Tema PB HMI Periode 2007-2009
”Memperkokoh Basis Negara Menuju
Tamaddun Indonesia Baru dan Maju”
Tamaddun Indonesia Baru dan Maju”
Latar Belakang
Grand Tema kepengurusan PB HMI periode 2007-2009 adalah “Memperkokoh basis negara menuju tamaddun Indonesia baru dan maju”. Tema ini merupakan kesinambungan dari tema kepengurusan sebelumnya yang mengangkat tema Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil Untuk pembelaan Kaum Lemah dan Terpinggirkan”. Perbedaannya hanyalah terletak pada penekanannya saja.
Apabila tema sebelumnya, menekankan pada positioning HMI sebagai gerakan tamaddun masyarakat sipil, maka pada periode kali ini melangkah lebih maju dan spesifik berupa upaya strategis HMI berupa memperkokoh basis negara di dalam rangka mewujudkan tamaddun (peradaban) Indonesia yang baru dan maju. Semangat yang dibangun di dalam kedua tema tetaplah serupa.
Dalam konteks ini, basis negara yang dimaknai oleh PB HMI adalah warga, yaitu sebagai basis struktur negara. Sedangkan suprastruktur berupa pandangan hidup kenegaraan, biasanya mengikuti perkembangan watak dominan yang terjadi di level basis struktur. Dalam pandangan PB HMI, warga sebagai basis negara mengalami pelemahan yang parah dalam berbagai aspek akibat kekeliruan kebijakan pemerintah yang menempuh jalan neoliberal untuk menuju negara pro pasar.
Grand Tema kepengurusan PB HMI periode 2007-2009 adalah “Memperkokoh basis negara menuju tamaddun Indonesia baru dan maju”. Tema ini merupakan kesinambungan dari tema kepengurusan sebelumnya yang mengangkat tema Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil Untuk pembelaan Kaum Lemah dan Terpinggirkan”. Perbedaannya hanyalah terletak pada penekanannya saja.
Apabila tema sebelumnya, menekankan pada positioning HMI sebagai gerakan tamaddun masyarakat sipil, maka pada periode kali ini melangkah lebih maju dan spesifik berupa upaya strategis HMI berupa memperkokoh basis negara di dalam rangka mewujudkan tamaddun (peradaban) Indonesia yang baru dan maju. Semangat yang dibangun di dalam kedua tema tetaplah serupa.
Dalam konteks ini, basis negara yang dimaknai oleh PB HMI adalah warga, yaitu sebagai basis struktur negara. Sedangkan suprastruktur berupa pandangan hidup kenegaraan, biasanya mengikuti perkembangan watak dominan yang terjadi di level basis struktur. Dalam pandangan PB HMI, warga sebagai basis negara mengalami pelemahan yang parah dalam berbagai aspek akibat kekeliruan kebijakan pemerintah yang menempuh jalan neoliberal untuk menuju negara pro pasar.
Negara yang digeser untuk berjalan di atas rel neoliberal tersebut telah menjauhkan cita-cita menuju Indonesia yang bertamaddun. Tamaddun yang muncul malah tamaddun yang berasas materialisme. Tamaddun materialisme ini anehnya telah lama berlaku dan nyaris menjadi disiplin hidup mainstream masyarakat Indonesia dewasa ini. Karena itu harus ada upaya gerakan konkret untuk mencapai tamaddun Indonesia baru dan maju. Gerakan itu dapatlah berbentuk pengggalangan dalam tujuan memperkokoh basis negara untuk mencapai tamaddun Indonesia yang diinginkan oleh HMI. Kriteria dari tamaddun Indonesia baru dan maju adalah apabila masyarakat berpola hidup religius, steril dari materialisme dan neoliberalisme, berdemokrasi yang konvergen dengan semangat Islam, yang menjadi jiwa masyarakat Indonesia.
