14 Juli 2008

Opini

Pilgub Jatim Dalam Mindset HMI Surabaya


Saiful Anshor *

Jika tidak ada aral melintang, perhelatan akbar pesta demokrasi arek Suroboyo bakal digelar sebentar lagi. Namun dibalik hingar bingar menjelang Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim), ada hal menarik untuk dicermati, yaitu minimnya partisipasi mahasiswa dalam setiap pesta demokrasi di tahun lalu.

Sebagaimana dilansir Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (PusDeHAM) di harian Jawa Pos (11/6) minimnya partisipasi mahasiswa dalam Pilgub Jatim 2004. Dari jumlah mahasiswa 337.789, atau sekitar 1,2 persen dari total pemilih (sekitar 28 juta), yang berpartisipasi dalam Pemilu 2004 hanya 39 persen. Sedangkan Pilpres 40 persen dan Pilkada Surabaya 55 persen. Sedangkan untuk Pilgub Jatim 23 Juli 2008 mendatang PusDeHAM memprediksi partisipasi mahasiswa hanya akan mencapai: 40-50 persen.

Membaca data tersebut, secara tidak langsung telah menimbulkan beberapa pertanyaan subtantif, mengapa mahasiswa sebagai pengawal demokrasi dan pengusung reformasi 98 malah alergi terhadap pesta demokrasi? Hal tersebut apakah dikarenakan pesta demokrasi yang dihelat lima tahun sekali sudah terjerembab dalam profanisme demokrasi an sich?
Untuk menjawab persoalan itu, setidaknya ada dua aspek mendasar bagi mahasiswa terkait masalah prosesi pesta demokrasi. Sebagaimana pada umumnya dalam setiap Pemilu, entah Pilgub ataupun Pilpres, yang menjadi problem pertama adalah over promise (janji yang berlebihan) para Calon Gubernur (Cagub). Kedua, inkonsistensi janji tersebut paska menduduki kursi pemerintahan.

Bagi mahasiswa, janji-janji politik Cagub dan Cawagub menjelang Pilgub adalah pemanis buatan agar di hari H dikrebuti ”semut”. Namun, mahasiswa sebagai intelektual organik yang berfikir berdasarkan logika tidak akan serta merta mau menerima ”permen” hingga mau men-coblos. Ada hal menarik sebuah iklan politik yang diusung salah satu Cagub Jatim, yaitu APBD untuk rakyat. Dari sini saja, nampak jelas bahwa selama ini rakyat tidak banyak menikmati hasil APBD, padahal hal itu juga menjadi ikon untuk mensejahterakan rakyat, namun faktanya?

Jadi, wajar saja bila PusDeHAM memprediksi bahwa animo mahasiswa tidak akan bertambah dengan iming-imingan janji para cagub dan cawagub. Sebab lain, karena mahasiswa sudah alergi dengan janji-janji yang terlalu berlebihan dan tidak logis. Janji-janji Cagub yang tertulis di baliho, spanduk, pamflet, banner yang berada hampir di setiap sudut Surabaya bahkan seluruh Jatim hanya sebagai bentuk alat sihir untuk memperoleh simpati masyarakat.

Padahal, janji pendidikan gratis, APBD untuk rakyat, rakyat sejahtera dan makmur dan kesehatan gratis adalah isu setiap ada kampaye yang tidak pernah terealisasi hingga kini. Program da isu diangkat itupun dibikin dengan tempo yang sangat singkat, hanya santer terdengar saat kampanye saja, dan setelah Cagub duduk di ”bangku empuk” janji tersebut tidak terdengar lagi. Sebab, dalam kondisi ekonomi dan jumlah APBD yang ada, mustahil janji-janji tersebut bisa direalisasikan.

Sebagai contoh, yaitu kenaikan harga BBM, padahal dulu presiden berjanji tidak akan menaikkan harga BBM. Contoh itu bisa menjadi kasuistik, bahwa janji dikala kampaye hanya pemanis buatan. Oleh karena itu, perlu kiranya kita mencatat setiap janji-janji para Cagub yang tertulis di media dan di sepanjang jalan. Sehingga nantinya bila janji itu dilupakan kita bisa menagihnya kembali.

Aspek kedua yang membuat mahasiswa alergi pilkada yaitu inkonsistensi mereka dalam menepati janji. Memang secara yuridis Pilkada telah diatur undang-undang. Yaitu dalam Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang berbunyi “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan“. Selanjutnya dalam Pasal 56 dijelaskan bahwa “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil “.

Namun nampaknya aturan tersebut jauh api dari panggang. Melihat berbagai contoh kasus di beberapa daerah, ternyata Pilkada selalu berakhir anarkisme dan menyebabkan instabilitas pemerintah daerah. Sehingga hal tersebut mengakibatkan Pilkada berubah menjadi stigma negatif. Seperti kasus Pilkada kontroversial di Maluku Utara, Sulawesi dan Sumatera. Berujung pada konflik politik yang kental.

Di Sulawesi Selatan, hasil Pilgub berakhir ricuh. Kemenangan pasangan Cagub dan Cawagub Syahrul Yasin Limpo - Agus Arifin Nu'mang (Sayang) dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan harus diadakan pemilihan ulang di empat Kabupaten. Hal inilah yang menyebabkan demonstrasi dan tindak anarkisme di Sulawesi Selatan cukup parah.

Pesta demokrasi lokal ini tentunya bukan tidak mungkin memiliki persoalan mendasar, oleh karenanya UU Pemda dengan tegas mengarahkan agar seluruh rangkaian proses Pilkada itu dapat berjalan dengan demokratis dan jurdil (jujur-adil). Namun sayang selalu menuai konflik baik di tingkat elit maupun kalangan bawah. Rentetan permasalahan inilah yang kemudian menyebabkan mahasiswa trauma akan pesta demokrasi.

Terlebih lagi di Jawa Timur, mayoritas Cagub dan Cawagub adalah representasi dari ormas terbesar di Jatim, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik akar rumput. Oleh karena itu, rentetan kasus-kasus buruk Pilkada tidak mustahil membuat trauma para mahasiswa. Dan bisa dipastikan sikap golput mahasiswa di beberapa pesta demokrasi termasuk Pilgub Jatim 2004 merupakan manifestasi ketidak percayaan terhadap pesta demokrasi. Saat kampaye saja sudah nampak ketidak fair-an, Dengan demikian, jangan harap pada 23 Juli mendatang mahasiswa akan memberikan partisipasi lebih banyak. Bukan mahasiswa tidak setuju dengan demokrasi, tapi demokrasi kini telah disalah arti dan disalah guna.

* Penulis adalah Direktur LAPMI HMI Cabang Surabaya 2008-2009


0 komentar:

Designed by - alexis 2008 | ICM