Otoritarianisme Orde Baru
(Mengenang 40 hari Kematian Soeharto)
Moh. Syafi`ie*
Malam ini Rabu, 5 Maret 2008 saya menyaksikan liputan media televisi terkait doa bersama 40 hari kematian Presiden Soeharto, bahkan saya mendengarkan pidato Dr. Quraish Shihab di sela-sela masyarakat yang berkerumun memadati rumah keluarga Cendana. Sama halnya pada 40 hari yang lalu sewaktu Presiden Soeharto meninggal, ratusan masyarakat juga berkumpul memadati rumah besar keluarga Cendana, termasuk di tempat pemakamannya di Solo.
(Mengenang 40 hari Kematian Soeharto)
Moh. Syafi`ie*
Malam ini Rabu, 5 Maret 2008 saya menyaksikan liputan media televisi terkait doa bersama 40 hari kematian Presiden Soeharto, bahkan saya mendengarkan pidato Dr. Quraish Shihab di sela-sela masyarakat yang berkerumun memadati rumah keluarga Cendana. Sama halnya pada 40 hari yang lalu sewaktu Presiden Soeharto meninggal, ratusan masyarakat juga berkumpul memadati rumah besar keluarga Cendana, termasuk di tempat pemakamannya di Solo.
Ketika menyaksikan pemberitaan dari kemarin sampai malam ini dengan begitu banyak masyarakat yang berkumpul, dan begitu kencangnya media meliputnya, saya terus berfikir, ada apa dengan Soeharto? Dan juga apa dengan masyarakat? Sebagai seorang muslim dan telah membaca beberapa literatur terkait kepemimpinan Soeharto, dengan hati yang gelisah saya turut juga membacakan doa untuk Soeharto, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, amien.
Tanpa maksud menghilangkan penghormatan terhadap meninggalnya Soeharto, penulis bermaksud mengungkapkan beberapa hal terkait kepemimpinannya selama rezim orde baru dan sekaligus refleksi untuk Indonesia kekinian.
Pertama, pergantian kepemimpinan dari Soekarno kepada Soeharto pada tahun 1966 sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pergolakan politik yang diwarnai oleh berbagai tindakan kekerasan tahun 1965-1966. Kekacaun politik itulah maka awal kepempimpinannya Soeharto agenda pertamanya ialah konsolidasi aparat keamanan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dari yang dianggapnya akan mengacaukan wilayah Indonesia. Gaya kepemimpinan di era Seohartopun berubah, jargon-jargon revolusi dan perlawanan terhadap imprealisme oleh Soekarno diganti dengan jargon dan janji-janji untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, sekaligus berjanji akan melaksanakan pembangunan dalam kepemimpinannya. Di awal periondenya, begitu banyak apresiasi dari tokoh-tokoh publik utamanya mereka yang kecewa terhadap sikap Soekarno di akhir kepemimpinannya yang berubah otoriter.
Kedua, kondisi menggembirakan di awal orde baru ini tidak berlangsung lama. Semenjak diadakannya pemilihan umum pada tahun 1971, politik Indonesia bergerak menuju peta pemerintahan yang berbeda dan penuh pertanyaan. Hal ini dapat dilihat dari kemenangan partai “Golkar” yang sangat kuat setelah terjadinya perayasaan politik. Dimana Golkar menjadi sangat kuat setelah mendapatkan dukungan penuh dari militer, birokrasi sipil, teknokrat dan kelompok fungsional. Perihal inilah yang menjadi mula dari matinya demokrasi di Indonesia, karena Golkar selamanya pasti menang dalam pemilihan umum dan posisi legislatif baik di daerah ataupun di pusat dipastikan mengabdi kepada Golkar dan melegitimasi terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, mirip seperti paduan suara dan tidak ada check and balance.
Ketiga, yang paling terkenal juga dalam era kepempimpinan Soeharto ialah dia dikenal dengan bapak pembangunan. Sebuah analogi untuk mengatakan bahwa atas nama pembangunan semua harus direlakan dan dilaksanakan, sehingga pada akhirnya jargon pembangunan ini lebih populer disebut sebagai “Asal Bapak Senang”. Karena atas nama pembangunan tadi kebohongan publik dilakukan, terbukti telah dikuasainya aset-aset negara oleh keluarga Cendana, Para punggawanya dan oleh teman bisnisnya baik di tingkat nasional ataupun di level internasional.
Konfigurasi Politik Orde Baru Yang Menunggal
Konfigurasi politik orde baru secara umum bersifat tunggal (homogen) dan monolitik. Menurut teori pembagian entitas dalam bentuk-bentuk negara modern sebagaimana diungkapakan Alfred Stepan, karakter yang menunggal dan monolitik tersebut terjadi pada level negara (state) dan masyarakat (society).
Pada level negara terlihat dari relatif solidnya semua unsur yang ada di dalam entitas negara, baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Sedangkan pada level masyarakat dengan karakter negara yang monolitik dan menunggal dapat dipastikan negara menjadi pengendali dan masyarakat dapat ditundukkan, diarahkan dan dikendalikan secara sistemik. Sehingga kondisi politik ini pada tahap berikutnya mendorong atas bentuk dan format ketunggalan dan monolitik dalam masyarakat, baik dalam kerangka hubungan masyarakat (society) dengan masyarakat (society), ataupun hubungan masyarakat (society) dengan negara (state).