Fakta Lapangan dan Alasan Pilihan Tema
Wacana memperkokoh basis negara berangkat dari keprihatinan terhadap fakta mutakhir. Fakta mutakhir adalah melemahnya negara akibat kebijakan pro pasar yang diambil secara sadar oleh rezim. Logika kebijakan pro pasar dilatari oleh semangat kapitalisme yang merengsek ke biro-biro pengambil kebijakan. Doktrin yang tersembunyi di balik logika ini adalah jika ingin maju, maka biarkanlah pasar mengatur sendiri mekanismenya. Negara cukup sebagai wasit dari persaingan yang alamiah antar perusahaan. Kepada perusahaan-perusahaan, berikanlah iklim yang bebas dan mudah bagi setiap aksi korporasi, agar perusahaan itu dapat berkembang sehingga dapat dengan sendirinya menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Jika tenaga kerja telah terserap, tentu pengangguran akan berkurang, jika pengangguran berkurang, maka angka kemiskinan juga akan menurun hingga muaranya kemakmuran sebagai tujuan negara pun akan tercapai. Walhasil, akibatnya perusahaan pun menempati kedudukan yang kuat, bahkan pada tingkat yang ekstrem, negara pun menjadi subordinasi dari perusahaan.
Doktrin pro pasar yang mekanistik tersebut tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan alias ilusi belaka. Faktor kepentingan alamiah terhadap laba dan kepentingan ekslusif para penguasa-penguasa perusahaan sama sekali tidak diperhitungkan oleh pemerintah. Selama kepentingan alamiah untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya dan interes penguasa-penguasa pasar masih tetap melekat pada perusahaan, maka harapan untuk dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya tidak akan pernah tercapai. Yang terjadi adalah penggelembungan kekuasaan perusahaan di hadapan negara dan keterancaman rakyat yang menjadi tenaga kerja pada perusahaan-perusahaan tersebut berupa ketergantungan yang akut kepada perusahaan. Ketergantungan semacam ini tentu saja akan menimbulkan mudarat sosial yang besar.
Tetapi meskipun kenyataannya seperti itu, rezim tetap percaya dengan ilusi kemakmuran dan kemajuan yang dihasilkan oleh mekanisme pasar bebas. Rezim tetap bergeming dengan garis pro pasar dari kebijakannya.
Di antara bukti nyata dari kebijakan pro pasar tersebut adalah program penjualan (divestasi) aset-aset negara berupa BUMN-BUMN atas nama efesiensi dan pra kondisi menuju iklim yang kondusif bagi mengalirnya investasi asing lewat perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).
Para ekonom pembela rezim berargumen bahwa penjualan BUMN-BUMN baik yang strategis maupun yang dianggap tidak strategis merupakan langkah terbaik menuju efesiensi dan perbaikan kinerja BUMN-BUMN. Benarkah argumen mereka?
Pertanyaan sederhana dapat menggugat argumen mereka. Jika masalahnya adalah efesiensi dan perbaikan kinerja, lantas apakah solusinya dengan pengalihan kepemilikan? Bukankah efesiensi dan perbaikan kinerja merupakan masalah manajemen? Jika masalahnya adalah manajemen, bukankah bisa dengan menyewa manager-manager andal, baik dari luar maupun dalam negeri, untuk membenahi manajemen BUMN-BUMN tersebut tanpa harus mengalihkan kepemilikan dari negara?
Masalahnya adalah bahwa kebijakan divestasi tersebut berawal dari ketaatan buta pemerintah sebelumnya terhadap resep-resep racun yang diberikan oleh IMF lewat Letter of Intent (LOI). Resep racun IMF tersebut berupa panduan yang harus diikuti oleh pemerintah di dalam mengantarkan Indonesia ke dalam sistem pasar dengan otoritas negara yang minimal.
Di samping itu, tidak bisa dinafikan bahwa motif untuk meraup dana segar yang instan dan melimpah melatari aksi pemerintah menjual secara besar-besaran BUMN-BUMN tersebut. Jadi wajarlah jika kebijakan yang diasas oleh Presiden Soeharto tersebut diikuti pula oleh presiden-presiden setelahnya. Jika hal ini benar, aksi penjualan aset-aset negara tersebut dapat dikategorikan sebagai mega korupsi yang dilakukan oleh pemerintah.
Dengan kebijakan pro pasar, negara hanya dapat menjadi regulator dan wasit dari pertandingan dalam arena pasar. Otoritas negara di level operasional perekenomian seperti yang terwujud dalam misi BUMN-BUMN sudah dipangkas demi ketaatan terhadap rezim pasar.
