08 Juli 2008

Membangun Peradaban Islam Dengan Ilmu

Imam Nawawi*


Memperhatikan wacana dan diskusi yang dibangun oleh hampir seluruh gerakan Islam ulasannya tidak pernah lepas dari persoalan kebodohan, kemiskinan dan keterpurukan. Kompleksitas problematika itu tidak sedikit menjadikan sebagian besar umat Islam tidak terkecuali mahasiswa mengalami inferiorisme yang akut. Sebab secara substansial tidak saja dikarenakan mereka enggan menggunakan simbol-simbol ke-Islam-an lebih dari itu adalah mulai merebaknya frame work mereka yang cenderung pluralis dikotomis. Ironisnya kondisi ini justru banyak dijumpai pada kalangan mahasiswa Islam yang nota bene merupakan kader umat yang diharapkan mampu membawa tongkat estafet perjuangan menuju tegaknya peradaban Islam.

Dalam lingkup kemahasiswaan, faktor-faktor eksternal atas terjadinya problematika umat, seperti kemiskinan, kebodohan dan keterpurukan sering menjadi bahasan hampir di setiap forum dan kesempatan. Dalam hal ini biasanya imperialisme, komunisme, kapitalisme merupakan penyebab utama tragedi umat Islam selama ini. Di sisi lain sebagian besar mereka mengabaikan kondisi internalnya. Dengan kata lain mahasiswa belum secara maksimal mempersiapkan diri menjadi bagian dari problem solving dari permasalahan umat ini.

Akibatnya suburlah doktrin bahwa aktivis itu adalah mereka yang sering turun ke jalan dan berorasi di depan demonstran. Akibatnya kebanggaan menjadi seorang mahasiswa adalah apabila telah melakukan orasi dan demonstrasi. Pada saat yang sama semakin lama tinggal di kampus seolah menjadi satu konsensus di kalangan mereka bahwa yang demikian itu adalah aktivis sejati.
Apa yang telah diupayakan oleh saudara-saudara kita ini tidak ada yang salah. Semuanya adalah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Namun sebagai kandidat cendekia Muslim Indonesia perlu bagi kita untuk mengajukan satu pertanyaan mendasar, apa sebenarnya akar dari semua problem ini?

Kebodohan
Jika kita menelusuri lebih jauh akar dari setiap problematika umat manusia tiada lain adalah kebodohan. Lahirnya masa renaissance adalah respon dari masa kebodohan sebelumnya. Bahkan kehadiran Islam di muka bumi adalah dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari jurang kebodohan. Demikian pula halnya dengan diutus silih bergantinya para Nabi dan Rasul.

Secara bahasa kebodohan (the ignorance) berasal dari kata bodoh yang mendapat imbuhan ke-an (yang menunjukkan sifat) secara bahasa berarti tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan)** Ketidaktahuan inilah yang sejatinya merupakan sumber dari segala problem yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Kondisi ini pula yang menyebabkan umat Islam sangat sulit untuk bersatu-padu melawan kekufuran. Bahkan karena kebodohan ini pula seringkali cara yang kita gunakan justru seringkali kian memperburuk citra Islam di mata dunia. Islam kian kuat dengan stigma negatifnya dan bahkan generasi muda kian minder dengan statusnya sebagai muslim atau muslimah.

Kemiskinan
Secara umum setiap orang akan sepakat bahwa kalau yang dimaksud dengan kemiskinan (poverty) itu adalah keadaan tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Yang perlu kita garis bawahi adalah mengapa kesepakatan akan makna kemiskinan ini terjadi. Padahal dalam salah satu hadis Nabi dinyatakan bahwa orang miskin adalah orang yang hatinya jauh dari Allah. Bahkan di hadis lainnya disebutkan bahwa orang bangkrut adalah orang yang banyak melakukan amal sholeh dimana pada saat yang sama dia juga sering melukai hati dan perasaaan saudara seimannya.

Tidak salah jika kemudian ketiadaan materi itu diklaim sebagai miskin. Akan tetapi dalam perspektif Islam kemiskinan tidak selalu berdimensi material. Ketiadaan ilmu dan amal adalah kemiskinan dalam makna yang sesungguhnya. Jika kemiskinan harta menghalangi seseorang hidup mewah maka kemiskinan ilmu dan amal akan menghalangi seorang muslim menggapai surga. Di sinilah kemudian menjadi sangat jelas bahwa antara kemiskinan dan kebodohan adalah ibarat satu mata uang yang kedua sisinya tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas kemiskinan ilmu inilah penyebab dari lost of adab yang juga berarti lost of identity.

Menjemput Peradaban Islam
Aktivis HMI lebih akrab dengan istilah tamaddun dari pada peradaban. Secara bahasa tamaddun lebih mendekati makna substansial dari tujuan perjuangan umat Islam yakni masyarakat madani (seperti Madinah), yang secara leterlek berarti tempat di mana din (Islam) ini ditegakkan. Dengan demikian maka sangat jelas bahwa dalam rangka untuk membangun peradaban Islam tersebut kekuatan internal umat harus diprioritaskan. Mulai dari semangat belajar Islam sampai pada semangat untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara kaffah. Dalam konteks ke-HMI-an ini bisa kita mulai dengan secara simultan membiasakan seluruh penghuni sekretariat komisariat, Cabang, Badko dan PB untuk sholat berjama’ah lima waktu dan membaca al-Qur’an setiap hari.

Hal ini penting karena merubah keadaan serba kacau saat ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kita akan memberantas kemiskinan sementara ilmu kita mengenai syariah Islam masih terbatas. Terkait dengan ini maka satu hal yang perlu kita agendakan adalah bagaimana sebenarnya langkah yang tepat bagi kita semua memenangkan kembali peradaban Islam. Apakah dengan mengganti pemerintahan atau kita persiapkan generasi yang memahami Islam dengan baik sekaligus mengerti Barat secara mendalam?

Gerakan kembali mempelajari Islam dengan baik (tafaqqahu fid din) merupakan langkah strategis yang harus kita canangkan bersama dalam upaya mengentas umat Islam dari kebodohan, kemiskinan dan keterpurukan. Tanpa didasari ilmu perjuangan kita selamanya akan mudah dibelokkan dan secara tidak sadar kita berjuang untuk Islam tapi hasilnya justru merugikan umat Islam sendiri. Perpecahan dan kemelaratan setidaknya adalah bukti konkrit dari kemiskinan ilmu dan amal umat Islam saat ini.

Melalui ilmu ini nantinya akan terbentuk miliu dan akan berkembang merambah pada dunia pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hal ini sangat jelas sekali bagi Francis Bacon (filosof dari Inggris) hingga populer dengan ungkapannya bahwa “hegemoni politik, ekonomi, militer akan segera hancur jika tidak didukung dengan kekuatan ilmu.”
* Penulis adalah Kader HMI MPO Cabang Surabaya
**http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php.

0 komentar:

Designed by - alexis 2008 | ICM