29 Maret 2009

Menyikapi Gejala-Gejala Perkaderan

Dan Pemikiran Menuju Pelatihan Efektif

M. Mahlani
(artikel ini dapat diunduh gratis di e-book perkaderan)
Perkaderan bagi HMI sebagai organisasi yang concern dengan pengembangan potensi kreatif mahasiswa, merupakan proses dinamis yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi dinamika organisasi. Karena itu, seberapa jauh efektifitas perkaderan yang berlangsung di dalamnya, akan mejadi penentu terhadap kinerja organisasi dan proses transformasi (termasuk regenerasi) kader secara struktural maupun kultural (khususnya dalam aspek perilaku organisasi). Dengan demikian, maka proses perkaderan bisa diposisikan sebagai faktor utama bagi produktifitas organisasi dalam menghasilkan karya-karya yang signifikan bagi eksistensi organisasi itu sendiri maupun yang bermanfaat bagi lingkungannya.
Dalam sejarahnya, HMI dipandang sebagai organisasi yang memiliki sistem perkaderan cukup baik - di samping Pelajar Islam Indonesia (PII) - khususnya di kalangan organisasi kepemudaan-kepelajaran dan kemahasiswaan. Hal ini bisa dilihat dari tetap terpeliharanya kontinuitas kepemimpinan (secara struktural dan kultural) organisasi, peran-peran kader HMI (termasuk para alumninya) dalam berbagai sektor; pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dll.

Namun demikian, baik tidaknya perkaderan di sini, memang tidak hanya bisa dilihat dari kontinuitas kepemimpinan organisasi. Di samping itu, karya-karya produktifnya, baik dalam bentuk perilaku organisasi yang solid, dinamis dan elegan, maupun dalam bentuk pribadi kader-kadernya yang berdisiplin tinggi, berkomitmen terhadap perjuangan organisasi, dan kreatif-inovatif, juga dalam hal efektifitas perkaderan yang dilakukannya. Artinya bahwa tatkala HMI secara kelembagaan tidak lagi memiliki efektifitas untuk menggerakkan potensi organisasi ataupun potensi kader yang dimilikinya, ini menjadi alamat bahwa perkaderan HMI telah mengalami kejumudan atau dapat dikatakan memasuki wilawah “persolaan serius”.

Gejala-gejala dalam proses perkaderan
Beberapa gejala umum yang sering terjadi dalam proses perkaderan, antara lain sebagi berikut :
a. Dalam sisi wajah kepengurusan organisasi; sebagian pengurus seringkali tidak berusaha membina hubungan baik dengan seluruh anggotanya. Mereka mengira dapat berpura-pura baik di depan umum (khalayak) kader-kadernya dan kemudian mengumpat dan menyumpah serapah serta membanting pintu di rumah (sekretariat). Ironisnya, mereka kemudian terkejut mendapatkan anak buahnya (anggotanya) satu persatu tidak aktif (rontok), menjauh dan akhirnya hilang.
b. Dalam sisi wajah anggota organisasi seringkali mereka mengira bahwa setelah menjadi anggota HMI, lantas namanya akan menjadi besar (sebagaimana nama-nama para alumninya yang sekarang banyak menjadi public figure. Mereka mengira setiap saat akan mendapat full servis dari pengurus; dari urusan pribadi sampai urusan akademik. Mereka baru sadar setelah seminggu, sebulan, setahun atau bertahun-tahun ditunggu-tunggu, ternyata tidak mendapat apa-apa. Akhirnya dengan nada mengumpat, “HMI omong kosong” mereka mulai menjauhi HMI dan kemungkinan bisa saja akhirnya “membenci” HMI.
c. Dalam sisi yang paling praktis, dalam perkaderan, khususnya di arena pelatihan; para kader sebelum memasuki arena pelatihan berobsesi akan bersuka ria, senang, gembira dengan sejuta harapan di dalam pikirannya. Tetapi, seringkali yang terjadi sebaliknya. Setelah memasuki arena pelatihan, mereka merasa “dibohongi” atau “terbohongi”. Sebab, yang dirasakan justru rasa jenuh, bosan, boring, bete, dan tidak happy. Sebab instruktur (pemandu) telah “memaksa” mereka untuk “hadir dan duduk selama berhari-hari atau lebih untuk mendengarkan/menyaksikan sekumpulan ide-ide abstrak”.
Di samping tiga gejala di atas, tentu saja masih banyak gejala lain yang bisa disaksikan, didengar dan dirasakan atau dialami oleh setiap kader dalam tubuh HMI. Karena, memang organisasi itu pada dasarnya seperti tubuh dengan seribu wajah. Setiap kader HMI pada umumnya akan memiliki pandangan dan perasaan yang berbeda-beda terhadap kondisi obyektif organisasi. Sebab, memang dalam organisasi nir-laba seperti HMI ini, biasanya memiliki persoalan yang menjadi konflik atau dilema dalam memformulasikan gagasan-gagasan organisatorisnya, khususnya dalam perkaderannya. Beberapa dilemma itu, antara lain :
a. Bagaimana saya menyeimbangkan tuntutan kehidupan pribadi dan organisasi di tengah-tengah tekanan yang terus-menerus ?
b. Bagaimana saya dapat dengan tulus berbahagia melihat kesuksesan dan kemampuan orang lain ?
c. Bagaimana kita dapat mengontrol dan juga memberikan orang kebebasan dan otonomi yang dibutuhkan agar mereka efektif dalam bekerja atau menjalankan tugas-tugas organisasi ?
d. Bagaimana kita dapat menanamkan prinsip-prinsip kualitas menyeluruh dan perbaikan terus-menerus pada semua lapisan dan semua orang (kader) apabila mereka sinis terhadap hasil usaha program bulan atau tahun (masa) lalu ?

Beberapa dilema di atas, yang merupakan implikasi secara langsung atau tidak dari tidak beresnya proses perkaderan, sebenarnya bagian dari budaya paternalistik yang tergantung, yang memandang pelatihan sebagai biaya, bukan investasi. Organisasi, khususnya perkaderan dianggapnya mengelola manusia sebagai “barang”. Apakah hal ini juga terjadi dalam perkaderan di HMI ?
Dalam upaya membesarkan HMI agar menjadi organisasi yang produktif dan efektif, perlu kiranya menerapkan prinsip dasar dalam pengembangan kader, yaitu : Berikan seseorang seekor ikan maka anda telah memberinya makan untuk satu hari. Ajari dia memancing ikan maka anda memberinya makan seumur hidup.
Prinsip dasar di atas, bisa dikembangkan dalam empat dimensi yang sekaligus menjadi jenjang dalam proses pembentukan kader, yaitu :
1. Pribadi (personal) dengan kualifikasi layak dipercaya
2. Interpersonal dengan kualifikasi kepercayaan
3. Manajerial dengan kualifikasi pemberdayaan agar efektif
4. Organisasional dengan kualifikasi penyelarasan agar produktif