Kebijakan pemerintah yang pro pasar tersebut nyatanya telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi rakyat. Kerugian tersebut tercermin dari data pengangguran dan kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS. Jumlah penganggur di Indonesia per Juni 2007 sebanyak 10,6 juta jiwa atau setara 9,8% dari total penduduk Indonesia, jauh lebih tinggi dari level sebelum yang krisis 1997 sebesar 4,7%.
Demikian juga angka kemiskinan per Juni 2007 sebesar 37,17 juta orang atau 17,75% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Data ini menunjukkan hingga hari ini angka kemiskinan dan pengangguran tidak menampakkan penurunan yang signifikan. Bahkan dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM mengikuti harga pasar dunia, jelas akan mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan. Angka pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2% yang dibangga-banggakan oleh pemerintah SBY-JK sama sekali tidak berkorelasi dengan penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Sebab pertumbuhan ekonomi lebih banyak disumbang oleh sektor non tradable yang relatif sedikit menyerap tenaga kerja (Lihat Detik Finance, Rabu, 31/10/2007 15:27 WIB).
Melihat kenyataan semacam itu, sebetulnya pemerintah hendak melayani rakyat dan kepentingan nasionalnya atau hendak melayani pihak asing. Jika pemerintah lebih memilih melayani pihak asing dengan bungkus kebijakan pro pasar, maka sudah sepatutnya pemerintah semacam itu dimakzulkan dan diganti dengan pemerintahan yang sepenuhnya melayani warganya, terutama warga yang lemah, tanpa bungkus politik yang manipulatif.
Tinjauan Islam Terhadap Sistem Pasar
Dalam sistem pasar, sudah barang tentu tidak berlaku prinsip keadilan dan ketuhanan. Yang berlaku adalah siapa yang kuat secara modal dialah yang akan memenangkan pertarungan di arena pasar. Inilah yang dimaksud dengan darwinisme sosial. Walhasil, stratifikasi sosial pun berubah menjadi berbasis material. Kemuliaan seseorang ditentukan oleh volume kepemilikannya terhadap benda tradeble, dan pada tingkat kesadaran masyarakat berubah menjadi materialisme sebagai pedoman hidup.
Tatanan semacam ini jelas bertentangan dengan kaidah-kaidah dan cita-cita Islam. Dalam pandangan Islam, tinggi rendahnya derajat manusia ditentukan oleh kualitas ilmu, amal salih, dan ketakwaannya. Allah berfirman: Allah meninggikan beberapa derajat orang yang beriman di antara kamu dan juga orang-orang yang dianugerahi ilmu pengetahuan; Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.
Fenomena materialisme yang berkembang di masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari akibat tren sistem pasar yang digalakkan oleh pemerintah. Lupakan saja misi negara untuk membela warganya yang lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Hemat kami, fakta inilah yang menjelaskan bagaimana dewasa ini para saudagar dapat bermetamorfosis menjadi penguasa-penguasa politik baru. Para saudagar itu, selain secara teknis lebih mudah untuk membiayai proses politik yang memakan banyak biaya, secara faktual masyarakat pun semakin materialistik dan irrasional di dalam menentukan preferensi pilihan politiknya. Ada adagium, ada uang, ada suara.
Pada saat yang sama gelombang demokratisasi liberal yang melanda Indonesia, berhasil melemahkan struktur politik yang sebelumnya berwatak terpusat menjadi desentralistik. Lalu kemudian semangat desentralisasi ini dilembagakan dalam paket undang-undang Otonomi Daerah.
Otonomi daerah dalam level praksis, lebih kerap membina potensi pelemahan negara secara nasional ketimbang memperkokohnya. Hal ini bukanlah karena faktor aturan yang keliru, tetapi lebih disebabkan oleh penerjemahan yang keliru dari elit-elit daerah yang rakus kekuasaan. Elit-elit daerah lebih ramai menerjemahkan otonomi daerah sebagai peluang untuk membangun kerajaan-kerajaan lokal. Daerah yang satu dengan daerah lainnya sama sekali tidak memikirkan bagaimana seharusnya mereka bekerja sama memberikan kontribusi bagi pembinaan negara nasional (nation state) yang semakin kuat. Daerah hanya berpikir, cukuplah upeti lewat perimbangan keuangan pusat dan daerah menjadi bentuk kontribusi daerah kepada negara nasional Indonesia.
