10 Juli 2008

Kegiatan

Term of Reference (TOR) Latihan Kader II (Intermediate Training)
HMI MPO Komisariat Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Mewujudkan Kader Intelektual Progresif
Dalam Penegakan Hukum
yang Berkeadilan


Mengapa anak anak Adam berbangga diri?
Sesungguhnya permulaannya adalah sperma
dan pada akhirnya adalah bangkai
(Imam Ali bin Abi Thalib)


Para cendekiawan kita telah banyak sekali mengkaji terhadap apa makna kata dari intelektual. Al Qur’an pun dengan jelas jelas menerangkannya dengan sebutan sebagai Ulil Albab. Dawam Raharjo dalam bukunya yang berjudul Enksiklopedi Al Qur’an mengkombinasikannya dengan kata ulu al-amr, yang artinya orang memiliki atau orang memegang urusan. Jalaluddin Rahmat menerjemahkannya lebih sederhana dengan sebutan intelektual plus atau dalam terjemahan Inggris, the men of wisdom and understanding.

Seorang alumnus universitas Sorbonne di Francis, sekaligus think-tank revolusi Islam di Iran bernama Ali Syari’ati, pernah membedah secara khusus intelektual. Singkatnya, intelektual itu terbagi menjadi dua kategori. Pertama kaum intelektual itu sendiri.
Dan yang kedua, pemikir-pemikir yang tercerahkan (rausyanfikr). Kaum yang pertama hanyalah sekedar memanfaatkan pengetahuan teoritis dan praktis mereka. Waktu mereka telah banyak dihabiskan di atas dinding-dinding laboratorium penelitian kampus, disibukkan dengan urusan gelar kehormatan doktoral, seolah tidak bisa tersentuh selain dari kaum akademisi sendiri. Hidupnya bergerak disana saja tetapi tidak punya kepedulian dengan perubahan sosial yang berada di sekitarnya.

Adapun yang kedua, mereka bertanggung jawab penuh terhadap keadaan sosial masyarakatnya. Mereka mengetahui betul kebutuhan-kebuthan masyarakat dan berani hidup bersama masyarakat dan berjuang bersama membangunkan masyarakat dari tidur nyenyaknya untuk menyadarkan atas setiap kebodohan, penindasan yang terjadi. Mereka bersedia mengorbankan harta dan jiwanya dalam pembaharuan dan perbaikan sosial masyarakat yang terjadi. Orang-orang ikhlas demikian ini, berserah diri kepada Allah atas setiap hasil perjuangannya. Orang ini layaknya pernah diungkapkan oleh nabi Su’aib a.s. “Aku hanya menghendaki perbaikan semampuku, tiada keberhasilan kecuali pertolongan Allah. Kepada-Nya aku berserah diri dan kepadanya pula aku akan kembali”. (Al Qur’an XI:88). Kelompok kedua inilah yang sekarang ini layak disebut sebagai nabi-nabi sosial. Maksudnya, mewarisi tugas-tugas kenabian.

Sejalan dengan ini, HMI yang khittah perjuangannya membentuk kader insan Ulil Albab, maka sudah menjadi kewajiban dan sekaligus tanggung jawabnya untuk tidak pernah berhenti. Paling tidak, mampu mencerahkan sesama kader ataupun sedikit lebih luas, berguna bagi masyarakat indonesia.

Nah, sekarang, mari kita membaca realitas negara Indonesia. Semboyan Bung Karno yang dengan penuh semangat membakar rakyat agar rakyat mampu Berdikari (berdiri di kaki sendiri). Dalam artian, mari kita lepas dari cengkraman kapatalisme. Kita dengan secara kasat mata saja sudah bisa melihat bagaiman kapitalisme berhasil merajai perekonomian kita. Di daerah Malioboro saja, penduduk lokal menjajakan barang-barangnya buatan produk dalam negeri, harganya relatif terjangkau. Bandingkanlah dengan bangunan-bangunan besar yang berada di sekelilingnya. Isinya berbagai macam barang-barang impor, dimana untuk penghasilan masyarakat indonesia kebanyakan (ditambah lagi setelah naiknya BBM), hampir mustahil mampu membelinya. Telah terjadi sebuah jurang yang sangat lebar antara para pedagang kecil dengan gedung-gedung tinggi yang mengelilinginya. Itu berarti produk asing lebih mempunyai tempat yang lebih terhormat dibandingkan produk dalam negeri. Padahal kita berada di negeri sendiri.