Konfigurasi politik orde baru yang menunggal dan monolitik itu terbangun lewat soliditas elemen-elemen negara baik vertikal ataupun horizontal. Secara horizontal negara terkonsolidasi dengan kuat oleh dukungan militer, birokrasi dan partai Golkar. Sedangkan secara vertikal, negara melakukan perekayasaan secara sistemik dengan membangun sentralisasi dan dominasi pemerintah pusat dalam kerangka hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Konteks ini mempertegas bahwa negara di era rezim orde baru merupakan personifikasi dari militer (angkatan darat), birokrasi, Golkar dan pemerintahan pusat (sentralistik).
Pertama, walaupun friksi dan kesenjangan antar perwira sudah muncul di era orde baru, namun selama orde baru keberadaan militer telah menjadi sentrum dari kekuasaan orde baru. dimotori oleh angkatan darat, dominasi militer dalam wilayah politik menyandarkan pada konsep dwifungsi ABRI. Hal ini merupakaan penjelmaan dari dominasi militer diwujudkan dengan hadirnya struktur militer yang paralel dengan struktur pemerintahan sipil, kerangka ini merupakan perekayasaan untuk pengendalian dan penundukan kepada masyarakat. Selain itu, dalam kancah percaturan politik, personel militer mendapatkan tempat dengan melakukan penyebaran di semua institusi kekuasaan yang ada seperti lembaga perwakilan rakyat (legislatif), birokrasi dan partai politik. Mikanisme pengangkatan militer untuk lembaga perwakilan rakyat telah terjamin keberadaannya, sedangkan dalam birokrasi nampak personel militer dalam jabatan-jabatan strategis seperti Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri dan lainnya, hal yang sama juga terjadi dalam tubuh partai Golkar.
Kedua, Politisasi juga terjadi dalam tubuh birokrasi. Birokrasi dijadikan istrumen penting kekuasaan Soeharto sehingga melegitimasi hegemoni rezim Seoharto dan tak terkalahkan selama pemerintahannya. Kerangka kerjanya minimal dapat dilihat dalam dua hal, pertama, kebijaksanaan sentralisasi manajemen birokrasi seperti jenjang karir, gaji, pengangkatan, pemberhentian dan lain sebagainya. Pada akhirnya kebijakan ini mengantarkan pada homogennya struktur birokrasi baik dari pusat sampai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Kedua, kebijaksanaan monoloyalitas tunggal, dimana semua birokrat harus berafiliasi dengan partai Golkar dan tidak boleh berafiliasi dengan partai lainnya. Hal ini menyebabkan menyatunya suara birokrasi untuk Golkar, dan pastinya Soeharto pasti menang dalam pemilihan umum.
Ketiga, kekuatan politik orde baru juga disokong oleh partai Golkar, dan merupakan satu-satunya partai politik yang hegemonik ketimbang partai yang lain PPP dan PDI setelah pemfusian. Keberadaan Golkar dengan kekuatan militer yang penuh dan birokrasi yang taat, tidak pernah terkalahkan oleh partai-partai yang lain, bahkan Yusril Ihza Mahendra pernah mengungkapkan dalam sebuah tulisannya bahwa yang namanya Golkar tidak akan pernah terkalahkan seumur hidup selama sistem kepartaian masih seperti orde baru. Hal ini menyebabkan kemandulan suara-suara kritis dari legislatif terhadap eksekutif, bahkan lembaga yudikatif-pun menjadi lembaga yang tidak independen karena keputusannya mengabdi dan membenarkan prilaku orde baru. Dipastikan mereka semua mendukung semua kebijakan-kebijakan orde baru walaupun tidak bersesuaian dengan keadilan, kemanusiaan dan kebenaran.
Keempat, Hegemoni orde baru juga telihat jelas dari sentralisasi kebijakan di Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa pada tahun 1950-an dan 1960-an membulatkan tekad orde baru untuk menggunakan asas sentralisasi dalam negara. Konsepsi ini pada dasarnya disandarkan pada pengamanan dan ketertiban sehingga di daerah-daerah kerapkali terjadi pemaksaan, kekerasan dan intimidasi, semisal di Aceh, Papua dan daerah-daerah lainnya.
Untuk menunjukkan hegemoni rezim Soeharto baik vertikal ataupun horisontal dapat dilihat dari perwujudan lembaga Muspida yang anggotanya terdiri dari pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, Muspika yang anggotanya terdiri dari Camat, Koramil dan Komando Sektor, sedangkan di Desa terdiri dari LMD, LKMD dan Babinsa dari militer. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut sangat berfungsi pada politik pengendalian, penundukan, serta rekayasa politik dan kebijakan selama rezim orde baru. Secara horisontal lembaga-lembaga tersebut diisi oleh militer, kepolisian dan kejaksaan. Sendangkan secara vertikal lembaga-lembaga itu diisi oleh personal Gubernur dan Walikota/Bupati.