Dalam menjalankan proses perkaderan dengan prinsip di atas, maka perlu pendekatan perkaderan yang tepat, yaitu pendekatan yang berpijak pada tujuh kebiasaan efektif manusia (kader) :
1. Jadilah pro-aktif, yaitu kemampuan pengetahuan akan diri atau kesadaran diri – citra diri.
2. Mulai dengan mengacu pada tujuan, yaitu sebagai kemampuan imajinasi dan suara hati - motivasi.
3. Dahulukan yang utama dalam bentuk kemampuan niat.
4. Berfikir menang/menang, yaitu berupa kemampuan mentalitas berkelimpahan.
5. Berusaha mengerti terlebih dulu, baru dimengerti, yaitu kemampuan dari keberanian diimbangi dengan pertimbangan.
6. Bersinergi, yaitu merupakan kemampuan kreatifitas - penciptaan sesuatu.
7. Asahlah gergaji, yaitu sebagai kemampuan unik dari perbaikan berkelanjutan atau pembaharuan diri untuk mengatasi kemandegan, kejumudan atau konservatisme.

Namun demikian, yang sering terjadi dalam organisasi kader seperti HMI adalah justru melakukan kekeliruan, antara lain sebagai berikut :
1. Bersikap reaktif: tidak percaya diri dan menyalahkan orang lain.
2. Bekerja tanpa mengacu pada suatu tujuan jelas.
3. Melakukan hal-hal tidak mendesak terlebih dahulu.
4. Berfikir menang-kalah.
5. Minta dipahami terlebih dahulu.
6. Bila anda tidak bisa menang, berkompromi.
7. Takut pada perubahan dan menolak perbaikan

Mencermati perkaderan HMI dalam dekade terakhir ini, kita memang perlu apresiatif, sebab telah tumbuh kesadaran besar untuk melakukan pembaharuan di semua aspek perkaderannya. Namun demikian, sayang sekali bahwa keinginan besar itu, nampaknya belum diimbangi dengan kemampuan analisa yang komprehensif terhadap makna sebenarnya dari perkaderan itu sendiri serta berbagai aspek yang berkaitan dengan proses perkaderan; seperti prinsip dasar perkaderan, falsafah perkaderan, pola dasar perkaderan, muatan perkaderan, metodologi perkaderan dan manajemen perkaderannya. Akibatnya, pembaharuan yang berlangsung, di satu sisi merupakan bentuk kreatifitas yang memang perlu dihargai. Namun sekali lagi, mengapa “pembaharuan” itu kok justru menimbulkan persoalan baru yang bisa merusak wajah intelektualitas HMI yang elegan, kosmopolitan dan selalu berpikir akademis.
Karena itu, sesuatu yang perlu direnungkan bersama adalah bahwa perbaikan dalam perkaderan itu bukanlah sesuatu yang harus dimulai dari luar, tetapi justru harus dimulai dari dalam (dari diri sendiri). Perubahan bukan dimulai dengan belajar “ketrampilan baru”, tatapi dengan meningkatkan integritas terhadap prinsip-prinsip dasar. Inilah prinsip berpikir yang berpijak pada kepemimpinan yang berprinsip.

Belajar Dari Hukum Pertanian
HMI adalah organisasi yang bersifat organic bukan mekanis. Artinya, HMI itu bukanlah seperti mesin yang jika ada bagian yang rusak atau mati, kita tinggal mengganti bagian yang rusak itu dengan onderdil (komponen) yang baru, lantas selesai. HMI adalah benda hidup yang terdiri dari orang-orang hidup, tumbuh dan berkembang. Benda-benda hidup itu tidak dapat “diperbaiki” dengan mengganti bagian-bagian yang tidak berfungsi; tetapi benda-benda hidup itu hanya bisa “ditumbuhkan” untuk memberikan hasil-hasil yang diinginkan. Hasil (panen) yang diinginkan dalam HMI tidak diciptakan oleh montir, tetapi oleh “tukang kebun”. Tukang kebun tahu bahwa kehidupan (organisasi) itu terdapat di dalam benih. Walaupun mustahil membuat benih tumbuh, tetapi tukang kebun masih tetap bisa memilih benih terbaik, kemudian menggunakan logika “dan” untuk menciptakan keadaan - temperatur, tanah yang tepat, sinar matahari yang cukup, air, pupuk, menyiangi, mengolah tanah - yang kesemuanya itu akan mendukung memaksimalkan pertumbuhan sang benih. Jadi, para aktivis (pertanian) organisasi bekerja dengan salah satu persyaratannya adalah mengakomodasi pertentangan kronis antara kontrol organisasi dan otonomi perorangan melalui kesepakatan win-win - kesepakatan yang menunjukkan suatu “kemenangan” bagi perorangan dan “kemenangan” bagi organisasi juga.
Singkat kata, bagi kader HMI, untuk mampu menjadi pribadi-pribadi yang menang sebagai persyaratan utama menuju kemenangan organisasi, dituntut untuk banyak belajar dari “hukum pertanian”, yang berpijak pada prinsip “menunda dan melakukan sesuatu secara tergesa-gesa tidak berlaku dalam bertani”. Sapi harus diperah setiap hari. Hal-hal lain harus dikerjakan menurut waktunya dan menurut siklus alami. Konsekuensi alami akan menyusul setiap pelanggaran, walaupun terdapat “niat baik”. Dalam hukum pertanian, proses alami seperti “saya harus menyiapkan benih yang berkualitas, menyiapkan lahan, menyemai benih, mengolah lahan, menyiangi, mengairi dan menjaga gangguan OPT”, relevan diterapkan dalam mengelola perkaderan di HMI.
Dalam konteks ini, hukum alam berlaku tidak pandang bulu (organisasi yang punya sejarah gemilang bukan berati akan seterusnya gemilang). Karena itu, menanamkan prinsip-prinsip pertanian ini pada pusat kehidupan organisasi dan semua perilakunya, khususnya dalam konteks perkaderan akan menjadi jaminan kontinuitas dan produktifitas organisasi. Dengan melakukan hal ini maka pola pikir kita akan berubah dari mentalitas “kelangkaan” menjadi mentalitas “berkelimpahan”. Dalam bahasa “petani kentang”, mentalitas berkelimpahan berarti “semakin tipis kulitnya semakin besar isinya”.


Yogyakarta, 24 Maret 2009

M. Mahlani
Ketua Umum HMI Cabang Yogyakyarta tahun 1993-1994. Sekarang, Sekretaris Eksekutif Lembaga BIMASENA Yogyakarta dan Sekretaris Yayasan Kemaslahatan Umat (YKU) Yogyakarta serta Islamic Counsellor Departemen Agama Kota Yogyakarta.



selengkapnya.....