Disebabkan oleh proses demokratisasi yang belum mapan dan haluan politik ekonomi yang pro pasar menjadikan basisstruktur turut melemah. Kedudukan pemerintah yang dihasilkan lewat pemilu yang tidak menang mutlak menjadikannya lemah di hadapan kekuatan modal. Apalagi setelah reformasi, kedudukan pemerintah bukan lagi sebagai mandataris MPR, tetapi merupakan mitra DPR di dalam membuat undang-undang. DPR hasil reformasi cukup kuat di dalam mengontrol pemerintahan. Kadang-kadang kekuasaan yang melekat pada DPR tersebut diselewengkan oleh anggota-anggotanya untuk melemahkan pemerintahan dan untuk alat tawar-menawar kekuasaan.
Di sisi lain, akibat mobilisasi dukungan politik, susunan masyarakat pun ikut terfragmentasi dan akhirnya melemahkan masyarakat. Satu-satunya kekuatan yang masih cukup solid, selain TNI/POLRI, adalah masyarakat agama. Masyarakat agama yang terwujud pada organisasi-organisasi semacam NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, Walubi, dan lain-lain merupakan modal sosial bersifat nasional yang masih dapat diharapkan di dalam memperkokoh basis negara nasional yang sesuai dengan cita-cita awal Indonesia didirikan.
Hal itu pun bukan berarti masyarakat agama tidak bisa sepenuhnya steril dari intervensi politik dan ekonomi. Isu aliran-aliran sesat yang merongrong masyarakat Muslim misalnya tidak bisa dilepaskan dari motif-motif ekonomi dan politik. Kecil sekali jika faktor penyebabnya adalah pergulatan di dalam mencari aqidah yang benar.
Betapa pun kondisinya demikian, masyarakat agama jauh lebih solid ketimbang masyarakat yang ditopang oleh sekularisme seperti komunitas-komunitas berbasis profesi, suku, patron, hobby, atau pun motif kekuasaan seperti partai.
Dalam gambaran tantangan semacam itu, dimanakah dan bagaimanakah HMI mengambil perannya? Pertanyaan ini berimplikasi pada masalah positioning dan strategi HMI.
Positioning dan Strategi HMI
Sebelum menjawab kedua pertanyaan mendasar itu, ada baiknya terlebih dahulu perlu menoleh siapa HMI sebenarnya. Merujuk kepada Anggaran Dasar Himpunan Mahasiswa Islam, HMI merupakan organisasi kemahasiswaan yang independen berasaskan Islam dengan tujuan rangkap dan simultan: menjadi insan ulil albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala (Lihat AD HMI pasal 4).
Terma ulil albab berakar dari Alquran (Lihat Q.S. Ali Imran: 190). Ulil albab merupakan pencitraan tentang kualitas manusia paripurna yang tidak saja mempunyai daya nalar yang kuat, tetapi juga memiliki jiwa ketundukan kepada Allah yang tidak tergantung kepada perubahan ruang dan waktu. Kualitas inilah yang didambakan oleh HMI melalui serangkaian usaha perkaderannya yang terancang.
Namun tidak berhenti pada pembinaan kualitas personal saja, dalam usahanya HMI juga memproyeksikan kader-kadernya yang telah ditansformasikan menjadi insan ulil albab, juga harus terlibat di dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang diridlai oleh Allah. Untuk mewujudkan frase yang terakhir ini, tentulah meniscayakan gerakan sosial yang terencana. Maka demikianlah HMI tidak bisa dilepaskan dari setiap aspek aktivitas perkaderannya, terpantul pula aktivitas sosial politik yang kental. Malah aktivitas sosial politik ini begitu kuat mewarnai gerakan HMI.
Dihadapkan dengan tantangan yang sudah diuraikan sebelumnya, dengan performa HMI seperti yang diproyeksikan dalam dokumen-dokumen organisasi, bagaimanakah HMI sebaiknya meletakkan dirinya secara tepat dan strategis?