Dalam konteks masyarakat sipil fenomena sentralistik, tunggal dan monolitik sangat berpengaruh pada tertib, ketundukan dan kekerasan sosial, baik hubungannya masyarakat (society) dengan masyarakat (society) ataupun hubungannya masyarakat (society) dengan negara (state). Hal ini merupakan akibat dari telah bekerjanya perekayasaan politik Soeharto dalam pengendalian dan penundukan negara kepada masyarakat, baik lewat institusi-institusi tersebut ataupun pada level wacana (discourse).
Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Mas`oed bahwa pada dataran institusi mikanisme pengendalian dan penundukan oleh negara kepada masyarakat diwujudkan dengan mikanisme korporatisme. Dimana negara pada rezim orde baru menggambarkan hubungan masyarakat dengan masyarakat yang termobilisasi, terkontrol, tertib dan sikap politik yang menunggal. Sedangkan pada wilayah wacana juga terjadi pengendalian, kontroling dan pengarahan pada wacana tunggal dengan alasan-alasan SARA, harmoni sosial, integrasi bangsa, ketertiban, pembangunan dan lain sebagainya, bahkan seringkali menurut Anderson memanfaatkan instrumen budaya.
Akibatnya ialah Negara Penuh Kekerasan dan KKN
Prilaku politik rekayasa rezim Soeharto pada akhirnya menciderai terhadap tatanan sosial kebangsaan dan kenegaraan. Dan mengantarkannya pada sebutan pemerintahan dan rezim yang tiranik, otoriter, manipulatif dan anti hak asasi manusia (HAM). Hal ini terbukti dari beberapa hal, meliputi :
Pertama, negara menjelma menjadi kekuasaan teror (state terorisme). Negara telah terbukti melakukan penundukan secara paksa dan represif yang bersifat fisik, dan tentunya juga melakukan kekerasan terhadap perasaan yang nota bene menghendaki kemerdekaan dan kebebasan ekspresi. Di antara kekerasan yang dilakukan rezim Soeharto ialah pembunuhan besar-besaran yang dituduh PKI tahun 1965, penembakan Misterius (Petrus), Haur Koneng tahun 1993, Marsinah, Penculikan aktifis, kasus Waduk Kedungombo, Nipah Sampang Madura, pemberedelan terhadap beberapa majalah semisal Tempo, majalah Abadi, majalah Indonesia Raya, majalah Pedoman, dan masih banyak majalah lainnya, kasus DOM di Aceh, kasus Tanjung Priok, Kasus Komando Jihad, Kasus Timor-Timur, tragedi 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI di Jalan Dipenegoro, Tragedi Makasar Berdarah, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Trasakti, kasus Semanggi I&II dan masih sangat banyak lainnya.
Selain itu, muncul produk kebijakan dan perundang-undangan yang anti kemanusiaan, semisal, kebijakan NKK/BKK tahun 1978, Pembekuan Kegiatan Kemahasiswaan oleh Komkamtib 1978, UU No 8 tahun 1985 tentang Asas Tunggal, UU Subversi, Instruksi Presiden No 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina, Kep. Presidium No 127/U/Kep/12/1966 mengenai Ganti nama bagi WNI memakai nama Cina, UU No 11/PNPS/1963 tentang Menentang Pemerintah dan Dasar Negara Pancasila, dan masih banyak produk hukum dan kebijakan lainnya yang sama sekali menciderai kemanusiaan, keadilan dan keadaban.
Kedua, negara menjelma menjadi korporasi (state corporatisme). Dalam konteks ini negara tidak hanya melakukan penundukan lewat kekerasan fisik sebagaimana di atas, tetapi juga melalui jejaring institusi yang tujuannya memperkuat, mengamankan dan mengokohkan negara dalam mengeksekusi kebijakan dan hasrat politiknya. Pada tingkat nasional korporasi negara terwujud melalui PWI untuk kalangan jurnalis, SPSI untuk kalangan pekerja buruh Indonesia, MUI untuk kalangan Ulama`, KNPI untuk pemuda, IDI untuk kalangan Dokter, KORPRI untuk kalangan Pegawai Negeri, PGI untuk Kristen, KWI untuk Katolik, PHDI untuk Hindu, dan masih banyak lainnya. Sedangkan pada tingkat lokal muncul organisasi korporasi semisal Karang Taruna, PKK, Kolampencapir, dan lainnya.
Ketiga, negara menjelma menjadi penguasa opini publik yang dikenal dengan state discours. Untuk memperkokoh dan mengamankan kekuasaannya negara di era rezim Soeharto mempraktekkan strategi penguasaan opini publik dengan cara memobilisasi instrumen opini dan sikap publik. Cara ini digunakan untuk membunuh dan mematikan demonstrasi, pengkritik, oposan dan para pihak yang dianggap menentang keputusan dan kebijakan pemerintah. Penguasaan ini terlihat dari penggunaan istilah demokrasi pancasila, cap ekstrim kanan, ekstrim kiri, anti pancasila, anti pembangunan, prilaku subversi dan istilah-istilah lainnya.
Salah satu instrumen yang cukup massif ialah pelaksanaan dan penerapan P4 dalam pendidikan dan birokrasi. Dimana P4 ini dijadikan persyaratan untuk keluar negeri, daftar PNS, dan lain sebagainya. Termasuk untuk penguatan-penguatan lembaga penguasa opini publik, pemerintah berupaya membentuk kantong-kantong studi semisal keberadaan lembaga CSIS yang dibentuk oleh Ali Murtopo, seorang Mantan kepala Operasi Khusus (Opsus) dan Mantan ketua BAKIN, melalui lembaga ini kebijakan dan penerapan P4 ditelurkan dan diterapkan dalam ranah publik.