Pemikiran Menuju Pelatihan Yang Efektif

M. Mahlani
(artikel ini juga bisa di download di e-book perkaderan)
Setiap organisasi perlu untuk mengatur dengan baik, melatih dan memberikan pengalaman kepada para staff atau kader-kadernya untuk melakukan pekerjaanya secara efektif dan efisien. Dengan pelatihan itu, diharapkan mereka menjadi produktif dan dapat mendukung produktifitas organisasi sehingga mampu mengembangkan daya saing organisasi secara komparatif dan kompetitif (comparatif and competitive advantage). Dalam hal ini, maka penyelenggaraan pelatihan (training) dan pengembangan (development) merupakan kebutuhan utama organisasi, utamanya adalah dalam rangka merespon terhadap dinamika internal dan eksternal organisasi yang semakin kompleks.
Dalam konteks internal, pekerjaan yang semakin kompleks menuntut para fungsionarisnya untuk mengetahui, bagaimana mereka bekerja, sikap mereka terhadap pekerjaannya atau interaksi mereka dengan teman sekerja. Sementara itu, dalam konteks eksternal, perubahan ekonomi, sosial, teknologi dan pemerintahan secara signifikan mempengaruhi tujuan dan strategi semua organisasi. Karena itu, menuntut para kader organisasi untuk selalu memperbaharui skills-nya untuk mendukung perubahan dan ekspansi organisasi secara terencana .
Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development)
Pelatihan (training) adalah pengalaman belajar untuk mengembangkan perubahan yang permanen di dalam individu yang akan memperbaiki keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), sikap (attitute) atau perilaku (behavior). Dengan kata lain, pelatihan itu adalah proses pembelajaran yang melibatkan kemahiran keterampilan, konsep, kebiasaan atau sikap untuk meningkatkan kinerja kader-kader organisasi .
Sementara itu, pengembangan pada umumnya memfokuskan pada pekerjaan organisasi di masa mendatang. Dengan kata lain, pengembangan bertujuan untuk menyiapkan kader yang siap memangku jabatan tertentu di masa yang akan datang, dengan berbagai kualifikasi yang diperlukan seperti; kemampuan memimpin, kemampuan konseptual, keterampilan komunikasi, kinerja dan pendisiplinan individual .
Pelatihan dan pengembangan memiliki kesamaan dalam metode, khususnya dalam hal mempengaruhi pembelajaran, tetapi memiliki frame waktu yang berbeda. Pelatihan berorientasi pada sekarang; dengan fokusnya pada pekerjaan individual secara langsung, untuk mempertinggi ketrampilan dan kemampuan khusus dalam melakukan pekerjaan tertentu. Jadi, tujuan pelatihan adalah untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu untuk kebutuhan sekarang.
Sedangkan pengembangan bersifat lebih luas karena menyangkut banyak aspek, seperti peningkatan dalam keilmuan, pengetahuan, kemampuan, sikap dan kepribadian. Program pelatihan dan pengembangan bertujuan antara lain untuk menutupi “gap” antara kecakapan karyawan dengan permintaan jabatan, selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja kader dalam mencapai sasaran kerja .

Perbedaan Pelatihan dan Pengembangan

Pelatihan Pengembangan
Tujuan Memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu untuk kebutuhan sekarang
Menyiapkan pegawai siap memangku jabatan tertentu di masa yang akan datang, dengan berbagai kualifikasi yang diperlukan seperti keterampilan komunikasi, kinerja dan pendisiplinan individual.
Pengertian Pengalaman belajar untuk mengembangkan perubahan yang permanen di dalam individu dalam rangka memperbaiki keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), sikap (attitute) atau perilaku (behavior).
Aktivitas karyawan dalam upaya untuk menanamkan proses penalaran secara logis – lebih untuk mempertinggi kemampuan seseorang untuk memahami dan menginterpretasikan pengetahuan - daripada memberi kerangka pelajaran atau pengajaran seperangkat skill yang spesifik.

Orientasi • Skill
• Knowledge
• Attitude or behavior Pengembangan karir personal potensial
Sasaran Waktu Jangka pendek - sekarang Jangka panjang – masa depan

PEMBELAJARAN, PENGAJARAN
DAN PELATIHAN

PEMBELAJARAN PENGAJARAN PELATIHAN

BASIS UTAMA
Rumah
Lingkungan hidup
Masyarakat
Kelompok informasi
• Sekolah
• Akademi
• Universitas
• Organisasi formal
• (perusahaan)
• Tempat bekerja
• Kantor
• Tempat kursus
• Organisasi non-formal
TUJUAN • Membentuk karaakter/watak
• Mendewasakan
• Memandirikan
• Memberdayakan
• Memerdekakan • Membentuk konsep/teori
• Memberi ilmu (alam, sosial, dll) • Membentuk perilaku/praktik
• Menerampilkan
MANUSIA SEBAGAI • Homo significantc dan homo ludens
• Essensi yang perlu disadarkan
• Homo sapiens
• Gelas kosong yang perlu diisi • Homo valens dan homo mechanicus
• Potensi yang perlu dikembangkan
PROSES • Educating
• Olah rasa/hati
• Belajar menjadi
• Informal
• Penyelarasan • Teaching
• Olah pikir/otak
• Belajar bagaimana belajar berpikir
• Formal
• Pembedaan • Training
• Olag raga/otot
• Belajar melakukan, belajar bagaimana hidup bersama
• Non formal
• Penyamaan•
MENYENTUH SOAL Paradigma hidup
Hati nurani
Integritas
Sensitif
Innate image
Eksistensial
Iman Sikap hidup
Akal
Efektivitas
Antisipatif
Virtual image
Konseptual
Ilmu Perilaku/gaya hidup
Kehendak
Efisiensi
Adaptif
Social image
Praktikal
Perbuatan (amal)

HASIL-HASIL • Bermoral
• Berkarakter
• Siap hidup
• Otentik
• Learning individual
• Learning organisation • Berpengetahuan
• Berilmu
• Siap belajar
• Unggul
• Knowledge individual
• Knowledge manajemen • Berketerampilan
• Berkepribadian
• Siap pakai/kerja
• Kompeten
• Knowledge worker
• Productive organization

