kadernya dan kemudian mengumpat dan menyumpah serapah serta membanting pintu di rumah (sekretariat). Ironisnya, mereka kemudian terkejut mendapatkan anak buahnya (anggotanya) satu persatu tidak aktif (rontok), menjauh dan akhirnya hilang.
b. Dalam sisi wajah anggota organisasi seringkali mereka mengira bahwa setelah menjadi anggota HMI, lantas namanya akan menjadi besar (sebagaimana nama-nama para alumninya yang sekarang banyak menjadi public figure. Mereka mengira setiap saat akan mendapat full servis dari pengurus; dari urusan pribadi sampai urusan akademik. Mereka baru sadar setelah seminggu, sebulan, setahun atau bertahun-tahun ditunggu-tunggu, ternyata tidak mendapat apa-apa. Akhirnya dengan nada mengumpat, “HMI omong kosong” mereka mulai menjauhi HMI dan kemungkinan bisa saja akhirnya “membenci” HMI.
c. Dalam sisi yang paling praktis, dalam perkaderan, khususnya di arena pelatihan; para kader sebelum memasuki arena pelatihan berobsesi akan bersuka ria, senang, gembira dengan sejuta harapan di dalam pikirannya. Tetapi, seringkali yang terjadi sebaliknya. Setelah memasuki arena pelatihan, mereka merasa “dibohongi” atau “terbohongi”. Sebab, yang dirasakan justru rasa jenuh, bosan, boring, bete, dan tidak happy. Sebab instruktur (pemandu) telah “memaksa” mereka untuk “hadir dan duduk selama berhari-hari atau lebih untuk mendengarkan/menyaksikan sekumpulan ide-ide abstrak”.
Di samping tiga gejala di atas, tentu saja masih banyak gejala lain yang bisa disaksikan, didengar dan dirasakan atau dialami oleh setiap kader dalam tubuh HMI. Karena, memang organisasi itu pada dasarnya seperti tubuh dengan seribu wajah. Setiap kader HMI pada umumnya akan memiliki pandangan dan perasaan yang berbeda-beda terhadap kondisi obyektif organisasi. Sebab, memang dalam organisasi nir-laba seperti HMI ini, biasanya memiliki persoalan yang menjadi konflik atau dilema dalam memformulasikan gagasan-gagasan organisatorisnya, khususnya dalam perkaderannya. Beberapa dilemma itu, antara lain :
a. Bagaimana saya menyeimbangkan tuntutan kehidupan pribadi dan organisasi di tengah-tengah tekanan yang terus-menerus ?
b. Bagaimana saya dapat dengan tulus berbahagia melihat kesuksesan dan kemampuan orang lain ?
c. Bagaimana kita dapat mengontrol dan juga memberikan orang kebebasan dan otonomi yang dibutuhkan agar mereka efektif dalam bekerja atau menjalankan tugas-tugas organisasi ?
d. Bagaimana kita dapat menanamkan prinsip-prinsip kualitas menyeluruh dan perbaikan terus-menerus pada semua lapisan dan semua orang (kader) apabila mereka sinis terhadap hasil usaha program bulan atau tahun (masa) lalu ?

Beberapa dilema di atas, yang merupakan implikasi secara langsung atau tidak dari tidak beresnya proses perkaderan, sebenarnya bagian dari budaya paternalistik yang tergantung, yang memandang pelatihan sebagai biaya, bukan investasi. Organisasi, khususnya perkaderan dianggapnya mengelola manusia sebagai “barang”. Apakah hal ini juga terjadi dalam perkaderan di HMI ?
Dalam upaya membesarkan HMI agar menjadi organisasi yang produktif dan efektif, perlu kiranya menerapkan prinsip dasar dalam pengembangan kader, yaitu : Berikan seseorang seekor ikan maka anda telah memberinya makan untuk satu hari. Ajari dia memancing ikan maka anda memberinya makan seumur hidup.
Prinsip dasar di atas, bisa dikembangkan dalam empat dimensi yang sekaligus menjadi jenjang dalam proses pembentukan kader, yaitu :
1. Pribadi (personal) dengan kualifikasi layak dipercaya
2. Interpersonal dengan kualifikasi kepercayaan
3. Manajerial dengan kualifikasi pemberdayaan agar efektif
4. Organisasional dengan kualifikasi penyelarasan agar produktif

Dalam menjalankan proses perkaderan dengan prinsip di atas, maka perlu pendekatan perkaderan yang tepat, yaitu pendekatan yang berpijak pada tujuh kebiasaan efektif manusia (kader) :
1. Jadilah pro-aktif, yaitu kemampuan pengetahuan akan diri atau kesadaran diri – citra diri.
2. Mulai dengan mengacu pada tujuan, yaitu sebagai kemampuan imajinasi dan suara hati - motivasi.
3. Dahulukan yang utama dalam bentuk kemampuan niat.
4. Berfikir menang/menang, yaitu berupa kemampuan mentalitas berkelimpahan.
5. Berusaha mengerti terlebih dulu, baru dimengerti, yaitu kemampuan dari keberanian diimbangi dengan pertimbangan.
6. Bersinergi, yaitu merupakan kemampuan kreatifitas - penciptaan sesuatu.
7. Asahlah gergaji, yaitu sebagai kemampuan unik dari perbaikan berkelanjutan atau pembaharuan diri untuk mengatasi kemandegan, kejumudan atau konservatisme.