Keempat, negara menjelma menjadi State Clientilisme, dimana dalam konteks ini negara awalnya berusaha melakukan penundukan terhadap pasar. Hal ini diwujudkan dengan upaya negara mendominasi kehidupan perekonomian yang menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi semisal proteksi, subsidi dan lainnya. Namun, pada perkembangannya praktek negara ini menghasilkan pola hubungan patron-client, dimana negara tidak jarang bertindak sebagai patron, sedangkan pengusaha-pengusaha tertentu yang dekat dengan kekuasaan bertindak sebagai client-nya. Pola dari hubungan ini kemudian mendorong terjadinya praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini terlihat dari munculnya pengusaha nasional yang dekat dengan Soeharto bahkan dari keluarganya sendiri, semisal Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan pada level internasional muncul pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan masih banyak lainnya.
Penulis hingga hari ini meyakini penyebab berkuasanya komparador neo liberalisme dalam kebijakan publik Indonesia dan menyebabkan krisis ekonomi sampai hari ini ialah disebabkan kongkalikong dan konspirasi ini. Terutama dengan dilakukannya Letter Of Intens (LOI) dengan IMF yang nota bene lembaga ini selama tiga dekade bersama World Bank menjadi mitra strategis rezim Soeharto. Apalagi penandatanganan LOI ini sesungguhnya merupakan perintah Soeharto untuk meminta bantuan IMF pada tanggal, 8 oktober 1997. Penandatanganannya kemudian dilakukan oleh Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan, dengan IMF dalam sebuah LOI, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah kontrak dan penegasan bahwa IMF akan menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani krisis ekonomi Indonesia yang memuncak tahun 1997. Peristiwa ini menyebakan hutang yang cukup tinggi terhadap IMF dan berakibat pada dipertaruhkannya independesinya Indonesia dalam pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam soal-soal kebijakan perekonomian. Diakui ataupun tidak, IMF bersama kroninya kekinian telah berhasil mendesakkan format, bentuk dan positioning kebijakan struktural Indonesia untuk mendasarkan pada sistem ekonomi politik neo liberalisme.
Sekilas Indonesia Kekinian
Melihat konfigurasi politik orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang monolitik, sentralistik dan militeristik di atas, sedikit banyak bagi kita menjadi peta untuk melihat secara jernih Indonesia kekinian, utamanya perubahan sikap masyarakat dan prilaku politik pemerintah.
Pasca tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998 dan awal era reformasi terlihat secara jelas betapa kekerasan demi kekerasan lahir, seakan kekerasan yang dilakukan oleh negara selama 32 tahun oleh orde baru telah menjelma menjadi prilaku perseorangan masyarakat. Prilaku premanisme, pengeroyokan, menghakimi tanpa landasan hukum yang jelas, serta penjarahan yang tanpa ampun. Demikianlah awal reformasi dimana seakan semuanya menjadi hukum rimba, dan saat inipun masih terjadi dan sangat marak.
Secara teoritik hal ini juga pernah diungkapkan dalam penelitian Hannah Arendt di era rezim otoriter Nazi, Hitler (Jerman) dalam sebuah peristiwa Holocaust, dimana seorang kepala arsitek Eichmann berani menjadi eksekutor pada final solution dalam pembantaian massal terhadap kaum Yahudi. Dalam perspektif yang sama, ideologi negara rezim orde baru yang monolitik, sentralistik dan militeristik selama 32 tahun berpengaruh secara signifikan terhadap semua kejadian, pendekatan dan prilaku masyarakat Indonesia kekinian. Karena eksistensi ideologi tersebut diakui atau tidak, telah merasuk dalam psikologi, kultur dan struktur publik dan masyarakat. Menegaskan bahwa prilaku kekerasan negara orde baru telah berpengaruh secara serius terhadap prilaku kekerasan yang terjadi dalam masyarakat.
Selanjutnya, untuk Indonesia kekinian orde baru telah mewariskan sistem kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, sebutlah semisal kebijakan ekonomi politik neo liberalisme. Penulis sangat menyadari bahwa keterpurukan ekonomi kekinian disebabkan karena rapuhnya sistem perekonomian Indonesia, mengutip pendapat Awalil Rizki sistem perekonomian kita telah terintegrasi dalam sistem kapitalisme global. Apalagi awal kepemimpinan Soeharto, positioning dan kebijakan perekonomian telah diubah, salah satunya terlihat dari penempatan ekonom-ekonom lulusan barat dalam struktur pemerintahan yang menangani urusan-urusan ekonomi.
Di era kepemimpinan SBY-JK kini semakin jelas watak dan ideologi perekomomian kita, bahwa semuanya telah berpijak kepada paradigma, mindset dan ideologi neo liberalisme. Sehingga mata kita selalu terperangah setiap saat dari mulai pencabutan subsidi terhadap kebutuhan publik, menyebabkan kebutuhan publik memahal tinggi, krisis pangan karena kebijakan pangannya impor terus, menyebabkan tempe mahal, beras mahal dan lain sebagainya. Kebijakan ini berlangsung karena secara politik dan struktural kita telah terhegemoni oleh jejaring kapitalisme global. Penulis seringkali sangat miris dengan pernyataan-pernyataan pemegang kebijakan publik sebutlah Jusuf Kalla yang seringkali mempermainkan kemiskinan dan kemelaratan publik dengan tarian poco-poco, disco, antrean nonton film dan lain sebagainya.