Ketepatan HMI memosisikan dirinya dalam konstalasi dewasa ini, tergantung ketepatan pandangannya terhadap perkembangan situasi dan kondisi eksternalnya. Seperti yang telah diuraikan di paragraf-paragraf sebelumnya, akibat garis kebijakan yang pro pasar dan demokratisasi yang dikangkangi elit yang rakus, tatanan masyarakat sudah jauh cita-cita kemasyarakatan HMI. Tatanan yang hadir dewasa ini adalah tatanan yang zalim berdasarkan darwinisme sosial. Tatanan yang hadir hari ini tidak saja bertentangan secara filosofis dengan Islam, tetapi juga bertentangan dengan moralitas Pancasila sebagai acuan dasar negara nasional Indonesia.
Dengan demikian, HMI sudah barang tentu harus meletakkan dirinya di seberang tatanan mainstream materialisme hari ini. Secara inhrent, HMI merupakan anti tesa dari mainstream materialisme yang hadir hari ini. Tetapi HMI tidak cukup berjuang sendiri untuk merombak tatanan yang ada. Untuk itu, ia harus membangun strategi kerjasama dengan basis-basis se-group strategis untuk mencapai tujuan kemasyarakatannya. Upaya inilah yang dimaksud dengan memperkokoh basis negara menuju tamaddun Indonesia baru dan maju seperti tema yang diambil oleh PB HMI. Sebab dalam pandangan PB HMI, masih terdapat basis negara yang menolak jalan neoliberalisme, terutama basis negara yang masih berpegang teguh kepada misi luhur agama. Basis negara semacam inilah yang mesti dirangkul oleh HMI di dalam upaya menghapus jalan neoliberalisme dan materialisme dari Indonesia demi menggapai cita-cita yang dikemas dalam istilah tamaddun Indonesia baru dan maju.
Bentuk-bentuk upayanya dapatlah diterjemahkan dalam berbagai program yang variatif sesuai tantangan lokal dan nasional yang terus berkembang. [ ]
Fakta Lapangan dan Alasan Pilihan Tema
Wacana memperkokoh basis negara berangkat dari keprihatinan terhadap fakta mutakhir. Fakta mutakhir adalah melemahnya negara akibat kebijakan pro pasar yang diambil secara sadar oleh rezim. Logika kebijakan pro pasar dilatari oleh semangat kapitalisme yang merengsek ke biro-biro pengambil kebijakan. Doktrin yang tersembunyi di balik logika ini adalah jika ingin maju, maka biarkanlah pasar mengatur sendiri mekanismenya. Negara cukup sebagai wasit dari persaingan yang alamiah antar perusahaan. Kepada perusahaan-perusahaan, berikanlah iklim yang bebas dan mudah bagi setiap aksi korporasi, agar perusahaan itu dapat berkembang sehingga dapat dengan sendirinya menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Jika tenaga kerja telah terserap, tentu pengangguran akan berkurang, jika pengangguran berkurang, maka angka kemiskinan juga akan menurun hingga muaranya kemakmuran sebagai tujuan negara pun akan tercapai. Walhasil, akibatnya perusahaan pun menempati kedudukan yang kuat, bahkan pada tingkat yang ekstrem, negara pun menjadi subordinasi dari perusahaan.
Doktrin pro pasar yang mekanistik tersebut tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan alias ilusi belaka. Faktor kepentingan alamiah terhadap laba dan kepentingan ekslusif para penguasa-penguasa perusahaan sama sekali tidak diperhitungkan oleh pemerintah. Selama kepentingan alamiah untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya dan interes penguasa-penguasa pasar masih tetap melekat pada perusahaan, maka harapan untuk dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya tidak akan pernah tercapai. Yang terjadi adalah penggelembungan kekuasaan perusahaan di hadapan negara dan keterancaman rakyat yang menjadi tenaga kerja pada perusahaan-perusahaan tersebut berupa ketergantungan yang akut kepada perusahaan. Ketergantungan semacam ini tentu saja akan menimbulkan mudarat sosial yang besar.
Tetapi meskipun kenyataannya seperti itu, rezim tetap percaya dengan ilusi kemakmuran dan kemajuan yang dihasilkan oleh mekanisme pasar bebas. Rezim tetap bergeming dengan garis pro pasar dari kebijakannya.
