25 Januari 2008

TOR LK II

Term Of Reference
Latihan Kader II (Intermediate Training)
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Wonosobo

Tema:
"Rekonstruksi Paradigma Pendidikan sebagai Wujud Eksistensi Manusia menuju Masyarakat Berperadaban"

Dasar Pemikiran

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali ‘Imran: 190-191)

Pendidikan saat ini
Pendidikan yang selama ini dilakukan, tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara "utuh" dan "paripurna", tetapi lebih diorientasikan pada nilai-nilai materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Lebih mementingkan penjejalan otak kiri dari pada memahami pemahaman kebutuhan otak kanan. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi tidak terlihat. Mereka menjadi "robot-robot" zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik, dan mau menang sendiri.
Pendidikan juga cenderung mengalami simplifikasi, kita lebih biasa mengartikannya dalam konteks proses belajar-mengajar di sekolah, dari pada proses belajar seumur hidup. Sehingga sangat kontraproduktif apa yang terjadi di masyarakat dengan apa yang diperoleh di bangku sekolah. Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan "tong sampah" ilmu pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para guru.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Sebagaimana output pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.

Memanusiakan manusia
Dengan demikian, pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan menjawab tantangan perubahan masyarakat yang kian cepat. Apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, sebagai berikut:
Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau "lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada mengajar [teaching]".
Pendidikan Islam dapat "diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel".
Pendidikan Islam dapat "memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri", dan
Pendidikan Islam, "merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan" [ Zamroni,2000:9].
Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang "menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat".

Dua hal yang terkait dengan rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan ialah proses pendidikan yang berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Artinya, bahwa keberadaan manusia ialah keberadaan interaktif, sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai ‘abdullah sekaligus khalifatullah. Antara tujuan dan fungsi manusia ini sendiri yang kemudian menuntut eksistensi manusia untuk terus dicari pemahaman aplikatifnya seperti apa. Dalam hal ini, benar bahwa prosesi pemaknaan atas eksistensi manusia itu sendiri harus senantiasa berjalan sepanjang waktu. Sepanjang tujuan dan fungsi manusia yakni sebagai ‘abdi dan khalifah belum mampu dipahami, terkonsepsikan, dan teraplikasikan dengan baik maka sejatinya arahan hakikat pendidikan secara menyeluruh belum mampu terwujudkan. Karena salah satu dari keberwujudan eksistensi manusialah yang sampai pada konsekuensi progresifitas pendidikan, yang tak hanya sekedar berdimensi lokalitas tetapi juga global. Tak hanya berdimensi sosial manusia tetapi juga berdimensi Illahiyah.

Selanjutnya, merupakan eksistensi manusia yang memasyarakat. Apakah sama hal ini dengan tuntutan peran dari adanya proses pendikan itu sendiri? Bisa dikatakan hampir sama, namun yang lebih signifikan dalam hal ini bahwa eksistensi manusia yang memasyarakat ialah ketika pemahaman unsure pendidikan terdapat lembaga pendidikan dan non lembaga pendidikan, maka sejatinya bukan mencoba mendikotomikan antara lembaga dan non lembaga tersebut. Kenapa demikian? Menjadi kurang tepat jika mengasumsikan bahwa prosesi pendidikan bukan berada di masyarakat karena berada di lembaga pendidikan. Karena sejatinya, antara lembaga dan non lembaga atau masyarakat merupakan peran yang sama, bukan dua hal yang berbeda dalam ruang yang berbeda. Sehingga menjadi kurang tepat lagi, jika kemudian keinginan dari eksistensi manusia—dalam hal ini peran pendidikan—mencoba menyiapkan konsepsi sebagai inisiasi memasyarakat tadi, karena pendidikan itu sendiri ada dalam masyarakat. Benar bahwa, tujuan pendidikan bukan diluar proses pendidikan yang mengasumsikan masyarakat, tapi berada dalam pendidikan sendiri.

