03 Maret 2008

Independensi Calon Independen

M. Mahrus Ali *

Ditengah apatisme publik terhadap partai politik, MK memberikan angin segar bagi calon independen untuk ikut berlaga dalam bursa pemilihan calon pemimpin daerah. Pukulan telak bagi partai politik, mereka harus bekerja keras untuk meningkatkan kredibilitas dan integritas mereka kepada publik. Uji materiil terhadap UU Pemda adalah awal terbukanya peluang calon perseorangan dalam pilkada. Dibalik kabar baik itu, muncul pertanyaan, seberapa indepenkah calon perseorangan?

Luar biasa, begitulah mungkin kesan yang banyak kalangan sampaikan terkait dengan keluarnya putusan MK yang kemudian membuka ruang bagi calon-calon pemimpin untuk terjun kedunia kepemimpinan daerah tanpa melalui jalur partai. Ini terobosan baru dalam iklim politik di Indonesia. Kalau selama ini partai menjadi pintu satu-satunya untuk maju ke bursa pilkada, maka setelah putusan ini dibacakan, model seperti itu sudah tidak berlaku lagi. Semua kalangan bebas maju ke pentas politik dan bersaing dalam pilkada melalui jalur perseorangan tanpa dukungan partai atau yang kita kenal dengan calon independen.

Impian itu telah menjadi kenyataan. Kran demokrasi telah dibuka selebar mungkin. Tidak ada lagi kuasa partai atas dominasi kepemimpinan politik. Semua pihak setara dan siapa yang merasa mampu dan memenuhi persyaratan serta dukungan maka dia dapat maju sebagai calon pemimpin di daerah. Ini tamparan yang cukup keras bagi partai untuk segera berbenah diri. Partai sudah tidak bisa lagi diperdagangkan. Karena rakyat dapat lebih bebas memilih, siapa pemimpin mereka tanpa harus ‘berurusan’ dengan partai.

Namun, putusan MK menyisakan persoalan hukum tersendiri. Terkait dengan regulasi hukum, muncul perdebatan yang cukup alot di kalangan praktisi hukum, terutama pakar hukum tata negara, ada yang berpendapat persoalan itu dapat diselesaikan dengan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden, tapi ini juga mendapat tentangan oleh pengamat lain. Di sisi lain DPR tetap ngotot untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No.32/2004)

Pengujian terhadap UU No. 32/2004 diajukan oleh Lalu Ranggalawe anggota DPRD Kabutapen Lombok Tengah. Dalam putusan MK diuraikan mengenai alasan pemohon mengajukan judicial review atas UU Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pada dasarnya Pemohon berkepentingan terhadap pemilihan kepala daerah baik untuk mencalonkan diri maupun dicalonkan. Sementara di Nusa Tenggara Barat akan dilangsungkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Tahun 2008 yang akan datang, di mana Pemohon berkeinginan untuk ikut mencalonkan diri/dicalonkan sebagai kandidat Gubernur/Wakil Gubernur NTB. Meskipun Pemohon saat ini masih aktif sebagai anggota DPRD dari Partai Bintang Reformasi (PBR), namun Pemohon tidak terlalu berharap untuk dapat dicalonkan melalui partai, sebab bukan rahasia umum lagi bahwa pada umumnya partai-partai saat ini sudah menjadi barang komoditi yang diperjual-belikan dengan nilai harga yang terbilang tinggi untuk ukuran di daerah, dan Pemohon sendiri tidak punya kemampuan finansial untuk itu.

Sementara itu dalam ketentuan Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60 UU Pemda pasangan calon hanya dapat diusulkan/diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Dengan kata lain tidak memberikan peluang sama sekali bagi pasangan calon independen (yang tidak memiliki kendaraan politik atau parpol) termasuk halnya Pemohon.

Dengan demikian, Pemohon berkeyakinan dengan adanya ketentuan Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60 UU Pemda dikaitkan dengan keadaan partai saat ini sebagaimana dikemukakan di atas, jelas-jelas tidak memungkinkan bagi Pemohon untuk mencalonkan diri/dicalonkan dalam rangka Pilkada dimaksud, karenanya Pemohon sangat merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar dan dirugikan secara potensial sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 terutama sekali Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2)1 yang berbunyi sebagai berikut “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.“ 2 .

Di samping itu, setelah membaca ketentuan Pasal 56, Pasal 59 dan Pasal 60, UU Pemda yang pada pokoknya berisikan“ hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol untuk mengusulkan/mengajukan pasangan calon Kepala Daerah dan wakil kepada daerah dan sama sekali menutup peluang bagi pasangan calon independen (bagi yang tidak memiliki kendaraan politik/parpol) sebagaimana juga halnya dengan diri Pemohon sebagai salah warga negara yang berkeinginan sebagai Calon Kepala Daerah dalam Pilkada di daerah Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian, jelas-jelas bahwa ketiga pasal UU Pemda tersebut sangat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.