Langkah dalam pelatihan dan Pengembangan















Menganalisa Kebutuhan Pelatihan
Bagaimana sebuah organisasi menilai apakah terdapat kebutuhan terhadap pelatihan? Untuk menjawab pertanyaan itu, maka sebelum melaksanakan pelatihan, perlu melakukan needs assessment, yaitu analisis secara sistematik dari aktivitas pelatihan secara spesifik yang diperlukan oleh organisasi untuk mencapai tujuannya. Umumnya, needs assessment dapat ditentukan di dalam tiga cara: analisis organisasi, analisis departemental atau unit fungsional, dan analisis pengurus/kader secara individu .
Dalam konteks organisasi, catatan ketidakhadiran dalam rapat-rapat/kegiatan organisasi, pergantian, kelambatan, dan rata-rata kejadian memberikan bukti obyektif atas problem-problem di dalam organisasi. Ketika problem itu terjadi, catatan itu harus diuji secara hati-hati untuk menentukan apakah problem itu dapat dipecahkan melalui pelatihan.
Survey sikap pengurus/kader organisasi dapat juga digunakan untuk menemukan kebutuhan pelatihan, pada level unit fungsional dan organisasi. Sementara itu, survey terhadap kustomer dapat juga mengindikasikan wilayah problem yang yang terjadi di luar organisasi. Respons terhadap survey kustomer bisa mengindikasikan bidang pelatihan untuk organisasi secara keseluruhan atau di dalam unit-unit fungsional dari organisasi itu.
Sementara itu, Menurut Husein Umar (1999), mengutip dari pendapat Barry, (1994), mengemukakan beberapa komponen yang menentukan terhadap kebutuhan pelatihan, antara lain : (1) perubahan staf, (2) perubahan teknologi, (3) perubahan pekerjaan, (4) perubahan ekonomi, (5) pola baru pekerjaan, (6) tekanan pasar/eksternal, (7) kebijakan sosial, (8) aspirasi pengurus, (9) variasi kerja, (10) kesamaan kesempatan (11) perubahan peraturan hukum, dan lain-lain .

Menentukan Tujuan Pelatihan
Tujuan harus dirumuskan untuk memenuhi kebutuhan pelatihan. Sayangnya, banyak program pelatihan yang tidak memiliki tujuan yang jelas. Jadi, yang seringkali terjadi adalah “pelatihan hanya demi pelatihan”.
Tujuan pelatihan yang efektif harus menyatakan apakah organisasi, departemen, atau individu menjadi senang ketika pelatihan itu sempurna. Hasilnya harus tertulis. Tujuan pelatihan dapat dikategorikan menjadi tiga :

1. Tujuan instruksional, mencakup beberapa pertanyaan:
a. Apakah prinsip-prinsip, fakta, dan konsep yang akan dipelajari di dalam program pelatihan itu ?
b. Siapakah yang melatih ?
c. Kapan mereka melatih ?

2. Tujuan departemen dan organisasi
Apakah pengaruh pelatihan itu terhadap hasil organisasi dan departemen, seperti ketidakhadiran pengurus, pergantian, penurunan partisipasi atau produktivitas yang meningkat ?

3. Tujuan pertumbuhan dan kinerja individu
a. Apakah pengaruh training itu terhadap perilaku dan sikap individu yang ditraining ?
b. Apakah pengaruh training terhadap pertumbuhan personal dari individu peserta training? (misal: sikap-mentalnya, kedisiplinannya, sosialisasinya, kinerjanya, dll)

Dalam hal ini, fungsi dari tujuan adalah untuk menentukan standar evaluasi program, apakah efektif atau tidak.

Pendekatan dan Metode Pelatihan
Pendekatan yang efektif dalam pelatihan adalah partifipatif atau andragogi. Hal ini penting karena peserta pelatihan adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman. Sementara itu, petode pelatihan paling populer digunakan oleh organisasi diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, pelatihan di tempat kerja (on-the job training). Kedua, pelatihan di luar tempat kerja (off-the job training) .

On-the Job Training
Hampir semua metode pelatihan yang digunakan secara luas memakai on the job training. Popularitas dari metode ini dapat memberikan gambaran pada kesederhanaanya dan pengaruh bahwa model itu tidak terlalu mahal untuk menjalankannya. On-the Job Training menempatkan peserta training di dalam situasi kerja aktual dan membuatnya menjadi produktif. Inilah yang disebut belajar dengan bekerja.
On-the Job Training, terdiri dari dua tipe :
1. Program magang (apprentichesip programs). Program ini menempatkan peserta training dibawah pemandu yang disebut master. Argumen untuk program magang ini adalah bahwa keperluan pengetahuan dan ketrampilan adalah begitu kompleks sehingga untuk mengenyampingkan sesuatu lebih sedikit daripada waktu dimana peserta menggantikan master yang telah trampil.
2. Pelatihan pengajaran pekerjaan (job instruction training). Tipe ini memiliki beberapa langkah dasar :
a. Menyiapkan peserta pelatihan dengan mengenalkannya tentang pekerjaan dan penguasaan ketidaktentuan mereka.
b. Menghadirkan pekerjaan, memberikan informasi yang essensial dengan cara yang jelas.
c. Menghadirkan peserta training untuk mencoba mendemonstrasikan pemahamnnya.

Teknik utama pelatihan di tempat kerja adalah : demonstrasi (praktek menyelesaikan sesuatu pekerjaan dalam rangka meningkatkan skill karyawan), melatih (lebih mengarah pada praktek manajerial dan professional), melatih dengan cara mengerjakan sendiri, serta rotasi kerja.
Namun demikian, salah satu dari kekurangan on-the Job Training adalah produktivitas bisa rendah dan kemungkinan menimbulkan error yang diciptakan oleh karyawan yang sedang belajar.

Off-the Job Training (JIT)
Off-the Job Training diperlukan adalah untuk mengatasi sejumlah teknik belajar, seperti; kuliah di kelas, pemutaran film, demontrasi, dan instruksi yang telah terprogram. Beberapa bentuk yang bisa dikembangkan dalam metode off-The job Training, antara lain sebagai berikut:
1. Kuliah di Kelas (Clasroom Lectures)
Model ini didesain untuk berkomunikasi interpersonal secara spesifik, teknis dan ketrampilan problem solving.

2. Video dan Film (Videos and Vilms)
Menggunakan bermacam-macam produksi media untuk mendemonstrasikan ketrampilan yang khusus yang tidak mudah dipresentasikan dengan metode training.

3. Latihan Simulasi
Training yang berlangsung dengan menampilkan pekerjaan secara aktual. Ini bisa termasuk analisis kasus, pengalaman yang telah dialami, role playing, dan dinamika kelompok.

4. Pelatihan Berdasarkan Computer (Computer-Based Training)
Simulasi lingkungan kerja dengan program komputer untuk mengakrabkan banyak realitas pekerjaan.

5. Vestibule Training
Vestibule training ini sejenis dengan simulasi hanya praktek simulasinya bukan menggunakan instrumen atau alat-alat yang sebenarnya. Misalnya, seorang pilot, sebelum praktek simulai menggunakan pesawat yang sebenarnya, maka perlu melakukan simulasi menggunakan pesawat tiruan.

6. Instruksi Terprogram (Programmed Instruction)
Pemadatan materi training ke dalam rangkaian yang logis, terorganisir. Bisa termasuk tutorial komputer, CD interaktif dan simulasi realitas yang sebenarnya.