Saat ini kita membutuhkan perubahan yang berpihak kepada rakyat dan mengangkat derajat mereka dari keterpurukan dan kemiskinan yang semakin merajalela. Maka di hari yang ke-40 dari meninggalnya Soeharto ini, kita tentunya dapat belajar dan mengingat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dari rezim otoritarian orde baru.
Allahu A`lam Bisshowab
* Ketua HMI Badko Inbagteng 2007-2009
Tanpa maksud menghilangkan penghormatan terhadap meninggalnya Soeharto, penulis bermaksud mengungkapkan beberapa hal terkait kepemimpinannya selama rezim orde baru dan sekaligus refleksi untuk Indonesia kekinian.
Pertama, pergantian kepemimpinan dari Soekarno kepada Soeharto pada tahun 1966 sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pergolakan politik yang diwarnai oleh berbagai tindakan kekerasan tahun 1965-1966. Kekacaun politik itulah maka awal kepempimpinannya Soeharto agenda pertamanya ialah konsolidasi aparat keamanan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dari yang dianggapnya akan mengacaukan wilayah Indonesia. Gaya kepemimpinan di era Seohartopun berubah, jargon-jargon revolusi dan perlawanan terhadap imprealisme oleh Soekarno diganti dengan jargon dan janji-janji untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, sekaligus berjanji akan melaksanakan pembangunan dalam kepemimpinannya. Di awal periondenya, begitu banyak apresiasi dari tokoh-tokoh publik utamanya mereka yang kecewa terhadap sikap Soekarno di akhir kepemimpinannya yang berubah otoriter.
Kedua, kondisi menggembirakan di awal orde baru ini tidak berlangsung lama. Semenjak diadakannya pemilihan umum pada tahun 1971, politik Indonesia bergerak menuju peta pemerintahan yang berbeda dan penuh pertanyaan. Hal ini dapat dilihat dari kemenangan partai “Golkar” yang sangat kuat setelah terjadinya perayasaan politik. Dimana Golkar menjadi sangat kuat setelah mendapatkan dukungan penuh dari militer, birokrasi sipil, teknokrat dan kelompok fungsional. Perihal inilah yang menjadi mula dari matinya demokrasi di Indonesia, karena Golkar selamanya pasti menang dalam pemilihan umum dan posisi legislatif baik di daerah ataupun di pusat dipastikan mengabdi kepada Golkar dan melegitimasi terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, mirip seperti paduan suara dan tidak ada check and balance.
Ketiga, yang paling terkenal juga dalam era kepempimpinan Soeharto ialah dia dikenal dengan bapak pembangunan. Sebuah analogi untuk mengatakan bahwa atas nama pembangunan semua harus direlakan dan dilaksanakan, sehingga pada akhirnya jargon pembangunan ini lebih populer disebut sebagai “Asal Bapak Senang”. Karena atas nama pembangunan tadi kebohongan publik dilakukan, terbukti telah dikuasainya aset-aset negara oleh keluarga Cendana, Para punggawanya dan oleh teman bisnisnya baik di tingkat nasional ataupun di level internasional.
Konfigurasi Politik Orde Baru Yang Menunggal
Konfigurasi politik orde baru secara umum bersifat tunggal (homogen) dan monolitik. Menurut teori pembagian entitas dalam bentuk-bentuk negara modern sebagaimana diungkapakan Alfred Stepan, karakter yang menunggal dan monolitik tersebut terjadi pada level negara (state) dan masyarakat (society).
Pada level negara terlihat dari relatif solidnya semua unsur yang ada di dalam entitas negara, baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Sedangkan pada level masyarakat dengan karakter negara yang monolitik dan menunggal dapat dipastikan negara menjadi pengendali dan masyarakat dapat ditundukkan, diarahkan dan dikendalikan secara sistemik. Sehingga kondisi politik ini pada tahap berikutnya mendorong atas bentuk dan format ketunggalan dan monolitik dalam masyarakat, baik dalam kerangka hubungan masyarakat (society) dengan masyarakat (society), ataupun hubungan masyarakat (society) dengan negara (state).
Konfigurasi politik orde baru yang menunggal dan monolitik itu terbangun lewat soliditas elemen-elemen negara baik vertikal ataupun horizontal. Secara horizontal negara terkonsolidasi dengan kuat oleh dukungan militer, birokrasi dan partai Golkar. Sedangkan secara vertikal, negara melakukan perekayasaan secara sistemik dengan membangun sentralisasi dan dominasi pemerintah pusat dalam kerangka hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Konteks ini mempertegas bahwa negara di era rezim orde baru merupakan personifikasi dari militer (angkatan darat), birokrasi, Golkar dan pemerintahan pusat (sentralistik).
