DPR : wakil rakyat yang semakin tidak me-rakyat
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seyogyanya menjadi mediator dan fasilitator untuk menyampaikan suara rakyat saat ini semakin jauh bahkan menjauh dari tugas utamanya sebagai wakil rakyat. DPR terus menerus mempraktikkan sebuah acrobat politik yang terus menerus merugikan rakyat. Maka tidak salah jika Gus Dur sering memberikan predikat DPR seperti taman kanak-kanak alias TK. DPR sudah lupa diri dan tidak sadar bahwa rakyat memberikan amanat di pundak mereka untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat bukan menindas atau bahkan membohonginya.
Lihat saja sederet kebijakan yang dikeluarkan DPR yang sangat menyakitkan rakyat. Dalam kasus lumpur Lapindo, DPR dengan seenaknya memutuskan bahwa luapan lumpur adalah bencana alam bukan karena ulah Lapindo. Dari keputusan itu, maka negera (pemerintah) harus bertanggungjawab memberikan kompensasi (ganti rugi) kepada korban lumpur hingga 80 persen. 700 miliar dari APBN akan dikucurkan untuk membantu korban lumpur Lapindo. DPR benar-benar tidak punya nurani dan hanya berpihak pada elit Lapindo. Maka jangan heran jika sikap anggota dewan yang terhormat itu bisa ‘dibeli’ sesuai pesanan. Di tengah kondisi bangsa yang morat-marit, isu penghematan di setiap sektor sedang digalakkan, DPR malah ‘memeras’ pemerintah untuk ikut menyumbang atas ulah Lapindo. Maka pupus-lah agenda penghematan itu.
Korban lumpur Lapindo memang harus dibantu tetapi bukan oleh negara. Lapindo-lah yang harus bertanggungjawab atas semua apa yang telag diperbuat meskipun pengadilan telah memutuskan Lapindo tidak bersalah. Pengadilan juga masih harus dipertanyakan putusannya. Karena hukum tidak selalu berpihak pada rakyat, namun ‘kuasa materi’ mampu mempengaruhi ketokan palu hakim.....
Sementara DPR tak kunjung selesai dengan RUU Pemilu, sibuk lobi sana-sini, rapat yang di ruangan sejuk ber-AC yang nyaman, makan dan minum dengan uang rakyat......... tetapi apa yang terjadi di Makassar...??? Seorang ibu yang sedang hamil dan satu anaknya meninggal karena kelaparan. Mereka tidak makan selama tiga hari. Bahkan ada anaknya yang lain yang harus mendapat perawatan intensif karena mengalami kekurang gizi kronis. Beginikah bangsa yang katanya gemah ripah loh jenawi itu? Kemana hati nurani anggota dewan itu...??? sibukkah mereka urusan legilasi sehingga lupa kalau ada rakyatnya yang belum makan selama tiga hari? jika bukan rakyat, siapa yang akan memilih DPR? Kasihan rakyat....selalu kebagian janji yang mungkin sulit untuk ditepati oleh anggota dewan.
Belum lagi UU Pemilu disahkan, ada wacana untuk me-judicial review UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. DPD menegaskan bahwa UU Pemilu yang rencananya akan disahkan Senin (3/3) menyisakan beberapa persoalan yuridis terkait mekanisme pencalonan anggota DPD. Ini permainan apalagi ?? DPR yang tidak ‘becus’ buat UU atau memang ada ‘permainan’ dibalik wacana itu. Lagi-lagi rakyat akan disuguhi game-game politik yang tentunya tidak sedikit memakan anggaran negara.
Masih seputar ulah DPR, menjelang seleksi hakim konstitusi, DPR bertindak diskriminatif terhadap dua calon hakim yang saat ini sedang menjabat di MK, yaitu Jimly Asshiddiqie dan Harjono. Dua calon ini masuk bursa pemilihan hakim konsitusi tanpa melalui proses seleksi sebagaimana calon-calon lainnya. Alasan DPR bahwa Jimly dan Harjono adalah hakim yang sedang menjabat dan tidak perlu lagi diseleksi karena sudah teruji dan punya kinerja baik selama menjabat.
Sungguh alasan tersebut sangat melecehkan prinsip transparansi dan akuntabilitas proses seleksi hakim MK. Dalam Pasal 19 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “ Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. “
Jika sudah jelas aturannya mengapa DPR bersikap demikian ??? Apa DPR tidak berfikir lagi bahwa kebijakannya sudah bertentangan peraturan perundang-udangan yang berlaku ??. Selain itu, aroma politis menyengat dibalik perbedaan pola seleksi hakim MK. Karena proses seleksi MK sudah jelas aturannya. Terkait dengan usulan DPR untuk mencalonkan Jimly dalam pemilihan bursa hakim konsitusi, sebaiknya perlu ditinjau lagi UU MK Pasal 22 menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya”. Sedangkan Jimly sudah dua kali menjabat sebagai hakim konstitusi. Lalu mengapa Jimly masih terus diusulkan dalam pencalonan hakim konstitusi ???. Sekali lagi ini merupakan inkonsistensi terhadap peraturan hukum dan tidak mematuhi aturan hukum yang ada. Dalam konteks ini, kita patut bertanya apa DPR memang tidak tahu aturan hukum atau pura-pura tidak tahu ???