Namun demikian, yang sering terjadi dalam organisasi kader seperti HMI adalah justru melakukan kekeliruan, antara lain sebagai berikut :
1. Bersikap reaktif: tidak percaya diri dan menyalahkan orang lain.
2. Bekerja tanpa mengacu pada suatu tujuan jelas.
3. Melakukan hal-hal tidak mendesak terlebih dahulu.
4. Berfikir menang-kalah.
5. Minta dipahami terlebih dahulu.
6. Bila anda tidak bisa menang, berkompromi.
7. Takut pada perubahan dan menolak perbaikan

Mencermati perkaderan HMI dalam dekade terakhir ini, kita memang perlu apresiatif, sebab telah tumbuh kesadaran besar untuk melakukan pembaharuan di semua aspek perkaderannya. Namun demikian, sayang sekali bahwa keinginan besar itu, nampaknya belum diimbangi dengan kemampuan analisa yang komprehensif terhadap makna sebenarnya dari perkaderan itu sendiri serta berbagai aspek yang berkaitan dengan proses perkaderan; seperti prinsip dasar perkaderan, falsafah perkaderan, pola dasar perkaderan, muatan perkaderan, metodologi perkaderan dan manajemen perkaderannya. Akibatnya, pembaharuan yang berlangsung, di satu sisi merupakan bentuk kreatifitas yang memang perlu dihargai. Namun sekali lagi, mengapa “pembaharuan” itu kok justru menimbulkan persoalan baru yang bisa merusak wajah intelektualitas HMI yang elegan, kosmopolitan dan selalu berpikir akademis.
Karena itu, sesuatu yang perlu direnungkan bersama adalah bahwa perbaikan dalam perkaderan itu bukanlah sesuatu yang harus dimulai dari luar, tetapi justru harus dimulai dari dalam (dari diri sendiri). Perubahan bukan dimulai dengan belajar “ketrampilan baru”, tatapi dengan meningkatkan integritas terhadap prinsip-prinsip dasar. Inilah prinsip berpikir yang berpijak pada kepemimpinan yang berprinsip.

Belajar Dari Hukum Pertanian
HMI adalah organisasi yang bersifat organic bukan mekanis. Artinya, HMI itu bukanlah seperti mesin yang jika ada bagian yang rusak atau mati, kita tinggal mengganti bagian yang rusak itu dengan onderdil (komponen) yang baru, lantas selesai. HMI adalah benda hidup yang terdiri dari orang-orang hidup, tumbuh dan berkembang. Benda-benda hidup itu tidak dapat “diperbaiki” dengan mengganti bagian-bagian yang tidak berfungsi; tetapi benda-benda hidup itu hanya bisa “ditumbuhkan” untuk memberikan hasil-hasil yang diinginkan. Hasil (panen) yang diinginkan dalam HMI tidak diciptakan oleh montir, tetapi oleh “tukang kebun”. Tukang kebun tahu bahwa kehidupan (organisasi) itu terdapat di dalam benih. Walaupun mustahil membuat benih tumbuh, tetapi tukang kebun masih tetap bisa memilih benih terbaik, kemudian menggunakan logika “dan” untuk menciptakan keadaan - temperatur, tanah yang tepat, sinar matahari yang cukup, air, pupuk, menyiangi, mengolah tanah - yang kesemuanya itu akan mendukung memaksimalkan pertumbuhan sang benih. Jadi, para aktivis (pertanian) organisasi bekerja dengan salah satu persyaratannya adalah mengakomodasi pertentangan kronis antara kontrol organisasi dan otonomi perorangan melalui kesepakatan win-win - kesepakatan yang menunjukkan suatu “kemenangan” bagi perorangan dan “kemenangan” bagi organisasi juga.
Singkat kata, bagi kader HMI, untuk mampu menjadi pribadi-pribadi yang menang sebagai persyaratan utama menuju kemenangan organisasi, dituntut untuk banyak belajar dari “hukum pertanian”, yang berpijak pada prinsip “menunda dan melakukan sesuatu secara tergesa-gesa tidak berlaku dalam bertani”. Sapi harus diperah setiap hari. Hal-hal lain harus dikerjakan menurut waktunya dan menurut siklus alami. Konsekuensi alami akan menyusul setiap pelanggaran, walaupun terdapat “niat baik”. Dalam hukum pertanian, proses alami seperti “saya harus menyiapkan benih yang berkualitas, menyiapkan lahan, menyemai benih, mengolah lahan, menyiangi, mengairi dan menjaga gangguan OPT”, relevan diterapkan dalam mengelola perkaderan di HMI.
Dalam konteks ini, hukum alam berlaku tidak pandang bulu (organisasi yang punya sejarah gemilang bukan berati akan seterusnya gemilang). Karena itu, menanamkan prinsip-prinsip pertanian ini pada pusat kehidupan organisasi dan semua perilakunya, khususnya dalam konteks perkaderan akan menjadi jaminan kontinuitas dan produktifitas organisasi. Dengan melakukan hal ini maka pola pikir kita akan berubah dari mentalitas “kelangkaan” menjadi mentalitas “berkelimpahan”. Dalam bahasa “petani kentang”, mentalitas berkelimpahan berarti “semakin tipis kulitnya semakin besar isinya”.


Yogyakarta, 24 Maret 2009

M. Mahlani
Ketua Umum HMI Cabang Yogyakyarta tahun 1993-1994. Sekarang, Sekretaris Eksekutif Lembaga BIMASENA Yogyakarta dan Sekretaris Yayasan Kemaslahatan Umat (YKU) Yogyakarta serta Islamic Counsellor Departemen Agama Kota Yogyakarta.



0 komentar:

Designed by - alexis 2008 | ICM