Pertama, walaupun friksi dan kesenjangan antar perwira sudah muncul di era orde baru, namun selama orde baru keberadaan militer telah menjadi sentrum dari kekuasaan orde baru. dimotori oleh angkatan darat, dominasi militer dalam wilayah politik menyandarkan pada konsep dwifungsi ABRI. Hal ini merupakaan penjelmaan dari dominasi militer diwujudkan dengan hadirnya struktur militer yang paralel dengan struktur pemerintahan sipil, kerangka ini merupakan perekayasaan untuk pengendalian dan penundukan kepada masyarakat. Selain itu, dalam kancah percaturan politik, personel militer mendapatkan tempat dengan melakukan penyebaran di semua institusi kekuasaan yang ada seperti lembaga perwakilan rakyat (legislatif), birokrasi dan partai politik. Mikanisme pengangkatan militer untuk lembaga perwakilan rakyat telah terjamin keberadaannya, sedangkan dalam birokrasi nampak personel militer dalam jabatan-jabatan strategis seperti Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri dan lainnya, hal yang sama juga terjadi dalam tubuh partai Golkar.
Kedua, Politisasi juga terjadi dalam tubuh birokrasi. Birokrasi dijadikan istrumen penting kekuasaan Soeharto sehingga melegitimasi hegemoni rezim Seoharto dan tak terkalahkan selama pemerintahannya. Kerangka kerjanya minimal dapat dilihat dalam dua hal, pertama, kebijaksanaan sentralisasi manajemen birokrasi seperti jenjang karir, gaji, pengangkatan, pemberhentian dan lain sebagainya. Pada akhirnya kebijakan ini mengantarkan pada homogennya struktur birokrasi baik dari pusat sampai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Kedua, kebijaksanaan monoloyalitas tunggal, dimana semua birokrat harus berafiliasi dengan partai Golkar dan tidak boleh berafiliasi dengan partai lainnya. Hal ini menyebabkan menyatunya suara birokrasi untuk Golkar, dan pastinya Soeharto pasti menang dalam pemilihan umum.
Ketiga, kekuatan politik orde baru juga disokong oleh partai Golkar, dan merupakan satu-satunya partai politik yang hegemonik ketimbang partai yang lain PPP dan PDI setelah pemfusian. Keberadaan Golkar dengan kekuatan militer yang penuh dan birokrasi yang taat, tidak pernah terkalahkan oleh partai-partai yang lain, bahkan Yusril Ihza Mahendra pernah mengungkapkan dalam sebuah tulisannya bahwa yang namanya Golkar tidak akan pernah terkalahkan seumur hidup selama sistem kepartaian masih seperti orde baru. Hal ini menyebabkan kemandulan suara-suara kritis dari legislatif terhadap eksekutif, bahkan lembaga yudikatif-pun menjadi lembaga yang tidak independen karena keputusannya mengabdi dan membenarkan prilaku orde baru. Dipastikan mereka semua mendukung semua kebijakan-kebijakan orde baru walaupun tidak bersesuaian dengan keadilan, kemanusiaan dan kebenaran.
Keempat, Hegemoni orde baru juga telihat jelas dari sentralisasi kebijakan di Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa pada tahun 1950-an dan 1960-an membulatkan tekad orde baru untuk menggunakan asas sentralisasi dalam negara. Konsepsi ini pada dasarnya disandarkan pada pengamanan dan ketertiban sehingga di daerah-daerah kerapkali terjadi pemaksaan, kekerasan dan intimidasi, semisal di Aceh, Papua dan daerah-daerah lainnya.
Untuk menunjukkan hegemoni rezim Soeharto baik vertikal ataupun horisontal dapat dilihat dari perwujudan lembaga Muspida yang anggotanya terdiri dari pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, Muspika yang anggotanya terdiri dari Camat, Koramil dan Komando Sektor, sedangkan di Desa terdiri dari LMD, LKMD dan Babinsa dari militer. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut sangat berfungsi pada politik pengendalian, penundukan, serta rekayasa politik dan kebijakan selama rezim orde baru. Secara horisontal lembaga-lembaga tersebut diisi oleh militer, kepolisian dan kejaksaan. Sendangkan secara vertikal lembaga-lembaga itu diisi oleh personal Gubernur dan Walikota/Bupati.
Dalam konteks masyarakat sipil fenomena sentralistik, tunggal dan monolitik sangat berpengaruh pada tertib, ketundukan dan kekerasan sosial, baik hubungannya masyarakat (society) dengan masyarakat (society) ataupun hubungannya masyarakat (society) dengan negara (state). Hal ini merupakan akibat dari telah bekerjanya perekayasaan politik Soeharto dalam pengendalian dan penundukan negara kepada masyarakat, baik lewat institusi-institusi tersebut ataupun pada level wacana (discourse).
Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Mas`oed bahwa pada dataran institusi mikanisme pengendalian dan penundukan oleh negara kepada masyarakat diwujudkan dengan mikanisme korporatisme. Dimana negara pada rezim orde baru menggambarkan hubungan masyarakat dengan masyarakat yang termobilisasi, terkontrol, tertib dan sikap politik yang menunggal. Sedangkan pada wilayah wacana juga terjadi pengendalian, kontroling dan pengarahan pada wacana tunggal dengan alasan-alasan SARA, harmoni sosial, integrasi bangsa, ketertiban, pembangunan dan lain sebagainya, bahkan seringkali menurut Anderson memanfaatkan instrumen budaya.