Prinsip-Prinsip Pembelajaran
Di atas telah dipaparkan seputar bagaimana kebutuhan training ditentukan dan juga bagaimana training itu bisa dilaksanakan. Proses pelatihan yang berhasil secara efektif, perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran, antara lain sebagai berikut :
1. Motivasi untuk Mencapai Tujuan Personal (Motivation to Achieve Personal Goals).
2. Tahu hasil yang akan dicapai (knowledge of Results)
3. Penguatan (Reinforcement)
4. Aliran dari Program Pelatihan (Flow of the Training Program)
5. Praktek dan pengulangan (Practice and Repetition)
6. Waktu sessi pembelajaran (Spacing of Sessions)
7. Menyeluruh (Whole or Part Training)

Mengevaluasi Program Pelatihan
Untuk mengetahui proses dan tingkat keberhasilan sebuah pelatihan, maka perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi ini dapat dikembangkan ke dalam empat cakupan
1. Reaksi (reaction) – Bagaimana respon peserta terhadap program, apakah bisa terlibat, dalam proses atau tidak. ?
2. Pembelajaran (learning) – Apakah prinsip-prinsip, fakta-fakta, dan konsep-konsep dipelajari di dalam program training ?
3. Perilaku (behavior) – Apakah perilaku pekerjaan dari peserta berubah karena program pelatihan itu ?
4. Organisasi – Apakah efek pelatihan terhadap perilaku organisasi, budaya organisasi dan produktivitas organisasi.
5. Hasil (result) – Apakah hasil dari peserta program itu mencirikan faktor-faktor seperti mereduksi biaya atau pereduksian dalam pergantian (karyawan) ?
Sementara itu, menurut David A. Decenzo dan Stephen P. Robbin (1999), Evaluasi program pelatihan, khususnya yang didasakan pada performance mencakup beberapa hal berikut :
Daftar Pustaka
Davied A. Decenzo dan Stephen P. Robbins, Human Resource Management, Edisi 6, 1999, John Witey & Sons, Inc, New York.

Husein Umar, Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Jakarta, 1999, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Lloyd L Byars dan Leslie W. Rue, Human Resource Management, Edisi 3, Irwin, Boston, 1991

Gary Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusia, Terjemahan Benyamin Molan, Prenhallindo, Jakarta, 1997

Peter Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning Organization, Currency Doubleday, New York, 1990


selengkapnya.....

Total Quality Manajemen Dalam Pendidikan

Oleh: M. Mahlani

Organisasi pendidikan, dekade terakhir ini dituntut mampu memberikan atau mengasilkan produk jasa yang berkualitas.
Jasa sebagai produk layanan dalam organisasi pendidikan yang memenuhi kualitas atau mutu dapat dilihat dari beberapa aspek berikut (Ariani: 1999: 9):
1.Komunikasi (communication, yaitu komunikasi antara penerima jasa dengan pemberi jasa.
2.Kredibilitas (credibility), yaitu kepercayaan pihak penerima jasa terhadap pemberi jasa.
3.Keamanan (security), yaitu keamanan terhadap jasa yang ditawarkan.

4.Pengetahuan kustomer (knowing the customer), yaitu pengertian dari pihak pemberi jasa pada penerima jasa atau pemahaman pemberi jasa terhadap kebutuhan dan harapan pemakai jasa.
5.Standar (tangibles), yaitu bahwa dalam memberikan pelayanan kepada kustomer harus dapat diukur atau dibuat standarnya.
6.Reliabilitas (realiability), yaitu konsistensi kerja pemberi jasa dan kemampuan pemberi jasa dalam memenuhi janji para penerima jasa.
7.Tanggapan (responsivenerss), yaitu tanggapan pemberi jasa terhadap kebutuhan dan harapan penerima jasa.
8.Kompetensi (competence), yaitu kemampuan atau keterampilan pemberi jasa yang dibutuhkan setiap orang dalam organisasi untuk memberikan jasanya kepada penerima jasa.
9.Akses (access), yaitu kemudahan pemberi jasa untuk dihubungi oleh pihak penerima jasa.
10.Tata krama (courtesy), yaitu kesopanan, espek, perhatian, dan kesamaan dalam hubungan personel.
Sementara itu, kualitas jasa juga memiliki beberapa sifat atau karakteristik, antara lain;
1) subyektif,
2) umumnya berukuran afektif,
3) mengutamakan kepemerhatian,
4) terdiri dari non-materi – bisa berupa reputasi, sikap, tata krama, dan lain-lain,
5) tidak dapat dihitung secara kuantitatif, tetapi hanya bisa diyakini, dipercaya dan sebagainya.
Menurut Sallis (1993: 29-30) produk berupa jasa memiliki perbedaan dengan barang. Produk jasa memiliki beberapa persyaratan, antara lain :
1.Kontak langsung antara pemberi dan penerima jasa. Jasa biasanya diberikan secara langsung dari orang ke orang. Kualitas jasa juga ditentukan oleh orang yang mengirim dan menrima jasa tersebut.
2.Waktu merupakan elemen dari kualitas jasa. Jasa harus tepat waktu. Karena jasa selalu digunakan pada saat jasa itu diberikan, maka pengawasan kualitas dengan cara pengawasan selalu dinilai terlambat. Dalam konteks ini, interaksi personal merupakan hal yang memungkinkan adanya kesempatan untuk memberikan umpan balik dan evaluasi secara langsung. Hal ini adalah alat utama untuk menilai apakah konsumen itu puas atau tidak.
3.Bila terjadi “cacat” tidak dapat diperbaiki, karena jasa diterima langsung oleh pelanggan.
4.Tidak kasat mata (intangible), baik bentuk maupun kualitasnya. Dalam pemenuhan jasa, proses dinilai lebih penting daripada produk.
5.Sulit diukur dengan keberhasilan (output dan produktifitasnya).
6.Kepuasan yang bisa menjadi indikator.

Karena itu, jasa yang berikan oleh institusi pendidikan adalah pengajaran (tuition), penilaian atau pengujian (assessment) dan bimbingan (guidance) yang diberikan kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, sponsor dan lain-lain (Sallis, 1993: 31). Demikian halnya dengan PAI, maka produk yang diberikan adalah berupa jasa, yaitu baik jasa kedinasan (akademik) maupun non-dinas (non-akademik).
Di sisi lain, De Toro (1992: 64-65) memberikan gambaran sifat kualitas jasa, yaitu sebagai berikut :
1.Keterpercayaan (reliability), misalnya jujur, disiplin, adil, tepat waktu, dan sebagainya.
2.Keterjaminan (assurance), misalnya; kompetensi, percaya diri, memberikan keyakinan, keobyektifan dan sebagainya.
3.Penampilan (tangibles), seperti; kebersihan, baik, teratur, rapi, dan sebagainya.
4.Kepemerhatian (empathy), seperti; penuh perhatian terhadap pelanggan, melayani, ramah, komunikatif, simpatik dan sebagainya.
5.Ketanggapan (responsiveness), seperti; tanggap terhadap permintaan atau kebutuhan pelanggan.

selengkapnya.....