Masuknya kekuatan modal besar ke negeri kita, tidak dengan serta merta begitu saja terjadi. Terdapat kesepakatan perekonomian yang harmoni antara pemimpin kita dan para kapitalis dunia yang dimotori oleh Amerika Serikat, berjubah IMF (bentuk lain dari VOC pada zaman penjajahan Belanda). selain itu, polisi dunia ini pun menakut-nakuti alias mepropagandakan ancaman yang sudah sangat populer menyebar ke seluruh dunia, apakah bersedia ikut dengan Amerika atau tergolongkan sebagai teroris. (either with us or you are the terrorist).

Apakah sikap para pemimpin kita? Meraka bukan lagi seolah tidak mempunyai pilihan melainkan mengikiti pilihan yang telah ditentukan, menyepakati berbagai macam tawaran. Selain Amerika berhasil mempertahankan perusahaan-perusahaan besarnya di Indonesia, merampok sumber daya alam tapi sebagian kecil diberikan ke Indonesia (itu pun lebih banyak jatuh ke tangan-tangan para koruptor), Amerika tidak segan membenturkan sesama negara-negara yang mayoritas masyarakatnya muslim. Irak, Iran adalah contoh negara-negara poros setan (axis of evil). Indonesia yang sebenarnya sebagai negara ke empat tersebar dunia (China, India, Amerika dan Indonesia) di alam semesta ini tidak punya nyali (atau barangkali belum bernyali) untuk sekedar membangun logika intelektual perlawanan terhadap kapitalisme Amerika sebagaimana yang telah dilakukan oleh Presiden Iran, Ahmadinejad.

Menarik untuk melirik logika Ahmadinejad yang tampil percaya diri di tengah kepungan koalisi negara adidaya. Ahmadinejad mengisyaratkan bahwa sebenarnya Amerika melarang negara-negara berkembang untuk menguasai ilmu pengetahuan dan sains. Dalam ayat Al-Qur’an yang pertama turun, iqra (bacalah). Jadi, mencari pengetahuan adalah wajib hukumnya. Seseorang atau bangsa yang hendak maju, sederajat dengan bangsa-bangsa lainnya haruslah menguasai ilmu pengetahuan dan sains. Mereka saja yang hendak menguasai ilmu pengetahuan,sains dan segala macam hal. Itulah mengapa mereka selalu berdalih bahwa apabila Iran mengendalikan nuklir maka akan sangat mengancam keamanan dunia. Tetapi mengapa kapitalis Amerika tetap menyimpan nuklir? Sedangkan di Iran sendiri, petugas IAEA, menyatakan tidaka ada bukti bahwa negara itu hendak menggunakannya untuk kebutuhan perang. Iran hanya menggunakannya pembangkit listrik yang harganya jauh lebih murah.

Kritik tajam pun dilancarkan oleh Amien Rais dalam buku terbarunya berjudul Selamatkan Indonesia. Dalam buku itu. Amien mengutip pidato Mahathir Muhammad sewaktu di Jakarta: “Neo kolonialisme bukanlah istilah khayalan yang diciptakan oleh Presiden Soekarno. Ia (neokolonialisme) itu nyata. Kita merasakannya takkala kita hidup berada di bawah kontrol agen-agen yang dikendalikan oleh mantan penjajah kita. (Neo-colonialism is not a fancy term carried by President Soekarno. It’s real. We feel it as we come under the control of agencies owned colonial master).