Undang-undang tersebut menjadi alat baru yang justeru lebih cenderung menampilkan sifat-sifat oportunis, konspiratif, dan transaksi politik yang berlebihan karena undang-undang tersebut tidak memberikan peluang dan ruang gerak bagi calon-calon independen yang bukan dari partai politik. Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota sudah pasti akan menguntungkan segelintir orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan yang seolah-olah memperoleh legitimasi dari rakyat padahal yang sesungguhnya tidak, karena hanya merupakan kamuflase politik belaka untuk menghindari sikap seperti itu maka sangat perlu untuk menampilkan calon independen yang bukan hanya diusulkan dari parpol yang terkesan menyeret kepentingan rakyat yang menghindar dari demokrasi yang justru menampilkan penguasa politik yang tidak diinginkan oleh rakyat. 3

Atas permohonan tersebut, MK dalam sidangnya pada akhirnya memutuskan ;
“Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada, yaitu:
• Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”;
• Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.
• Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
• Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”.4
Dengan adanya putusan ini maka beberapa pasal tersebut harus dirubah oleh pihak legislator yaitu DPR. Dalam putusannya MK memang tidak memberikan solusi hukum terhadap beberapa pasal yang dihapus tersebut. Apakah harus membuat UU baru atau cukup dengan melakukan revisi terhadap beberapa pasal yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.Pada akhirnya langkah yang di tempuh DPR adalah melakukan revisi terbatas terhadap beberapa pasal yang sudah dibatalkan oleh MK.

Sebagaimana dilansir Jawa Pos (26/02) bahwa syarat bagi calon independen agar bisa masuk dalam bursa pencalonan pilkada dengan memperoleh dukungan suara berkisar 3-6,5 persen berdasarkan jumlah penduduk di satu daerah pemilihan pilkada.
Berikut ini adalah hasil revisi terbatas UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang menyangkut calon independen dalam pilkada.
Untuk Pemilihan Gubernur
Jumlah penduduk s/d 2 juta : 6, 5 %
Jumlah penduduk s/d 2 jt-6 jt : 5 %
Jumlah penduduk s/d 6 jt-12 jt : 4 %
Jumlah penduduk lebih dari 12 jt : 3 %
- Untuk pemilihan Kabupaten/Kota
Jumlah penduduk s/d 250 ribu : 6,5 %
Jumlah penduduk 250 rb-500 rb : 5 %
Jumlah penduduk 500 rb-1 jt : 4 %
Jumlah penduduk lebih dari 1 juta : 3 %

Dari prosentase tersebut sebetulnya masih terdapat berbagai persoalan lain yang kemudian mengemuka, bagiamana ketika calon indenpenden terlibat money politic. Misalnya calon independen juga pada akhirnya ‘membeli’ suara rakyat. Satu contoh ada calon independen yang punya ‘modal’ besar dan dia dapat melakukan semua hal untuk memperoleh dukungan suara dari masyarakat. Lalu apa bedanya dengan perilaku partai politik yang juga ‘memborong’ suara rakyat dengan iming-iming rupiah? Setiap pilihan memang punya sisi positif dan negatif. Terbukanya peluang calon perseorangan dalam pilkada memang sangat diharapkan munculnya pemimpin muda yang visioner dan bebas dari tekanan partai politik karena mendapat dukungan rakyat. Namun bagaimana jika yang muncul justru calon-calon perseorangan yang tidak capable, korup, maju ke arena pilkada hanya karena calon tersebut mumpuni secara finansial dan dapat ‘mengelabui’ masyarakat dengan uang-nya ??. Ini juga persoalan penting. Karenanya partai politik memang harus berbenah diri dan masyarakat juga harus sadar jangan mau disuap oleh salah satu pasangan calon yang hendak maju, terlebih melalui jalur independen.

Kini kita tinggal tunggu waktu apakah setelah revisi terbatas terhadap UU Pemda selesai, akan muncul calon-calon pemimpin perseorangan yang berani tampil kedepan tanpa dukungan partai politik selain dukungan dari rakyat. Ini sebuah tantangan sekaligus ujian bagi calon pemimpin daerah. Dengan adanya otonomi daerah yang luas serta majunya pemimpin lokal yang indepeden, maka harapan untuk memajukan daerah akan lebih besar. Di samping itu praktik politik dagang sapi dalam pilkada, bagi-bagi kekuasaan dengan parpol akan dapat diminimalisir. Calon independen diharapkan benar-benar mengabdi pada rakyat bukan pada parpol.

Meski demikian munculnya calon perseorangan bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik baru di kalangan grass root. Kalau kita berkaca pada pilkada belum menganut sistem calon independen, konflik horizontal sangat tinggi intensitasnya. Lepas dari itu. Tentu kita berharap yang terbaik, calon perseorangan tersebut betul-betul independen dan tidak memanfaatkan aturan itu untuk ‘menipu’ rakyat atas nama independensi terhadap kekuatan manapun. Pun demikian partai politik harus berubah, menghilangkan sikap oportunisme dan eksploitasi partai terhadap rakyat. Jangan sampai muncul kembali pemeo yang mengatakan “ada pilkada aku disayang tak ada pilkada aku ditendang “.

Rakyat sudah lelah dengan janji manis partai politik, saatnya pemimpin independen maju dan melakukan perubahan. Tinggal tunggu waktu apakah hasil revisi UU Pemda itu benar-benar menjamin hak-hak calon independen dalam pilkada, atau revisi itu hanya sekedar revisi....tidak ada perubahan yang mendasar. Itulah Undang-Undang yang tambal sulam. Apapun itu, kita tentu inginkan yang terbaik.
Footnotes :
1 Lihat putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 dalam judicial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hlm, 3-4
2 Ibid, hlm 7-8
3 Ibid, hlm. 9
4 Lihat putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 dalam judicial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hlm. 61
* Pengurus Badko Inbagteng 2007-2009 divisi kajian dan media

0 komentar:

Designed by - alexis 2008 | ICM