28 Maret 2009

Kritik Konstitusi tanpa Kepatuhan Konstitusi

Sleman, (Inbagteng Cyber Media)

Konstitusi yang telah susah payah dibuat dan menghabiskan dana banyak pembahasannya sewaktu Kongres ternyata meninggalkan banyak persoalan. Termasuk kritik banyak cabang saat ini terhadap pelaksanaan konstitusi ternyata mereka juga tidak mematuhinya. Inilah kemiskinan kita sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan karena tidak adanya komitmen bersama kita, ungkap Roni Hidayat koordinator Tim Pekerja Kongres saat melakukan diskusi pra kongres yang dilaksanakan HMI Badko Inbagteng kerjasama dengan Korps Pengader Nasional dan HMI Cabang Sleman yang berlangsung hari Rabu, 25 Maret 2009 bertempat di Gedung Amal Insani.

menurut Roni, kondisi memperihatinkan ini adalah akibat dari tidak berjalannya sistem organisasi HMI. Tidak adanya sosialisasi yang serius ditingkat kepemimpinan dari atas terhadap kepemimpinan bawahnya berdampak banyaknya kesalahan-kesalahan baik kesektariatan, protokoler dan lain sebagainya, termasuk hilangnya akses konstitusi semua kader. Problem penegakan konstitusi itu telah dimulai sejak awal tentang tidak jelasnya konstitusi yang sah diberlakukan. Apalagi yang dikirimkan ke cabang-cabang hanya berbentuk CD tidak dibukukan.

Misalkan problem yang banyak terjadi saat ini di lapangan tentang surat menyurat yang memakai via email. Banyak kesalahan terjadi, tanda tangannya kocar-kacir karena tidak memakai program pdf. Ada yang tidak bisa dibuka karena programnya yang tidak disesuaikan dengan program umum cabang. Kondisi ini serius harus disikapi oleh kita bersama. Sangat ironis kita sudah punya aturan konstitusi tapi penegakannya tidak terkontrol sama sekali. Maka dalam kongres ke-27 yang akan dilaksanakan di Yogyakarta dan sangat dekat ini kita butuh keseriusan, terutama pencatatan sehingga habis kongres harapannya nanti ada draf atau minimal CD yang bisa teman-teman cabang bawa ke daerah masing-masing. Saya sudah bilang mas Azwar koordinator SC Kongres, ungkap Roni.

Sebagai penanggungjawab yang menyiapkan draf pembahasan kongres ke-27 yang akan datang Roni Hidayat bersama Tim Pekerja Kongres lainnya telah mengidentifikasi beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam rancangan draf konstitusi. Pertama, TPK akan memperbaiki gramatikal konstitusi yang masih belum mengikuti standar bahasa. Kedua, besar kemungkinan TPK mengubah tentang masa keanggotaaan yang 12 tahun. Ketiga, TPK mengusahakan adanya aturan tentang mikanisme peradilan yang fair kalau ada kasus pemecatan keanggotaan, kita perlu belajar dari kasusnya Kasman yang terkesan sepihak. Keempat, TPK akan mengusakan sistem struktur HMI tidak legislatif Heavy seperti saat ini. Bentuk komisi PB HMI hanya pembuat aturan an sich tapi tidak punya kekuatan eksekusi karena pelibatan ke bawah tidak berjalan. Berbeda dengan dulu yang sangat efektif. Sistem organisasi sebagai kesatuan kepemimpian bergerak dengan total. contohnya sekarang di komisi PB HMI menyikapi persoalan kasus Lapindo. Masing-masing komisi punya kewenangan tapi tidak ada yang bergerak sama sekali. Bingung siapa yang akan menanggungjawabi, komisi politik, komisi ekonomi, komisi hukum atau komisi lainnya?, jadi bingung.

Termasuk banyak hal yang ada di konstitusi itu perlu dievaluasi menurut Roni Hidayat, misalkan, pertama, konstitusi kita saat ini masih mengatur pembuataan baju baret yang berlaku dahulu kala sewaktu HMI ada kepemanduan, jelas ini tidak relevan saat ini. Kedua, mars hijau hitam yang kita punya yang berlaku sekarang itu sama persis seperti liriknya hijau daun. Mendayu-dayu dan melayu. Padahal mars itu harus semangat dan cepat. Ketiga yang tidak kalah penting soal pelaksanaan milad kita, itu memakai sumber kalender hijriah atau miladiyah? Tanya Roni kepada peserta, kalau merujuk konstitusi jelas hijriah bukan masehi yang dipakai milad. Ini jelas kesalahan kita secara kolektif.

Dalam kesempatan Tanya jawab, Umam ketua HMI cabang Wonosobo menyatakan sudah saatnya HMI punya sistem reward and punishment. Karena jika tidak ini akan berakibat tidak ada ghirah berkomitmen terhadap konstitusi. Reward dan punishment semacam tanda bahwa kita serius menghargai konstitusi. Sedangkan Yanti formatur KPC HMI Semarang menyatakan bahwa ada problem dalam konstitusi. Misalkan pasal 29 dan 30 ART tentang Periode kepengurusan. Yang dipakai itu masa jabatan atau periode?, seringkali di lapangan ada kepengurusan kehilangan periodenya tapi jabatannya tetap satu tahun. Ini harus dijelaskan secara lengkap dalam konstitusi dilapangan sering terjadi kebingungan.

Diskusi semakin ramai ketika Saryo ketua HMI Cabang Sleman mengungkapkan pentingnya ada kriteria imamah dalam konstitusi. Jangan sampai ada kesalahan dalam memilih pemimpin. Misalkan tercantum secara tegas dalam konstitusi kemampuan bahasa ingris, toefl, lulus kuliah, pernah ikut LK3 dan segala macamnya. Ini penting untuk dipikirkan oleh TPK sebagai penanggungjawab pembuat draf materi yang akan dibahas di kongres. Konsep imamah dalam konstitusi adalah acuan bagaimana kwalitas pemimpin HMI bisa dipertanggungjawabkan kedepan. Jangan main-main, ungkap Saryo.

Jondhi ketua panitian Kongres dan Ketua PTK HMI cabang Yogyakarta menyatakan bahwa soal kriteria imamah itu tidak perlu dimasukkan dalam Anggaran Dasar HMI. Itu cukup dalam Tata tertib yang akan dibahas bersama oleh teman-teman cabang. Sedangkan menurut Roni, kriteria itu akan menjadi perdebatan dimana posisi aturan itu akan ditempatkan?, di Anggaran Rumah Tangga ataukah dalam Tata Tertib saja?, jelas kalau dalam Anggaran Dasar ini akan berpengaruh bagi pertanggungjawaban kwalitas ketua umum PB HMI kedepan. Tidak sekedar berlaku sesaat sewaktu kongres sesuai dengan Tata tertib yang ada.