Di antara bukti nyata dari kebijakan pro pasar tersebut adalah program penjualan (divestasi) aset-aset negara berupa BUMN-BUMN atas nama efesiensi dan pra kondisi menuju iklim yang kondusif bagi mengalirnya investasi asing lewat perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).
Para ekonom pembela rezim berargumen bahwa penjualan BUMN-BUMN baik yang strategis maupun yang dianggap tidak strategis merupakan langkah terbaik menuju efesiensi dan perbaikan kinerja BUMN-BUMN. Benarkah argumen mereka?
Pertanyaan sederhana dapat menggugat argumen mereka. Jika masalahnya adalah efesiensi dan perbaikan kinerja, lantas apakah solusinya dengan pengalihan kepemilikan? Bukankah efesiensi dan perbaikan kinerja merupakan masalah manajemen? Jika masalahnya adalah manajemen, bukankah bisa dengan menyewa manager-manager andal, baik dari luar maupun dalam negeri, untuk membenahi manajemen BUMN-BUMN tersebut tanpa harus mengalihkan kepemilikan dari negara?
Masalahnya adalah bahwa kebijakan divestasi tersebut berawal dari ketaatan buta pemerintah sebelumnya terhadap resep-resep racun yang diberikan oleh IMF lewat Letter of Intent (LOI). Resep racun IMF tersebut berupa panduan yang harus diikuti oleh pemerintah di dalam mengantarkan Indonesia ke dalam sistem pasar dengan otoritas negara yang minimal.
Di samping itu, tidak bisa dinafikan bahwa motif untuk meraup dana segar yang instan dan melimpah melatari aksi pemerintah menjual secara besar-besaran BUMN-BUMN tersebut. Jadi wajarlah jika kebijakan yang diasas oleh Presiden Soeharto tersebut diikuti pula oleh presiden-presiden setelahnya. Jika hal ini benar, aksi penjualan aset-aset negara tersebut dapat dikategorikan sebagai mega korupsi yang dilakukan oleh pemerintah.
Dengan kebijakan pro pasar, negara hanya dapat menjadi regulator dan wasit dari pertandingan dalam arena pasar. Otoritas negara di level operasional perekenomian seperti yang terwujud dalam misi BUMN-BUMN sudah dipangkas demi ketaatan terhadap rezim pasar.
Kebijakan pemerintah yang pro pasar tersebut nyatanya telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi rakyat. Kerugian tersebut tercermin dari data pengangguran dan kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS. Jumlah penganggur di Indonesia per Juni 2007 sebanyak 10,6 juta jiwa atau setara 9,8% dari total penduduk Indonesia, jauh lebih tinggi dari level sebelum yang krisis 1997 sebesar 4,7%.
Demikian juga angka kemiskinan per Juni 2007 sebesar 37,17 juta orang atau 17,75% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Data ini menunjukkan hingga hari ini angka kemiskinan dan pengangguran tidak menampakkan penurunan yang signifikan. Bahkan dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM mengikuti harga pasar dunia, jelas akan mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan. Angka pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2% yang dibangga-banggakan oleh pemerintah SBY-JK sama sekali tidak berkorelasi dengan penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Sebab pertumbuhan ekonomi lebih banyak disumbang oleh sektor non tradable yang relatif sedikit menyerap tenaga kerja (Lihat Detik Finance, Rabu, 31/10/2007 15:27 WIB).
Melihat kenyataan semacam itu, sebetulnya pemerintah hendak melayani rakyat dan kepentingan nasionalnya atau hendak melayani pihak asing. Jika pemerintah lebih memilih melayani pihak asing dengan bungkus kebijakan pro pasar, maka sudah sepatutnya pemerintah semacam itu dimakzulkan dan diganti dengan pemerintahan yang sepenuhnya melayani warganya, terutama warga yang lemah, tanpa bungkus politik yang manipulatif.
Tinjauan Islam Terhadap Sistem Pasar
Dalam sistem pasar, sudah barang tentu tidak berlaku prinsip keadilan dan ketuhanan. Yang berlaku adalah siapa yang kuat secara modal dialah yang akan memenangkan pertarungan di arena pasar. Inilah yang dimaksud dengan darwinisme sosial. Walhasil, stratifikasi sosial pun berubah menjadi berbasis material. Kemuliaan seseorang ditentukan oleh volume kepemilikannya terhadap benda tradeble, dan pada tingkat kesadaran masyarakat berubah menjadi materialisme sebagai pedoman hidup.