Masyarakat Berperadaban
Manusia merupakan wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil ardh). Untuk keperluan itu, ia dibekali dengan akal, budi, dan hati nurani, di samping manusia juga dikaruniai otoritas atas ciptaan-Nya. Dalam mewujudkan otoritas tersebut dalam kehidupan nyata, manusia harus menemukan kebijaksanaan atau hikmah yang akan membawa dia menjadi manusia yang utuh atau paripurna, dan pada saatnya akan menjadi khalifah – penguasa atau pemimpin –yang bijak.

Untuk mendapatkan hikmah kebijakan itu, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan proses yang komprehensif; proses melatih daya emosional, intelektual, dan spiritual secara simultan. Atau dalam bahasa yang lain pendidikan dilihat sebagai sesuatu proses yang inhern dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Hal ini, sesuai dengan tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik agar hidup bersih, suci, dan tulus, bukan hanya menjejali anak didik dengan fakta-fakta.

Ironisnya, pernyataan tersebut terdikotomikan dalam dua sisi, yakni sisi teoritis dan aplikatif yang seolah keduanya berdiri sendiri-sendiri. Artinya, bahwa fakta yang dalam realitasnya, sama sekali jauh dari teori pendahuluan yang dibangunnya. Di negeri ini, banyak orang yang berpendidikan tinggi – sarjana, magister, doktor, dll – tetapi etika mereka masih jauh dari kesan orang yang berpendidikan atau malah semakin memperlihatkan bahwa manusia lebih buruk dari binatang. Tindakan-tindakan amoral dan anarkis bukan lagi menjadi perbuatan yang aneh, bahkan seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang biasa. Bukan hanya tumbuhan dan hewan yang dimakan oleh mereka, tetapi anak dan keluarga merekapun rela untuk ‘dilahab’ atau ‘dibinasakan’ demi kepentingan dirinya. Banyaknya penindasan terhadap kaum lemah atau masyarakat miskin, yang masih menandakan bahwa keberpihakan terhadap mereka tidak pernah dibangun, atau paling tidak dipahamkan. Pemerkosaan yang tak jarang dilakukan oleh mereka yang bestatus sebagai guru dan tindakan anarkis yang akhir-akhir ini ikut mewarnai kehidupan kalangan mahasiswa dan wakil rakyat di berbagai pertemuannya. Itu semua merupakan cerminan bahwa moralitas bangsa kita saat ini sedang mengalami kemerosotan lantaran masih banyaknya kalangan orang berpendidikan yang tidak mengimbangi ilmu mereka dengan etika yang baik.

Peradaban di sini kita fahami sebagai suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kita tahu, bahwa di lingkungan akademis terjadi perdebatan tentang persoalan-persoalan ilmiah, filosofis, teknis, dan bahkan artistik yang dapat menghasilkan evaluasi dan perbaikan. Setiap individu boleh mengungkapkan pendapatnya atau pandangannya, tetapi hanya pandangan yang didukung oleh eksperimen dan lulus dari ujian hukum-hukum ilmiah yang dapat bertahan dan diakui. Namun kalau dikaitkan dengan teori-teori tentang persoalan sosial, konsistensi logika saja tidak cukup. Dalam artian, konteks argumentasi atau tesisnya harus dipertimbangkan. Suatu pernyataan yang benar dan salah, yang diungkapkan pada waktu dan tempat yang tidak tepat akan menimbulkan kesia-siaan. Sebaliknya, suatu argumen dengan dasar yang tidak kuat bisa dianggap sesuatu yang penting dalam lingkungan tertentu. Karena peradaban merupakan suatu budaya atau suatu kebiasaan yang melekat dan mendarah daging dalam suatu komunitas atau masyarakat tertentu, maka diperlukan individu-individu yang mempunyai intelektualitas tinggi untuk membangun peradaban Intelektual yang berbasiskan masyarakat yang beretika. Kalau beretika ditekankan pada persoalan moralitas, maka hal itu merupakan suatu kesadaran jiwa terdalam pada diri manusia; kesadaran hati nurani untuk saling menghormati dan mencintai sesama, membela kaum tertindas, dan mementingkan kepentingan masyarakat banyak dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme.