Akibatnya ialah Negara Penuh Kekerasan dan KKN
Prilaku politik rekayasa rezim Soeharto pada akhirnya menciderai terhadap tatanan sosial kebangsaan dan kenegaraan. Dan mengantarkannya pada sebutan pemerintahan dan rezim yang tiranik, otoriter, manipulatif dan anti hak asasi manusia (HAM). Hal ini terbukti dari beberapa hal, meliputi :
Pertama, negara menjelma menjadi kekuasaan teror (state terorisme). Negara telah terbukti melakukan penundukan secara paksa dan represif yang bersifat fisik, dan tentunya juga melakukan kekerasan terhadap perasaan yang nota bene menghendaki kemerdekaan dan kebebasan ekspresi. Di antara kekerasan yang dilakukan rezim Soeharto ialah pembunuhan besar-besaran yang dituduh PKI tahun 1965, penembakan Misterius (Petrus), Haur Koneng tahun 1993, Marsinah, Penculikan aktifis, kasus Waduk Kedungombo, Nipah Sampang Madura, pemberedelan terhadap beberapa majalah semisal Tempo, majalah Abadi, majalah Indonesia Raya, majalah Pedoman, dan masih banyak majalah lainnya, kasus DOM di Aceh, kasus Tanjung Priok, Kasus Komando Jihad, Kasus Timor-Timur, tragedi 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI di Jalan Dipenegoro, Tragedi Makasar Berdarah, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Trasakti, kasus Semanggi I&II dan masih sangat banyak lainnya.
Selain itu, muncul produk kebijakan dan perundang-undangan yang anti kemanusiaan, semisal, kebijakan NKK/BKK tahun 1978, Pembekuan Kegiatan Kemahasiswaan oleh Komkamtib 1978, UU No 8 tahun 1985 tentang Asas Tunggal, UU Subversi, Instruksi Presiden No 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina, Kep. Presidium No 127/U/Kep/12/1966 mengenai Ganti nama bagi WNI memakai nama Cina, UU No 11/PNPS/1963 tentang Menentang Pemerintah dan Dasar Negara Pancasila, dan masih banyak produk hukum dan kebijakan lainnya yang sama sekali menciderai kemanusiaan, keadilan dan keadaban.
Kedua, negara menjelma menjadi korporasi (state corporatisme). Dalam konteks ini negara tidak hanya melakukan penundukan lewat kekerasan fisik sebagaimana di atas, tetapi juga melalui jejaring institusi yang tujuannya memperkuat, mengamankan dan mengokohkan negara dalam mengeksekusi kebijakan dan hasrat politiknya. Pada tingkat nasional korporasi negara terwujud melalui PWI untuk kalangan jurnalis, SPSI untuk kalangan pekerja buruh Indonesia, MUI untuk kalangan Ulama`, KNPI untuk pemuda, IDI untuk kalangan Dokter, KORPRI untuk kalangan Pegawai Negeri, PGI untuk Kristen, KWI untuk Katolik, PHDI untuk Hindu, dan masih banyak lainnya. Sedangkan pada tingkat lokal muncul organisasi korporasi semisal Karang Taruna, PKK, Kolampencapir, dan lainnya.
Ketiga, negara menjelma menjadi penguasa opini publik yang dikenal dengan state discours. Untuk memperkokoh dan mengamankan kekuasaannya negara di era rezim Soeharto mempraktekkan strategi penguasaan opini publik dengan cara memobilisasi instrumen opini dan sikap publik. Cara ini digunakan untuk membunuh dan mematikan demonstrasi, pengkritik, oposan dan para pihak yang dianggap menentang keputusan dan kebijakan pemerintah. Penguasaan ini terlihat dari penggunaan istilah demokrasi pancasila, cap ekstrim kanan, ekstrim kiri, anti pancasila, anti pembangunan, prilaku subversi dan istilah-istilah lainnya.
Salah satu instrumen yang cukup massif ialah pelaksanaan dan penerapan P4 dalam pendidikan dan birokrasi. Dimana P4 ini dijadikan persyaratan untuk keluar negeri, daftar PNS, dan lain sebagainya. Termasuk untuk penguatan-penguatan lembaga penguasa opini publik, pemerintah berupaya membentuk kantong-kantong studi semisal keberadaan lembaga CSIS yang dibentuk oleh Ali Murtopo, seorang Mantan kepala Operasi Khusus (Opsus) dan Mantan ketua BAKIN, melalui lembaga ini kebijakan dan penerapan P4 ditelurkan dan diterapkan dalam ranah publik.
Keempat, negara menjelma menjadi State Clientilisme, dimana dalam konteks ini negara awalnya berusaha melakukan penundukan terhadap pasar. Hal ini diwujudkan dengan upaya negara mendominasi kehidupan perekonomian yang menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi semisal proteksi, subsidi dan lainnya. Namun, pada perkembangannya praktek negara ini menghasilkan pola hubungan patron-client, dimana negara tidak jarang bertindak sebagai patron, sedangkan pengusaha-pengusaha tertentu yang dekat dengan kekuasaan bertindak sebagai client-nya. Pola dari hubungan ini kemudian mendorong terjadinya praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini terlihat dari munculnya pengusaha nasional yang dekat dengan Soeharto bahkan dari keluarganya sendiri, semisal Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan pada level internasional muncul pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan masih banyak lainnya.