Tatanan semacam ini jelas bertentangan dengan kaidah-kaidah dan cita-cita Islam. Dalam pandangan Islam, tinggi rendahnya derajat manusia ditentukan oleh kualitas ilmu, amal salih, dan ketakwaannya. Allah berfirman: Allah meninggikan beberapa derajat orang yang beriman di antara kamu dan juga orang-orang yang dianugerahi ilmu pengetahuan; Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.
Fenomena materialisme yang berkembang di masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari akibat tren sistem pasar yang digalakkan oleh pemerintah. Lupakan saja misi negara untuk membela warganya yang lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Hemat kami, fakta inilah yang menjelaskan bagaimana dewasa ini para saudagar dapat bermetamorfosis menjadi penguasa-penguasa politik baru. Para saudagar itu, selain secara teknis lebih mudah untuk membiayai proses politik yang memakan banyak biaya, secara faktual masyarakat pun semakin materialistik dan irrasional di dalam menentukan preferensi pilihan politiknya. Ada adagium, ada uang, ada suara.
Pada saat yang sama gelombang demokratisasi liberal yang melanda Indonesia, berhasil melemahkan struktur politik yang sebelumnya berwatak terpusat menjadi desentralistik. Lalu kemudian semangat desentralisasi ini dilembagakan dalam paket undang-undang Otonomi Daerah.
Otonomi daerah dalam level praksis, lebih kerap membina potensi pelemahan negara secara nasional ketimbang memperkokohnya. Hal ini bukanlah karena faktor aturan yang keliru, tetapi lebih disebabkan oleh penerjemahan yang keliru dari elit-elit daerah yang rakus kekuasaan. Elit-elit daerah lebih ramai menerjemahkan otonomi daerah sebagai peluang untuk membangun kerajaan-kerajaan lokal. Daerah yang satu dengan daerah lainnya sama sekali tidak memikirkan bagaimana seharusnya mereka bekerja sama memberikan kontribusi bagi pembinaan negara nasional (nation state) yang semakin kuat. Daerah hanya berpikir, cukuplah upeti lewat perimbangan keuangan pusat dan daerah menjadi bentuk kontribusi daerah kepada negara nasional Indonesia.
Disebabkan oleh proses demokratisasi yang belum mapan dan haluan politik ekonomi yang pro pasar menjadikan basisstruktur turut melemah. Kedudukan pemerintah yang dihasilkan lewat pemilu yang tidak menang mutlak menjadikannya lemah di hadapan kekuatan modal. Apalagi setelah reformasi, kedudukan pemerintah bukan lagi sebagai mandataris MPR, tetapi merupakan mitra DPR di dalam membuat undang-undang. DPR hasil reformasi cukup kuat di dalam mengontrol pemerintahan. Kadang-kadang kekuasaan yang melekat pada DPR tersebut diselewengkan oleh anggota-anggotanya untuk melemahkan pemerintahan dan untuk alat tawar-menawar kekuasaan.
Di sisi lain, akibat mobilisasi dukungan politik, susunan masyarakat pun ikut terfragmentasi dan akhirnya melemahkan masyarakat. Satu-satunya kekuatan yang masih cukup solid, selain TNI/POLRI, adalah masyarakat agama. Masyarakat agama yang terwujud pada organisasi-organisasi semacam NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, Walubi, dan lain-lain merupakan modal sosial bersifat nasional yang masih dapat diharapkan di dalam memperkokoh basis negara nasional yang sesuai dengan cita-cita awal Indonesia didirikan.
Hal itu pun bukan berarti masyarakat agama tidak bisa sepenuhnya steril dari intervensi politik dan ekonomi. Isu aliran-aliran sesat yang merongrong masyarakat Muslim misalnya tidak bisa dilepaskan dari motif-motif ekonomi dan politik. Kecil sekali jika faktor penyebabnya adalah pergulatan di dalam mencari aqidah yang benar.