Falsafah kebijakan, bahwa tingginya pemahaman keilmuan seseorang berimplikasi terhadap tingkat kebijaksanaannya menyikapi kehidupan, seyogyanya menjadi referensi bagi kader-kader himpunan. Bukan justru berbalik faktanya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perilaku amoral dan anarkis yang dilakukan oleh yang mengaku dirinya seorang intelektual. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu peradaban melalui proses kesinambungan memanusiakan manusia yang berlandaskan nilai-nilai ke-Illahiyah-an. Artinya, proses pendidikan yang membawa manusia pada fitrahnya sehingga mampu membangun peradaban luhur masyarakat yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw.

Melihat realitas tersebut, maka selayaknya semakin meneguhkan keberpihakan kita yang senantiasa menyuarakan arahan perkaderan dan perjuangan. Ironis sekali ketika pendidikan yang menjadi salah satu dasar pembangun peradaban harus tereduksi bahkan terdekonstruksi kedalam simplifikasi hakikat pendidikan. Pada dataran inilah, referensi pembangunan karakter dalam konteks pembenahan akhlak menjadi penting. Sebagaimana misi kenabian yakni pentauhidan dan penyempurnaan akhlak. Demikian halnya dengan pendidikan yang tak sekedar menjadikan manusia cerdas secara intelektual namun hampa spiritualnya.

Landasan Kegiatan
Landasan Normatif:
1. Al Qur’an Surat Ali Imran (110) dan Surat Ar-Ra’ad (11)
2. As Sunnah
Landasan Konstitusional:
AD HMI, pasal 6 tentang usaha
Pedoman Perkaderan HMI
Landasan Operasioanl:
Program Kerja Semester II HMI Cabang Wonosobo
Rapat Harian Pengurus HMI Cabang Wonosobo
Rapat Kerja Bidang Perkaderan

Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan:
3. Menumbuhkan kemampuan analisa dan mengkritisi problematika pendidikan.
4. Menumbuhkan kesadaran pada diri kader akan pentingnya eksistensi manusia.
5. Menumbuhkan kemampuan kader akan peran konsepsinya dalam pendidikan menuju masyarakat berperadaban.
6. Membangun paradigma pendidikan yang bervisi kearah masyarakat berperadaban sebagai sebuah rekonstruksi.

Target Kegiatan
7. Kader mampu menganalisa dan mengkritisi problematika pendidikan.
8. Tumbuhnya kesadaran pada diri kader akan pentingnya eksistensi manusia.
9. Tumbuhnya kemampuan kader akan peran konsepsinya dalam pendidikan menuju masyarakat berperadaban.
10. Kader mampu membangun paradigma pendidikan yang bervisi kearah masyarakat berperadaban sebagai sebuah rekonstruksi.

Peserta
Peserta LK II adalah kader HMI yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Lulus LK I dengan dibuktikan oleh sertifikat atau rekomendasi dari pengurus cabang.
Membuat resume Khittah Perjuangan
Membuat makalah sesuai tema yang diangkat
Lulus dalam seleksi oleh Tim Pemandu

Pelaksanan Kegiatan
Latihan Kader II ini dilaksanakan pada:
11. Pendaftaran dimulai Januari – Februari 2008
12. Seleksi dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Februari 2008
13. Pengumuman kelulusan pada tanggal 11 Februari 2008
14. Pelaksanaan LK II pada tanggal 11– 18 Februari 2008

Manual Acara
Terlampir

Penutup
Demikian Term Of Reference ini untuk menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan semoga Allah SWT., meridhai pada pelaksanaan Intermediate Training (LK II) III Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Wonosobo. Jazakumullah khairon katsira.
Billahitaufiq wal hidayah

0 komentar:

Designed by - alexis 2008 | ICM