Penulis hingga hari ini meyakini penyebab berkuasanya komparador neo liberalisme dalam kebijakan publik Indonesia dan menyebabkan krisis ekonomi sampai hari ini ialah disebabkan kongkalikong dan konspirasi ini. Terutama dengan dilakukannya Letter Of Intens (LOI) dengan IMF yang nota bene lembaga ini selama tiga dekade bersama World Bank menjadi mitra strategis rezim Soeharto. Apalagi penandatanganan LOI ini sesungguhnya merupakan perintah Soeharto untuk meminta bantuan IMF pada tanggal, 8 oktober 1997. Penandatanganannya kemudian dilakukan oleh Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan, dengan IMF dalam sebuah LOI, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah kontrak dan penegasan bahwa IMF akan menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani krisis ekonomi Indonesia yang memuncak tahun 1997. Peristiwa ini menyebakan hutang yang cukup tinggi terhadap IMF dan berakibat pada dipertaruhkannya independesinya Indonesia dalam pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam soal-soal kebijakan perekonomian. Diakui ataupun tidak, IMF bersama kroninya kekinian telah berhasil mendesakkan format, bentuk dan positioning kebijakan struktural Indonesia untuk mendasarkan pada sistem ekonomi politik neo liberalisme.
Sekilas Indonesia Kekinian
Melihat konfigurasi politik orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang monolitik, sentralistik dan militeristik di atas, sedikit banyak bagi kita menjadi peta untuk melihat secara jernih Indonesia kekinian, utamanya perubahan sikap masyarakat dan prilaku politik pemerintah.
Pasca tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998 dan awal era reformasi terlihat secara jelas betapa kekerasan demi kekerasan lahir, seakan kekerasan yang dilakukan oleh negara selama 32 tahun oleh orde baru telah menjelma menjadi prilaku perseorangan masyarakat. Prilaku premanisme, pengeroyokan, menghakimi tanpa landasan hukum yang jelas, serta penjarahan yang tanpa ampun. Demikianlah awal reformasi dimana seakan semuanya menjadi hukum rimba, dan saat inipun masih terjadi dan sangat marak.
Secara teoritik hal ini juga pernah diungkapkan dalam penelitian Hannah Arendt di era rezim otoriter Nazi, Hitler (Jerman) dalam sebuah peristiwa Holocaust, dimana seorang kepala arsitek Eichmann berani menjadi eksekutor pada final solution dalam pembantaian massal terhadap kaum Yahudi. Dalam perspektif yang sama, ideologi negara rezim orde baru yang monolitik, sentralistik dan militeristik selama 32 tahun berpengaruh secara signifikan terhadap semua kejadian, pendekatan dan prilaku masyarakat Indonesia kekinian. Karena eksistensi ideologi tersebut diakui atau tidak, telah merasuk dalam psikologi, kultur dan struktur publik dan masyarakat. Menegaskan bahwa prilaku kekerasan negara orde baru telah berpengaruh secara serius terhadap prilaku kekerasan yang terjadi dalam masyarakat.
Selanjutnya, untuk Indonesia kekinian orde baru telah mewariskan sistem kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, sebutlah semisal kebijakan ekonomi politik neo liberalisme. Penulis sangat menyadari bahwa keterpurukan ekonomi kekinian disebabkan karena rapuhnya sistem perekonomian Indonesia, mengutip pendapat Awalil Rizki sistem perekonomian kita telah terintegrasi dalam sistem kapitalisme global. Apalagi awal kepemimpinan Soeharto, positioning dan kebijakan perekonomian telah diubah, salah satunya terlihat dari penempatan ekonom-ekonom lulusan barat dalam struktur pemerintahan yang menangani urusan-urusan ekonomi.
Di era kepemimpinan SBY-JK kini semakin jelas watak dan ideologi perekomomian kita, bahwa semuanya telah berpijak kepada paradigma, mindset dan ideologi neo liberalisme. Sehingga mata kita selalu terperangah setiap saat dari mulai pencabutan subsidi terhadap kebutuhan publik, menyebabkan kebutuhan publik memahal tinggi, krisis pangan karena kebijakan pangannya impor terus, menyebabkan tempe mahal, beras mahal dan lain sebagainya. Kebijakan ini berlangsung karena secara politik dan struktural kita telah terhegemoni oleh jejaring kapitalisme global. Penulis seringkali sangat miris dengan pernyataan-pernyataan pemegang kebijakan publik sebutlah Jusuf Kalla yang seringkali mempermainkan kemiskinan dan kemelaratan publik dengan tarian poco-poco, disco, antrean nonton film dan lain sebagainya.
Saat ini kita membutuhkan perubahan yang berpihak kepada rakyat dan mengangkat derajat mereka dari keterpurukan dan kemiskinan yang semakin merajalela. Maka di hari yang ke-40 dari meninggalnya Soeharto ini, kita tentunya dapat belajar dan mengingat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dari rezim otoritarian orde baru.
Allahu A`lam Bisshowab
* Ketua HMI Badko Inbagteng 2007-2009
0 komentar:
Posting Komentar