Tidak kalah ramai ketika muncul wacana tentang nama HMI, perlu dirubah atau tidak?, atau perlu jalan Islah dengan membuat tim khusus?, Tim Pekerja Kongres dalam beberapa kesempatan pertemuan mengibaratkan perubahan nama HMI dalam konstitusi, HMI perlu belajar sama PDI-P. PDI jelas kondisinya pecah dan dipecahkan ketika rezim orde baru tapi PDI yang asli tetap kokoh walau berganti nama. namanya PDI itu ya.. PDI Megawati yang kita kenal PDI-P. Jadi kalau HMI ya HMI (MPO) tidak yang lain, tukas Roni.

Menjawab hasil diskusi sementara di TPK soal sinyal perubahan nama, Umam ketua HMI cabang Wonosobo menyatakan bahwa HMI cabang Wonosobo siap akan mendirikan HMI perjuangan jika HMI Islah. HMI harus tetap HMI MPO. Tidak boleh Islah. Tidak ada kamus islah bagi cabang Wonosobo. Jika Islah HMI Wonosobo siap menyediakan kantor PB HMI perjuangan. Makanya Umam mengusulkan harus ada kejelasan di Anggaran Dasar ini, biar tidak berlarut-larut perdebatan islah. Saya sepakat perubahan nama HMI menjadi HMI-MPO dalam konstitusi asalkan satu tidak Islah!, jelas Umam.

Diskusi yang dilaksanakan HMI Badko Inbagteng ini akhirnya disudahi jam 13.30 siang. Dengan harapan bahwa cabang-cabang di tengah serius mempersiapkan secara matang materi kongres. Terutama terkait Program Kerja Nasional dan Struktur ke HMI-an yang masih legislatif heavy. Acara berhenti untuk Ishoma dan dilanjutkan dengan diskusi tentang perkaderan dan Rapat Pimpinan Cabang HMI se-Inbagteng. Diskusi perkaderan diisi oleh Mahlani seorang alumni yang juga mantan ketua perkeran PB HMI. Sedangkan Rapincab dipimpin oleh Moh. Syafi’ie ketua HMI Badko Inbagteng. Sehingga agenda diskusi dan rapincab HMI Badko Inbagteng kerjasama dengan KPN dan HMI cabang Sleman terkesan padat.

selengkapnya.....

23 Maret 2009

HMI Cabang Sleman Bakal Adakan LK-II

Dalam waktu dekat HMI Cabang Sleman akan menghelat kegiatan pelatihan pekaderan tepatnya Latihan Kader II (Intermediate Training) yang akan dilaksanakan pada 25-30 Maret 2009 bertempat di Gedung Amal Insani Maguwoharjo Condong Catur Sleman Yogyakarta. Adapun tema yang diangkat dalam training kali ini adalah Memperkuat Kapasitas Intelektual Profetik Dalam Melawan Neoliberalisme. Sedangkan terkait Term of Refference (TOR), Proposal, Materi dan Jadwal, Persyaratan dapat di download (diunduh) disitus ini, pada menu “download”.

Latarbelakang diangkatnya tema ini –sebagaimana tertulis dalam TOR–tidak lain karena adanya relasi yang jelas antara kaum intelektual dan mulusnya agenda neoliberalisme. Beberapa kelompok intelektual menjadi kekuatan penopang neoliberal. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara hegemonik terhadap pentingnya mekanisme pasar yang merupakan paradigma neoliberal.

Sebagaimana lazimnya LK-II di HMI MPO, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi persyaratan sebelum mengikuti kegiatan tersebut. Sebagai sebuah bagian dari sekian proses perkaderan di HMI, LK II dan SC merupakan proses yang akan menghasilkan kader-kader yang mampu menggerakkan HMI baik di ranah inteletual maupun di ranah praksis organisasi. Para kader inilah yang akan melanjutkan kontinyuitas estafeta perjuangan untuk menjawab tantangan zaman.

selengkapnya.....

Badko adakan Sharing dan Sosialisasi Kongres

Catatan Pertemuan dengan HMI Cabang Malang


Malang, (Inbagteng Cyber Media)
Pertemuan Pengurus Badko Inbagteng di HMI cabang Malang berlangsung pada Rabu, 18 Maret 2009. Pertemuan di Malang merupakan tindaklanjut dari pertemuan di HMI Cabang Semarang pada Sabtu-Ahad, 7-8 Maret 2009 yaitu mensosialisasikan hasil pertemuan di HMI cabang Semarang sekaligus pengagendaan internal HMI cabang Malang dan Surabaya. Undangan dalam pertemuan ini ada empat cabang yaitu HMI cabang Malang, HMI cabang Surabaya, HMI Cabang Jombang dan HMI Cabang Pontianak. Namun yang bisa hadir Cuma HMI Cabang Malang.
Sosialisasi dan sharing kongres dan ke-HMI-an tetap dilanjutkan. Diskusi yang muncul adalah seputar evaluasi terhadap kongres ke-26 di Jakarta kemarin. Terutama banyaknya bahasan dan diskusi yang tidak substansial. Menurut Azwin ketua HMI cabang Malang, kongres di Jakarta panjang sekali berdebat soal nama HMI, apakah nama HMI aja ataukah ditambahin HMI-MPO. Termasuk diskusi yang menghabiskan waktu panjang terkait pimpinan sidang yang kurang dewasa karena mau menjadi peserta yang kepentingannya hanya mau mengkritik kebijakan PB HMI.

Termasuk etika peserta kongres HMI ke-26 kemarin perlu diperbaiki. Sikap salah satu cabang yang mau melempar mikropon kepada pimpinan sidang menurut Azwin adalah sikap yang tidak baik untuk dikembangkan di HMI. Tindakan seperti itu tidak pantas ada di HMI yang nota bene berlandaskan terhadap nilai-nilai Islam.
Sedangkan Syafi’ie yang mewakili Badko Inbagteng menuturkan bahwa kongres pada kali ini diakui atau tidak menjadi salah satu alas bagi eksistensi HMI kedepan. Disini akan dibahas soal konstitusi yang menjadi acuan teman-teman HMI dalam menjalankan proses-proses kerja perkaderan dan perjuangan. Sehingga butuh keseriusan membaca teks konstitusi mulai anggaran dasar, anggaran rumah tangga, khittah dan pedoman-pedoman yang ada. Mekanisme struktur organisasi, bekerjanya sampai problem komunikasi terletak pada aturan konstitusi yang ada. Termasuk positioning sikap eksternal HMI saat ini juga banyak ditentukan di waktu kongres ke-27. Program kerja nasional yang akan menjadi pijakan kerja-kerja PB HMI dan struktur bawahnya ditentukan di Kongres ini, tutur Syafiie.
Pertemuan kali ini berlangsung dengan santai. Tidak hanya sharing soal wacana kongres tetapi juga membicarakan soal agenda-agenda terdekat yang akan dilangsungkan internal HMI di Badko Inbagteng, diantaranya LK2 yang akan dilangsungkan di HMI Cabang Sleman pada tanggal 25 Maret 2009, LK1 yang akan dilangsungkan di HMI Cabang Malang sendiri pada tanggal 26 Maret, dan rapincab dan temu Pengader HMI Se-Inbagteng kerjasama dengan Korps Pengader Nasional (KPN) di HMI cabang Sleman pada tanggal 25 Maret 2009.

selengkapnya.....