Tidak jauh berbeda dengan seleksi hakim MK, DPR juga dengan tegas menolak tiga calon gubernur Bank Indonesia (BI) yang diusulkan Presiden. Meskipun dalam aturan BI, Presiden dapat mengajukan nama calon gubernur BI namun DPR berpandangan bahwa keputusan akhir tetap ada di tangan DPR. Sebuah trik politik yang picik di mana anggota dewan itu memanfaatkan aturan hukum sebagai tameng demi ‘kepentingan’ mereka yang lebih banyak.
Jika menyangkut urusan rakyat, respon DPR cukup rendah. Paling-paling cuma interpelasi yang sangat tidak mensejahterakan rakyat. Rakyat tidak butuh interpelasi dagelan anggota dewan, yang mereka butuhkan adalah bagaimana minyak goreng, beras, tepung, kedelai, biaya pendidikan, biaya kesehatan dapat dijangkau oleh semua kalangan (murah). Rakyat tidak minta laptop, rumah dinas, mobil dinas, tunjangan komunikasi, tetapi kesejahteraan. Coba lihat bagaimana tingkah anggota dewan saat meminta laptop, kenaikan tunjangan, perbaikan rumah dinas, bahkan gedung DPR Senayan minta direnovasi. Semua itu tidak ada hubungannya dengan kesejateraan rakyat. Anggota Dewan sudah mendapat segalanya. Fasilitas terjamin, segala tunjangan diberikan, apa itu masih kurang...???. Yang lebih menyakitkan pada saat rumah dinas DPR direnovasi mereka masih diberi uang sewa sebesar 30 juta. Sementara korban gempa di Bantul, Yogakarta hingga saat ini masih ada yang belum mendapat bantuan dan tetap bertahan digubuk-gubuk bambu.......seharusnya anggota dewan itu sadar diri bahwa rakyatnya masih banyak yang miskin, tidak makan sampai mati, pendidikan masih belum merata. Kedepan setiap anggota dewan harus belajar mengedepankan hati nurani dibandingkan naluri politik dan kepentingan partainya.
Kita berharap DPR baik di pusat maupun daerah tidak melulu memanfaatkan rakyat untuk kepentingan politiknya. Jabatan yang anggota dewan sandang saat ini merupakan tanggungjawab moral dan spritual yang kelak harus dipertanggungjawab baik di hadapan manusia maupun Sang Khaliq. Bagi kita sebagai rakyat tidak boleh diam. Harus terus memantau dan mengkritisi setiap kebijakan anggota DPR. Adalah kewajiban sesama umat manusia untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Jangan biarkan anggota dewan yang terhormat itu menjadi tidak terhormat karena kebijakan dan sikapnya yang tidak merakyat. Semoga anggota dewan tetap terhormat dan punya nurani ! [red]
Korban lumpur Lapindo memang harus dibantu tetapi bukan oleh negara. Lapindo-lah yang harus bertanggungjawab atas semua apa yang telag diperbuat meskipun pengadilan telah memutuskan Lapindo tidak bersalah. Pengadilan juga masih harus dipertanyakan putusannya. Karena hukum tidak selalu berpihak pada rakyat, namun ‘kuasa materi’ mampu mempengaruhi ketokan palu hakim.....
Sementara DPR tak kunjung selesai dengan RUU Pemilu, sibuk lobi sana-sini, rapat yang di ruangan sejuk ber-AC yang nyaman, makan dan minum dengan uang rakyat......... tetapi apa yang terjadi di Makassar...??? Seorang ibu yang sedang hamil dan satu anaknya meninggal karena kelaparan. Mereka tidak makan selama tiga hari. Bahkan ada anaknya yang lain yang harus mendapat perawatan intensif karena mengalami kekurang gizi kronis. Beginikah bangsa yang katanya gemah ripah loh jenawi itu? Kemana hati nurani anggota dewan itu...??? sibukkah mereka urusan legilasi sehingga lupa kalau ada rakyatnya yang belum makan selama tiga hari? jika bukan rakyat, siapa yang akan memilih DPR? Kasihan rakyat....selalu kebagian janji yang mungkin sulit untuk ditepati oleh anggota dewan.