Betapa pun kondisinya demikian, masyarakat agama jauh lebih solid ketimbang masyarakat yang ditopang oleh sekularisme seperti komunitas-komunitas berbasis profesi, suku, patron, hobby, atau pun motif kekuasaan seperti partai.
Dalam gambaran tantangan semacam itu, dimanakah dan bagaimanakah HMI mengambil perannya? Pertanyaan ini berimplikasi pada masalah positioning dan strategi HMI.
Positioning dan Strategi HMI
Sebelum menjawab kedua pertanyaan mendasar itu, ada baiknya terlebih dahulu perlu menoleh siapa HMI sebenarnya. Merujuk kepada Anggaran Dasar Himpunan Mahasiswa Islam, HMI merupakan organisasi kemahasiswaan yang independen berasaskan Islam dengan tujuan rangkap dan simultan: menjadi insan ulil albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala (Lihat AD HMI pasal 4).
Terma ulil albab berakar dari Alquran (Lihat Q.S. Ali Imran: 190). Ulil albab merupakan pencitraan tentang kualitas manusia paripurna yang tidak saja mempunyai daya nalar yang kuat, tetapi juga memiliki jiwa ketundukan kepada Allah yang tidak tergantung kepada perubahan ruang dan waktu. Kualitas inilah yang didambakan oleh HMI melalui serangkaian usaha perkaderannya yang terancang.
Namun tidak berhenti pada pembinaan kualitas personal saja, dalam usahanya HMI juga memproyeksikan kader-kadernya yang telah ditansformasikan menjadi insan ulil albab, juga harus terlibat di dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang diridlai oleh Allah. Untuk mewujudkan frase yang terakhir ini, tentulah meniscayakan gerakan sosial yang terencana. Maka demikianlah HMI tidak bisa dilepaskan dari setiap aspek aktivitas perkaderannya, terpantul pula aktivitas sosial politik yang kental. Malah aktivitas sosial politik ini begitu kuat mewarnai gerakan HMI.
Dihadapkan dengan tantangan yang sudah diuraikan sebelumnya, dengan performa HMI seperti yang diproyeksikan dalam dokumen-dokumen organisasi, bagaimanakah HMI sebaiknya meletakkan dirinya secara tepat dan strategis?
Ketepatan HMI memosisikan dirinya dalam konstalasi dewasa ini, tergantung ketepatan pandangannya terhadap perkembangan situasi dan kondisi eksternalnya. Seperti yang telah diuraikan di paragraf-paragraf sebelumnya, akibat garis kebijakan yang pro pasar dan demokratisasi yang dikangkangi elit yang rakus, tatanan masyarakat sudah jauh cita-cita kemasyarakatan HMI. Tatanan yang hadir dewasa ini adalah tatanan yang zalim berdasarkan darwinisme sosial. Tatanan yang hadir hari ini tidak saja bertentangan secara filosofis dengan Islam, tetapi juga bertentangan dengan moralitas Pancasila sebagai acuan dasar negara nasional Indonesia.
Dengan demikian, HMI sudah barang tentu harus meletakkan dirinya di seberang tatanan mainstream materialisme hari ini. Secara inhrent, HMI merupakan anti tesa dari mainstream materialisme yang hadir hari ini. Tetapi HMI tidak cukup berjuang sendiri untuk merombak tatanan yang ada. Untuk itu, ia harus membangun strategi kerjasama dengan basis-basis se-group strategis untuk mencapai tujuan kemasyarakatannya. Upaya inilah yang dimaksud dengan memperkokoh basis negara menuju tamaddun Indonesia baru dan maju seperti tema yang diambil oleh PB HMI. Sebab dalam pandangan PB HMI, masih terdapat basis negara yang menolak jalan neoliberalisme, terutama basis negara yang masih berpegang teguh kepada misi luhur agama. Basis negara semacam inilah yang mesti dirangkul oleh HMI di dalam upaya menghapus jalan neoliberalisme dan materialisme dari Indonesia demi menggapai cita-cita yang dikemas dalam istilah tamaddun Indonesia baru dan maju.
Bentuk-bentuk upayanya dapatlah diterjemahkan dalam berbagai program yang variatif sesuai tantangan lokal dan nasional yang terus berkembang. [ ]
0 komentar:
Posting Komentar