Diskusi Pra Kongres Digelar di Semarang

Semarang (Inbagteng Cyber Media)


Dalam rangka persiapan menjelang Kongres, HMI Badko Inbagteng mengadakan pertemuan pra kongres yang kemudian dilanjutkan dengan agenda Rapimbcab pada Sabtu-Minggu (7-8/03) di HMI Cabang Semarang. Sosialisasi dan diskusi pra kongres diisi oleh ketua SC Kongres Azwar M. Syafe’i sedangkan koordinator TPK yang sekaligus ketua KPN Roni berhalangan untuk hadir. Dalam penjelasannya Azwar menyatakan bahwa kongres sudah sangat dekat sekali kurang lebih 8 minggu lagi tepatnya akan dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 2009 bertepatan dengan jatuhnya Soeharto. Menurutnya, sebelum kongres dilaksanakan akan ada beberapa agenda pra kongres yang akan dilaksanakan di Yogyakarta yaitu Pengobatan gratis dan donor darah, sembako murah,bazar dan bedah buku, lomba karya tulis ilmiah dan sewaktu pembukaan kongres akan dilakukan seminar nasional yang akan mengundang beberapa tokoh nasional. Mereka akan memberikan perspektif bagi bangunan ke Indonesiaan kedepan.

Azwar menambahkan bahwa kongres kali ini akan mengangkat tema tentang Kemandirian Gerakan yang lebih menggunakan pendekatan induksi, berbeda dengan dulu-dulu yang selalu menggunakan pendekatan deduksi. Selain itu, Azwar mengingatkan cabang-cabang untuk mengirimkan form keanggotaan terbaru karena itu nanti akan menjadi bahan memastikan jumlah utusan cabang-cabang di Kongres. Menurutnya sampai hari ini yang baru mengirimkan hanya satu cabang yaitu HMI Cabang Purworejo, jika cabang-cabang tidak mengirimkan sesuai batas yang telah diberikan maka sistem pendelegasian akan kembali kepada sistem keanggotaan yang dipakai kongres ke-26 kemarin. Tentunya ini naif sekali, terang Azwar.
Seusai sosialisasi dan diskusi jam 5 sore, forum kemudian dilanjutkan habis Isya’ yaitu rapat pimpinan cabang se Inbagteng. Tampak hadir beberapa Cabang yaitu HMI Semarang, HMI Wonosobo, HMI Purworejo, HMI Yogyakarta, HMI Purwokerto, HMI Jepara datang keesokan harinya berbarengan dengan pelantikan HMI Cabang Semarang. Sementara HMI cabang Sleman, Malang, Surabaya dan Pontianak meminta idzin dan berhalangan hadir.
Rapat pimpinan cabang kali ini dipandu oleh ketua Badko Moh. Syafi’ie dan pengurus Badko Inbagteng lainnya Hani Nur Cahyo dan Nur Ali. Pertama dimulai dari pemaparan pandangan masing-masing cabang terkait agenda-agenda cabang terdekat dan bagaimana kesiapan mereka terhadap pelaksanaan kongres. Selesai pemaparan masing cabang-cabang baru pembahasan fokus pada wacana dan pengagendaan menjelang kongres ke-27 di Yogyakarta.
Sebelum diskusi rapincab dilanjutkan, Badko meminta laporan HMI Cabang Yogyakarta untuk melaporkan perkembangan kepanitiaan kongres. Puji Hartoyo ketua umum HMI Cabang Yogyakarta menyatakan bahwa HMI Cabang Yogyakarta sudah siap melaksanakan kongres ke-27 ini. Panitia katanya sekarang lagi sibuk-sibuknya menyiapkan agenda-agenda baik pra kongres dan waktu pelaksanaan kongres. Puji Hartoyo menyatakan bahwa dirinya mewakili pengurus Cabang Yogyakarta meminta teman-teman tengah terlibat aktif menyukseskan agenda kongres ini. Menurutnya, Kongres inilah salah satu alas bagi keberadaan HMI kedepan.
Dalam rapincab berkembang ada dua wacana pokok yang harus menjadi titik tekan cabang-cabang. Pertama, berkaitan dengan persoalan internal HMI. Soal konstitusi sekarang yang tidak jelas antara draf hasil yang asli dan yang diberlakukan, struktur PB HMI dan struktur Cabang-cabang yang tidak connect; keberadaan komisi PB HMI menciptakan jarak yang tajam dengan cabang-cabang dan tercipta elitisme kebijakan, sistem kesektariatan yang masih belum tertata, sistematika konstitusi dan banyak lainnya. Sehingga butuh satu keseriusan cabang-cabang membaca dan menyimak konstitusi. Amandemen konstitusi adalah salah satu jalan menyelesaikan problem internal yang sampai sekarang masih terjadi. Kedua, cabang-cabang perlu memfokuskan pada wacana Program Kerja Nasional (PKN). Kongres ke-26 kemarin menjadi naif karena PKN hanya satu saja yaitu keterlibatan dalam kasus pelanggaran HAM di POSO.
Akhirnya rapincab kali menyepakati beberapa hal, yaitu, cabang-cabang di HMI tengah diminta untuk membentuk dua tim, pertama, tim konstitusi yang bertugas membaca, menyimak dan mengkonstruk konstitusi baru yang harapannya dapat menjadi jalan keluar dari problem internal yang ada. Kedua, membentuk tim eksternal yang bertugas menggodok wacana dan agenda gerakan kontemporer. Tim kedua ini akan memfokuskan pada wacana yang akan dimasukkan dalam PKN.
Selain itu disepakati setelah pertemuan rapincab di HMI cabang Semarang insya-Allah akan diadakan pertemuan-pertemuan kembali di antaranya di HMI Cabang Sleman pada maret akhir, HMI Cabang Surabaya atau Malang April awal, HMI Cabang Jepara April Akhir dan HMI Cabang Yogyakarta pada Mei awal.

selengkapnya.....
Designed by - alexis 2008 | ICM