Hal yang menarik disini ialah bahwa sebenarnya Amien hendak mengingatkan bahwa suatu negara semestinya benar-benar merdeka dan berdaulat sebagiamana yang termaktub dalam terks proklamasi. Namun karena cara berpikir (mindset) yang masih bermental budak (inlander)—wariskan Belanda. Masih mengutip buku Amien, “kita masih seringkali melihat cara berpikir dan bertindak sebagian anak bangsa yang bagaikan 'beo' yang selalu meniru-niru apa saja yang datang dari barat.”

Bangsa kita ini telah mengalami cobaan penderitaan yang sangat luar biasa. Jangankan membiayai pendidikan, makanan kebutuhan sehari-hari pun sudah sulit terpenuhi. Sungguh mengherankan, takkala penderitaan itu terus berlanjut, sementara di sisi lain, tak ada yang berani tampil sebagai pembela keadilan, maka harapan insan Ulil Albab itu hanya akan berhenti dalam pemikiran yang membacanya.

Tidak ada suatu kemajuan suatu bangsa apabila dahulu bangsanya terbelakang. Tidak ada tidak ada kebahagiaan tanpa penderitaan. Dan tidak ada keadilan jika tidak ada yang berlaku zalim. Sudah saatnya sejarah membuktikan kembali seperti halnya yang terjadi dalam bentangan sejarah, memilih sebagai pendukung keadilan. Bila tidak, maka tak lain adalah pendukung kezaliman karena setelah keadilan itu adalah kezaliman itu sendiri.

Sehubungan dengan tema diatas, sudah saatnya juga para penegak hukum pun tidaklah berdiam diri di kursi kehakiman yang empuk, melarikan diri dan enggan mengoreksi ulang segala Undang-Undang, baik yang berurusan dengan urusan dalam negeri ataupun tentang Penanaman Modal Asing. Sang penegak hukum dengan sadar memahami bahwa keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bila tidak, berarti pendukung penguasa yang zalim yang menindas kaum lemah. Mereka tertindas oleh yang zalim karena berada di bawah bendera yang membutuhkan keadilan. Kita tidak perlu mengharapkan mengharapkan orang diluar kita yang memperbaiki bangsa kita terlebih dahulu. “Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya" (QS 13:11).

TUJUAN
• Peserta dapat memahami makna dan fungsi dari intelektual
• Peserta mengerti sejarah dan problematika hukum di Indonesia
• Terbangunnya paradigma integral terhadap hukum sebagai penjaga kestabilan kehidupan
• Peserta mampu merumuskan konsep ideal pelaksanaan hukum di Indonesia


TARGET
• Hukum sebagai instrumen sosial
• Konsep penegakan hukum yang berkeadilan
• Upaya keluar dari hegemoni neoliberalisme yang berpengaruh terhadap produk hukum
Local wisdom sebagai alternatif budaya tanding untuk melawan neoliberalisme.

WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
Hari / Tgl : Minggu – Minggu, 13 – 20 Juli 2008.
Tempat : PP. Darul Hira, Maguwoharjo, Sleman

IV. SYARAT DAN KETENTUAN
1. Lulus LKI (ditunjukan dengan sertifikat atau surat keterangan)
2. Membuat makalah tentang tema, atau resensi buku
“Intelektual Progresif” Karya: Eko Prasetyo.
“Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, karya: Moh. Mahfud MD,
Ketentuan penulisan makalah & resensi :
- Minimal 5 halaman A4, (kwarto)
- Spasi : 1,5
- Font : 12 ( Times New Roman)
3. Meringkas/resume Khittoh Perjuangan
Ketentuan penulisan :
- Minimal 2 halaman A4, (kwarto)
- Spasi : 1,5
- Font : 12 ( Times New Roman)
4. Hafalan Juz 30 ( QS An Naas –Ad Duha)


0 komentar:

Designed by - alexis 2008 | ICM