Belum lagi UU Pemilu disahkan, ada wacana untuk me-judicial review UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. DPD menegaskan bahwa UU Pemilu yang rencananya akan disahkan Senin (3/3) menyisakan beberapa persoalan yuridis terkait mekanisme pencalonan anggota DPD. Ini permainan apalagi ?? DPR yang tidak ‘becus’ buat UU atau memang ada ‘permainan’ dibalik wacana itu. Lagi-lagi rakyat akan disuguhi game-game politik yang tentunya tidak sedikit memakan anggaran negara.
Masih seputar ulah DPR, menjelang seleksi hakim konstitusi, DPR bertindak diskriminatif terhadap dua calon hakim yang saat ini sedang menjabat di MK, yaitu Jimly Asshiddiqie dan Harjono. Dua calon ini masuk bursa pemilihan hakim konsitusi tanpa melalui proses seleksi sebagaimana calon-calon lainnya. Alasan DPR bahwa Jimly dan Harjono adalah hakim yang sedang menjabat dan tidak perlu lagi diseleksi karena sudah teruji dan punya kinerja baik selama menjabat.
Sungguh alasan tersebut sangat melecehkan prinsip transparansi dan akuntabilitas proses seleksi hakim MK. Dalam Pasal 19 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “ Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. “
Jika sudah jelas aturannya mengapa DPR bersikap demikian ??? Apa DPR tidak berfikir lagi bahwa kebijakannya sudah bertentangan peraturan perundang-udangan yang berlaku ??. Selain itu, aroma politis menyengat dibalik perbedaan pola seleksi hakim MK. Karena proses seleksi MK sudah jelas aturannya. Terkait dengan usulan DPR untuk mencalonkan Jimly dalam pemilihan bursa hakim konsitusi, sebaiknya perlu ditinjau lagi UU MK Pasal 22 menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya”. Sedangkan Jimly sudah dua kali menjabat sebagai hakim konstitusi. Lalu mengapa Jimly masih terus diusulkan dalam pencalonan hakim konstitusi ???. Sekali lagi ini merupakan inkonsistensi terhadap peraturan hukum dan tidak mematuhi aturan hukum yang ada. Dalam konteks ini, kita patut bertanya apa DPR memang tidak tahu aturan hukum atau pura-pura tidak tahu ???
Tidak jauh berbeda dengan seleksi hakim MK, DPR juga dengan tegas menolak tiga calon gubernur Bank Indonesia (BI) yang diusulkan Presiden. Meskipun dalam aturan BI, Presiden dapat mengajukan nama calon gubernur BI namun DPR berpandangan bahwa keputusan akhir tetap ada di tangan DPR. Sebuah trik politik yang picik di mana anggota dewan itu memanfaatkan aturan hukum sebagai tameng demi ‘kepentingan’ mereka yang lebih banyak.
Jika menyangkut urusan rakyat, respon DPR cukup rendah. Paling-paling cuma interpelasi yang sangat tidak mensejahterakan rakyat. Rakyat tidak butuh interpelasi dagelan anggota dewan, yang mereka butuhkan adalah bagaimana minyak goreng, beras, tepung, kedelai, biaya pendidikan, biaya kesehatan dapat dijangkau oleh semua kalangan (murah). Rakyat tidak minta laptop, rumah dinas, mobil dinas, tunjangan komunikasi, tetapi kesejahteraan. Coba lihat bagaimana tingkah anggota dewan saat meminta laptop, kenaikan tunjangan, perbaikan rumah dinas, bahkan gedung DPR Senayan minta direnovasi. Semua itu tidak ada hubungannya dengan kesejateraan rakyat. Anggota Dewan sudah mendapat segalanya. Fasilitas terjamin, segala tunjangan diberikan, apa itu masih kurang...???. Yang lebih menyakitkan pada saat rumah dinas DPR direnovasi mereka masih diberi uang sewa sebesar 30 juta. Sementara korban gempa di Bantul, Yogakarta hingga saat ini masih ada yang belum mendapat bantuan dan tetap bertahan digubuk-gubuk bambu.......seharusnya anggota dewan itu sadar diri bahwa rakyatnya masih banyak yang miskin, tidak makan sampai mati, pendidikan masih belum merata. Kedepan setiap anggota dewan harus belajar mengedepankan hati nurani dibandingkan naluri politik dan kepentingan partainya.
Kita berharap DPR baik di pusat maupun daerah tidak melulu memanfaatkan rakyat untuk kepentingan politiknya. Jabatan yang anggota dewan sandang saat ini merupakan tanggungjawab moral dan spritual yang kelak harus dipertanggungjawab baik di hadapan manusia maupun Sang Khaliq. Bagi kita sebagai rakyat tidak boleh diam. Harus terus memantau dan mengkritisi setiap kebijakan anggota DPR. Adalah kewajiban sesama umat manusia untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Jangan biarkan anggota dewan yang terhormat itu menjadi tidak terhormat karena kebijakan dan sikapnya yang tidak merakyat. Semoga anggota dewan tetap terhormat dan punya nurani ! [red]
0 komentar:
Posting Komentar